32 | Menjalankan Rencana

1.6K 178 1
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Sosok Nyai Kenanga tampak begitu ragu di mata Risa. Mungkin Nyai Kenanga tidak ingin Risa merasa takut padanya, jika sampai Risa melihat wujud terburuknya. Risa jelas memahami hal itu, sehingga dengan cepat ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Aku janji, Nyai. Insya Allah aku tidak akan merasa takut padamu setelah melihat wujud terburukmu sekalipun. Aku hanya ingin melihat wujudmu untuk memperkuat rasa takut dalam diri laki-laki tua itu. Aku harus benar-benar meyakinkannya, bahwa yang dia lihat nanti adalah sosokmu," bujuk Risa.

Nyai Kenanga pun mengangguk pelan, setelah mendengar janji dan bujukan Risa. Sesaat kemudian, sosok Nyai Kenanga pun langsung berubah menjadi sosok yang selalu ia tutupi selama ini. Risa benar-benar tidak menunjukkan rasa takut sama sekali ketika melihatnya, dan justru memasang ekspresi sangat penasaran saat melihat satu luka besar di bagian perut kiri Nyai Kenanga. Tangan kanan Risa pun tanpa sadar terulur ke arah sosok Nyai Kenanga, karena ingin sekali melihat lebih jelas luka tersebut. Sayangnya sosok Nyai Kenanga jelas tidak bisa ia sentuh, dan hal itu membuatnya merasa sedikit bersedih.

"Maaf, Nyai. Maaf kalau aku lupa bahwa Nyai sekarang tidak bisa disentuh. Tolong jangan tersinggung. Aku hanya ... aku hanya tidak tega membiarkan luka yang begitu parah itu terus menganga di tubuh Nyai. Dan sekarang aku yakin, kalau itu adalah penyebab awal Nyai terjebak di sini," lirih Risa, berusaha sekuat tenaga menahan airmatanya.

Sosok Nyai Kenanga pun kembali menampakkan wujud yang sebelumnya. Sosok itu kembali tersenyum ke arah Risa, seakan tahu bahwa Risa sangat butuh untuk dihibur sebelum menjalankan tugas yang akan dilakukannya. Risa segera kembali ke ruang tengah rumah itu. Ia menatap ke arah Meilani sambil mencoba untuk tetap tenang dan tidak emosional ketika harus menyampaikan soal wujud terakhir Nyai Kenanga.

"Di sini, Mei," ujar Risa, sambil menunjuk perut bagian kirinya. "Di sini ada luka yang menganga pada tubuh Nyai Kenanga terakhir kalinya. Itu tampak seperti luka tusukan yang begitu dalam. Banyak sekali darah yang terdapat pada kebaya dan kain jariknya. Ada luka di sudut bibir kanan Nyai Kenanga, rambutnya juga agak kusut. Seakan dirinya habis memberi perlawanan dan juga menerima pukulan dari seseorang."

Panji pun menutup kedua matanya usai mendengar bagaimana wujud terakhir Nyai Kenanga yang Risa jabarkan. Ia tidak bisa membayangkan betapa tersiksa diri Nyai Kenanga pada saat terakhir hidupnya, jika gambarannya saja sudah sangat mengerikan begitu. Kumala langsung mencoba menenangkan Panji, agar tidak terbawa emosi ketika pancingan untuk Sutejo akan segera dilaksanakan.

"Zul, aku akan menuju ke gerbang Desa bersama Mbah Tejo sekarang," lapor Romi, melalui telepon.

"Oke, Rom. Saat kamu akan kembali lagi menuju rumahnya Mbah Tejo, kabari aku lewat chat WhatsApp," pinta Zulkarnain.

"Oke."

Zulkarnain pun segera menatap pada semua orangtua yang ada di rumah itu.

"Kalian bisa melihat ekspresi Mbah Tejo dari jendela kamar Mei atau Risa. Jendela di kamar itu sudah dipasangi stiker yang tidak tembus pandang dari arah luar," sarannya.

"Kami akan melihat dari kamar Mei, agar tidak terjadi saling berdesak-desakan," ujar Yatno.

"Iya, itu benar. Sebaiknya memang kita melihat dari tempat terpisah, agar tidak terjadi saling berdesak-desakan," Panji setuju.

Dandi melihat dari kamar Risa, bahwa Sutejo dan Romi sudah melintas menuju gerbang Desa. Ia segera keluar dari kamar Risa dan berlari menuju ruang tengah.

"Target sudah menuju gerbang Desa. Kita hanya perlu menunggu dia kembali ke arah rumahnya," ujar Dandi.

Para orangtua pun segera menuju ke kamar Risa dan Meilani. Risa dan Meilani kini sudah berada di balik pintu depan. Dandi akan melaporkan yang dilihatnya dari jendela kamar Risa bersama Panji dan Kumala, sementara Zulkarnain akan membantu Meilani mengurus Risa.

"Romi chat aku. Katanya dia sudah menuju ke arah rumah Mbah Tejo lagi bersama orangnya," ujar Zulkarnain.

"Berdiri di jendela sekarang, Sa. Jangan lupa. Kamu harus tersenyum sebagaimana Nyai Kenanga selalu tersenyum. Nanti saat akan menunjukkan kondisi yang kedua, barulah kamu berekspresi marah ke arah Mbah Tejo," Meilani memberi arahan.

"Oke. Aku paham, Mei," tanggap Risa.

Risa pun segera berdiri pada posisinya di depan jendela rumah Nyai Kenanga. Tak lupa, ia benar-benar tersenyum saat menatap ke arah jalanan di depan rumah, seperti yang sudah Meilani arahkan tadi.

"Target terlihat. Sebentar lagi akan segera melintas," lapor Dandi, melalui ponsel yang terus terhubung dengan Meilani.

"Laporan di terima, Bos," balas Meilani.

Meilani dan Zulkarnain tetap diam di belakang pintu. Risa bisa melihat dari sudut matanya kemunculan Romi dan Sutejo yang akan segera melintas di luar sana. Romi melirik sekilas ke arah jendela rumah Nyai Kenanga ketika langkahnya dan Sutejo masih agak jauh. Ia bisa melihat Risa yang terlihat menyeramkan meski sedang tersenyum. Ia pun segera berpura-pura tidak melihatnya, seperti yang sudah disepakati dengan Zulkarnain, tadi.

"Kadang-kadang aku ini memang agak pelupa pada barang-barangku sendiri. Untung saja kamu memberi tahu aku saat dompetku ditemukan di tempat kerja Bosmu. Aku jadi tidak perlu mengomel lagi di rumah nanti," ujar Sutejo.

"Tidak apa-apa, Mbah. Itu memang sudah tugasku untuk mengamankan barang apa pun milik pengunjung yang tertinggal. Tapi memang peraturannya mengharuskan pemilik mengambil sendiri. Jadi meskipun aku tahu kalau itu adalah dompet Mbah Tejo, aku tetap harus meminta Mbah Tejo untuk mengambilnya sendiri ke tempat kerjaku," balas Romi.

Sutejo pun tertawa pelan sambil menoleh ke arah rumah milik Nyai Kenanga. Tatapannya tertuju pada sosok Nyai Kenanga yang juga tengah menatap ke arahnya seperti dua puluh lima tahun lalu saat terakhir ia melihatnya. Pakaian yang dikenakan Nyai Kenanga saat itu pun benar-benar sama dengan yang dipakai sebelum ia membunuhnya. Setelah melewati rumah Nyai Kenanga, Sutejo pun mendadak berhenti di tempatnya dan menatap ke arah Romi.

"Ada apa, Mbah?" tanya Romi.

"Kamu lihat ada orang di jendela rumah Nyai Kenanga barusan?" tanya Sutejo.

"Tidak, Mbah. Aku tidak lihat. Tidak ada siapa-siapa di jendela rumah kosong itu. Bahkan dua orang Polisi yang dua hari lalu menempatinya kini sudah tidak lagi menempati rumah itu," jawab Romi.

Sutejo pun kembali berbalik dan berjalan lagi ke arah depan rumah Nyai Kenanga. Romi mengikutinya dan akan tetap berpura-pura tidak melihat apa-apa.

"Argghhh!" teriak Sutejo tiba-tiba.

"Ada apa, Mbah? Mbah kenapa?" tanya Romi, bernada panik.

Sebenarnya Romi juga ingin ikut berteriak saat melihat Risa yang kini tampak jauh lebih menyeramkan daripada yang sebelumnya. Tubuhnya yang berdarah-darah dan menatap marah ke arah Sutejo melengkapi aura menakutkan dari diri wanita itu.

"I--itu ... Nyai Kenanga!" jawab Sutejo, sambil menunjuk ke arah jendela.

"Tidak ada siapa-siapa di sana, Mbah. Mbah mungkin salah lihat," Romi berusaha meyakinkan Sutejo.

Sutejo pun menutup kedua matanya, lalu segera berlari tertatih-tatih dari sana menuju ke rumahnya. Romi pun mengejarnya.

"Mbah Tejo, tunggu Mbah. Mbah Tejo," panggilnya, tetap berpura-pura.

Risa pun langsung terjatuh ke lantai akibat merasa sangat lelah, setelah Sutejo pergi. Entah kenapa hal yang baru saja ia lakukan sangatlah menguras energinya, hingga seluruh tubuhnya terasa lemas.

"Risa!!!" jerit Meilani, sangat khawatir.

* * *

TEROR MAWAR BERDARAH (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now