11. Roasus yang (Mungkin) Sinting

10 3 0
                                    

“Snotra.” Kisikan itu lambat laun makin jelas sementara kesadaran mengumpul. Raut Espen tampak cemas di sisiku yang terbanjiri keringat dingin. “Kau semakin sering hilang kesadaran.”

“Aku merasa kehilangan ... salah sebagian ruhku.” Air mataku menggenang. Kurengkuh tubuh kekar Espen. Aku kesepian, butuh perlindungan.

Auditorku menangkap kegaduhan Tansy dan Brungrå di ruang batu bagian belakang. Kelontang dan pecahan, disusul adu argumen di antara keduanya.

“Mereka sedang membuat ramuan,” jelas Espen.

Aku beranjak, terhuyung dan berkunang-kunang setelah berdiri tanpa aba-aba. Espen merangkul pinggangku dan kudapati Tansy sedang meneteskan cairan dari pipet kepada bunga pyramidal saxifrage yang kemudian dibubuk, dicampur air, dan harus kuminum. Hambar. Tak berasa.

Kusisakan separuh cawan tempurung kelapa untuk diminum Espen, tetapi Tansy menyanggah sebab ramuan itu hanya diperuntukkan satu orang.

“Bagaimana dengan nasib Espen? Ia juga manusia, jangan bilang ia yang bakal dikejar-kejar Lerros.” Aku berujar resah.

“Espen tak boleh lagi ada di sini. Ia mesti kembali ke Tanah Seberang,” balas Brungrå.

Maka dengan terburu-buru, pemuda yang tampak makin kerempeng itu menaiki Muso dan menyeberang sungai hingga menjejakkan kaki di tanah yang aman baginya dari Lerros maupun Svart Geit. Tak apa, lagi pula tempat singgahnya tepat di tepi sungai, jadi aku cuma perlu berkoar untuk bersua dengannya meski terpisah oleh sungai bercahaya yang membentang dan dihuni ikan trout bergerigi lancip.

🌲

Perkara satu telah usai—berkat ramuan bunga pyramidal saxifrage yang diambil penuh perjuangan oleh Espen, keseharianku lebih tenang tanpa dihantui Lerros yang menjijikkan, suka mencium dan memakan muntahan. Ew.

Aku leluasa gelayaran, meski kadang terkesiap mendapati ras lain di tanah ini yang serupa binatang hasil kloning. Seperti halnya detik ini, aku mematung di hadapan sembrani bermata satu dan berkaki dua mirip ayam. Makhluk itu pun juga mematung, menatap lekat-lekat diriku dari puncak kepala hingga ujung kaki kemudian perlahan melangkahkan ceker berjari tiganya menuju tempatku bergeming, sembari menjulurkan lehernya untuk mengendus udara di sekelilingku.

"Aha!" Sentakannya berhasil membuatku berjengit—ah, tidak, kurasa aku malah melompat tinggi-tinggi saking kagetnya. Aku mendelik, siap-siap melarikan diri, tapi lututku lemas seakan-akan luruh sampai mata kaki. "Jadi kau si manusia yang lolos dari Ratu Lerros!" Ia kembali berujar dengan sentakan tajam di akhir kalimat.

Pandanganku jelalatan, mencari rekanku—Brungrå, Tansy, atau Lynxè tersayang siapa pun yang bisa menjauhkanku dari makhluk seram ini. Namun, yang tertangkap netraku cuma gerombolan pakis dan daun talas yang berjajar di sekitar jalan setapak dengan kabut biru tipis beterbangan di atasnya. Syukurlah ada pohon dedalu yang kutuju dengan berlari terseok-seok, memanjatnya susah payah dan embun menghujaniku dari daun-daunnya yang rimbun.

"Hei-hei! Jangan takut, kumohon. Aku jamin kau bakal sering tergelak jika sudah kenal siapa pelawak dengan julukan Roasus ini." Ia menyeru sembari membuntutiku dengan tubuh melenting ke belakang seolah-olah hendak tersapu angin sementara kakinya berlari banter.

Bukan alang kepalang gemetar di sekujur awakku sementara kulirik bulu tanganku berdiri semua sembari merayap ke batang pohon. Bahkan timbul beruntus di kulitku yang mirip punya katak. Aku menyeletuk dengan bibir kering dan berkedut, "Tolonglah, pergi sana!" dan telah bertengger di dahan dedalu.

"Biar kutebak. Kau hendak ke tepi sungai, bukan? Lalu berteriak-teriak memanggil kakakmu yang jadi buronan sang ratu. Terus kau bakal menangis dramatis karena ingin memeluk ka—"

"Jangan sok tahu! Bagaimana kau mengetahuinya?" Niatku menunjukkan tampang garang, tapi malah dia terbahak-bahak dan membuatku bergidik ngeri.

"Kau pikir kami tak bisa merumpi? Bahkan kepala kami sudah diprogram semacam saluran TV yang memberitakan peristiwa terkini."

"Bagaimana kau tahu tentang TV? Kupikir makhluk di sini primitif semua." Ketakutanku mulai luruh menghadapi kuda terbang-setengah-ayam yang makin menampakkan aura konyol nan jenakanya.

"Yah, sayangnya si kudu dan jackalope-mu itu memang ketinggalan zaman. Padahal yang satu—mantan pengikut sang ratu itu amat pandai, sayangnya lagi dia terlampau pendiam." Dia mengibaskan surai peraknya, tampak norak di mataku dan membuatku mengerut geli. Ia mengepak-ngepakkan sayapnya kemudian menyusulku bertengger di dahan. Aku menjerit, tapi dia segera membungkamku dengan percikan sihir kehijauan dari satu retina besar yang sama peraknya dengan surai. "Bukan kau satu-satunya manusia dari Bumi yang dikirimkan oleh Pohon Kudus kemari. Seabad sekali dia mengirimkan manusia yang beberapa di antaranya mengenalkan kami peradaban dan teknologi di sana, sehingga dikembangkan di sini dengan tambahan sihir."

Mulutku masih terkunci, hanya gumaman yang dapat kusuarakan. Aku tetap ngeri dengan wujud makhluk ini, tetapi kurasa ia sosok yang asyik dan tak berniat melukai atau bahkan memangsaku.

Melihat gelagatku, ia mengeluarkan percikan sihir lagi dan mulutku dapat dibuat bicara. Tanpa tedeng aling-aling, aku menumpahkan sumpah serapah karena amat jengkel—membuatnya kembali mengunci mulutku. Rasanya bagai dijepit oleh tang hingga bibirku lebih tebal—jontor mungkin.

Cengiran idiotnya sungguh menerangkan bahwa ia sinting. Tapi itu lebih baik daripada ia seperti makhluk lain yang berlomba-lomba memangsaku demi menyerap energi seonggok manusia. "Maafkan aku, aku hanya menguji coba sihir katup mulutku yang ternyata bekerja dengan baik." Percikan kehijauan kembali berkilap dari matanya seiring mulutku meringan.

"Akan kumaafkan jika kau dapat mengembalikanku dan Espen ke buana. Eh, memangnya Eventyrland ada di mana? Di Neptunus kah atau Mars barangkali."

"Hahaha aku suka selera humormu, Snotra."

"Bagaimana kau tahu namaku?"

"Baru beberapa menit silam kuberitahu. Kami punya berita. Kau menjadi selebriti mendadak dengan maklumat berseliweran yang isinya ‘Snotra Berhasil Kabur dari Cengkeraman Ratu Lerros Berkat Bantuan Keempat Rekannya’. Blablabla."

"Tadi namamu Roasus, kan? Tolonglah beritahu aku bagaimana keluar dari sini ... dan kau belum menjawab tempat ini sebetulnya ada di bagian mana tepatnya."

"Yah... Ini dunia kehampaan. Tak ada kaummu yang dapat memprediksi kami dari planet yang kalian ketahui. Ada suku yang mempercayai eksistensi kami, bahkan beberapanya memuja dunia kami. Ada yang menyebut kami iblis, dewa, dan entahlah apa lagi. Terlalu rumit dan kurasa kau tak perlu tahu. Tak penting.”

Aku menunggunya, barangkali melanjutkan. Tapi dia bungkam dengan cengiran kudanya. "Uh! Kau belum menjawab satu pertanyaanku!"

"Baiklah. Semua manusia yang terjebak di sini tak ada yang kembali ke tempat asal mereka. Tapi kiriman kali ini sepertinya bisa berbeda takdir dari yang dulu-dulu karena Pohon Kudus mengirim dua manusia sekaligus, yang artinya satu dari kalian kemungkinan selamat."

Dadaku kembali berdentum akibat kilasan pikir yang membawaku pada Espen. Ia tak minum ramuan. Meski ia hidup di Tanah Seberang, tak menutup kemungkinan ia bakal terjebak di sini selamanya. Tidak boleh. Kami harus tetap bersama, meski sekarang pun aku tak tahu bagaimana keadaannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 07, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EventyrlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang