8. Espen

6 4 0
                                    

Karena perut kami butuh asupan terlebih lagi aku manusia biasa yang takkan mampu bertahan hidup tanpa makanan, kupaksa Brungrå menjadi tumpanganku dalam mencari bahan makanan. Selain menjadi tumpangan, aku memaksanya untuk menjadi pemanduku dalam memilih makanan mana yang beracun dan yang aman untukku. Dengan mimik super tertekan, ia berlutut di hadapanku kemudian aku menaikinya. Kami berdua menyusuri jalan setapak dengan bunga cyclamen mengiringi langkah di sepanjang sisi jalanan. Kabut tipis senantiasa unjuk diri, tetapi tak sampai menghalangi pandangan. Awan hitam bergumpal tanpa kehadiran matahari. Dewa Freyr seperti telah angkat tangan menyumbangkan berkahnya pada Eventyrland yang aneh ini.

Sepanjang perjalanan menyusuri hutan yang rimbunnya tiada tara, kami hanya mendapat buah cranberry yang warnanya merah segar. Akhirnya aku mencetuskan, “Aku kepingin ikan.”

Demi diriku, Brungrå menurut dan dengan kemurahan hati menangkapkan sekeranjang rotan ikan riajum.

“Kita akan puas malam ini!” celetukku.

“Paling jatahku bakal kau lahap,” cibir Brungrå sembari naik ke permukaan tanpa khawatir terkena gigitan ikan itu.

Belum sempat aku naik ke punggungnya, gemeresik semak di seberang sungai membuat jantungku bertalu-talu serta penasaran. Mata ini tak mampu berkedip, menantikan makhluk apa yang bakal muncul dan mengagetkanku. Namun, nyatanya malah membuatku menangis terharu.

Espen dengan gagahnya menunggangi seekor moose cokelat gelap yang sama gagahnya. Mereka mematung sementara aku histeris menyeruak air sungai yang bercahaya, sejenak lupa bahwa sungai ini pernah menghipnotisku supaya menjadi makanan ikan riajum. Samar kudengar Brungrå yang meneriakiku, tapi sosok Espen mengalihkan segalanya, termasuk akal sehatku.

“Espen, benarkah ini kau?! Tak kusangka takdir sebaik ini!” Aku setengah berteriak, tangisku semakin menjadi. Pemuda yang kurindukan itu turun dari tunggangannya, merengkuhku yang semakin histeris dengan meraung sambil memukul dadanya. Sungguh, aku rindu kakak tersayangku ini. “Puji syukur kau merasakan apa yang kurasakan di sini.”

Dia melepaskanku. “Apa yang terjadi padamu hingga sekurus ini?”

“Aku selalu ketakutan. Ada peri lesbi yang mengejar dan terobsesi untuk menggerayangiku. Teman-teman menyelamatkanku tapi aku masih takut,” aduku.

“Pergilah bersamaku, di tanah ini kau akan menemukan istana terindah seperti di negeri dongeng. Tak ada yang namanya kejahatan,” ujarnya sembari menatapku penuh kasih.

Aku menggeleng. “Kita harus bicara dulu dengan teman-temanku.”

Sang rusa besar mendengus, mengembuskan hawa dingin yang menusuk lengan telanjangku sebelum memperkenalkan dirinya, “Muso, kepercayaan Espen,” dengan suara berat.

Kami menyeberangi sungai bercahaya sebelum aku naik ke punggung Brungrå dan mengarahkan jalan menuju rumah batu kami. Diam-diam diriku membandingkan ukuran tungganganku dengan Muso. Makhluk kepercayaan kakakku itu jauh lebih besar daripada Brungrå.

🌲

Aku mendadak jadi pendengar yang baik. Di sisiku, para makhluk memusatkan perhatian pada Espen yang sedang menceritakan hal yang kurasa tak terlalu penting untuk diketahui para makhluk.

“Kugali terus gundukan salju yang menimpa Snotra. Aku makin panik dan kebingungan, merasa kehilangan detak jantung saat kaki adikku itu semakin menghilang ke dalam pohon. Akhirnya aku ikut masuk ke lubang pohon itu sebelum menutup sempurna. Kukira kita bakal mendarat di tempat yang sama.” Terengah ia meminta air minum padaku yang menggeleng karena tak ada air di sini. Aku pun tak tega menyuruh Brungrå kembali lagi ke sungai untuk mengambilkan segelas air. Namun, pernyataan dari Espen membuatku tepuk jidat, “Bukankah mereka punya sihir?”

Ia pun menceritakan lagi kisahnya. Kali ini aku tak mengantuk karena tertarik dengan deskripsi tempatnya mendarat. “Aku seperti jatuh dari ketinggian atap rumah. Di antara semak dan bunga dancing girl impatiens, aku langsung mencium wewangian yang membuatku betah lama-lama di situ apalagi cuaca cerah walau matahari tak terlalu jelas terlihat, tak sesuram tempat yang menjadi landaian Snotra.

Alisku mengerut, mengalihkan atensi pada kudu yang suka nyengir menyebalkan itu. “Kau berkata hanya tempat ini yang paling aman untukku." Ia gugup, menggerakkan bola matanya dengan gelisah.

Tertekan oleh tatapan tajamku, ia buka suara, “Aku berbohong karena tanah seberang itu adalah musuh tanah kita. Tanah seberang adalah tanahnya makhluk normal, sedangkan tanah ini tempat bagi kejahatan.”

“Itu artinya kalian semua jahat?” Aku membelalak memandang Brungrå, Tansy, dan Lynxè bergantian.

“Dengarkan dulu, Snotra. Sebenarnya aku berasal dari tanah seberang, tetapi karena rasa penasaranku sendiri, kuseberangi sungai yang menjadi sumber cahaya itu. Aku bertemu dengan Lerros yang merekrut diri sebagai ratu, kemudian ia menciptakan mantra penghalang agar aku tidak bisa kembali ke tanah seberang, tanah airku. Makanya sampai sekarang aku menetap di tanah terkutuk ini.”

“Bagaimana jika Snotra kubawa ke seberang?” tanya Espen.

“Takkan bisa. Dia telah bersinggungan dengan Lerros dan masih menjadi buronannya.” Jawaban Tansy membuat dadaku terasa nyeri.

Aku baru menyadari kalau sedari tadi Lynxè tak kunjung buka suara, apa pun itu. Kami bertatap sebelum kurasakan mata hijaunya makin bercahaya menyilaukan pandangan. Aku segera beralih sementara kudapati Brungrå dan Tansy bertukar pandang, laiknya sedang telepati.

EventyrlandWhere stories live. Discover now