4. Menyesatkan Diri

8 5 0
                                    

Brungrå kembali dengan setumpuk ikan di mulutnya. Baru kusadari bahwa mulutnya sangat lebar sehingga mampu menjejalkan delapan ikan yang kemudian diletakkan di meja batu, menyuruhku makan. Perutku mual ketika melihatnya. Ikan itu penuh dengan liur dan aku harus melahapnya mentah-mentah.

"Maaf, Brungrå. Sebenarnya aku alergi ikan," dustaku.

"Tenanglah, sihirku bisa menjadi penawarnya." Kudu itu nyengir tulus, melanjutkan, "Hargailah usahaku bertaruh dengan gigi mereka."

Aku meneguk saliva, menahan agar tidak muntah di hadapannya. Dia terus menatapku, memaksa untuk makan. Dengan senyum kecut, akhirnya kupaksakan segigit ikan penuh liur itu masuk ke kerongkongan.

"Oh, Manusia! Wajahmu pucat sekali. Maafkan aku," ucap Brungrå dan menyingkirkan semua ikan dengan kaki depannya.

Muntahanku sudah mencapai mulut, tetapi kutahan di balik bibir. Aku tersenyum dengan mata berair, kemudian keluar untuk menuntaskan muntahan bau itu ke balik semak-semak di samping rumah. Semua makanan di dalam perut telah habis terkuras, kini hanya ada pahit di lidah.

Biji-bijian merah kupetik dari semak dan kukantongkan. Aku kembali ke dalam rumah, diberondong permintaan maaf oleh Brungrå yang kuabaikan. Dia membuntutiku dengan ocehan, sampai aku tersungkur karena dorongannya.

"Tidakkah kau mengerti? Dari raut mukaku saja harusnya kau peka bahwa aku tidak suka. Aku mual melihat hal yang menjijikkan seperti itu!" ucapku tanpa menoleh, sembari memegang perut yang serasa melilit. Dia tidak merespons. Aku pun melanjutkan, "Untuk apa kau mendorongku? Tidakkah kau tulus meminta maaf?"

Aku berbalik, mendapati wajah kecewanya yang langsung berubah menjadi kemurkaan. "Aku hanya menepukmu karena kau tidak mengacuhkanku! Jika kau muak, seharusnya kau pergi sedari kemarin!"

"Aku tidak mua—"

"Aku tahu, aku menyeramkan. Jauhi aku!" Ia membentakku, membuat hatiku teriris. Itu lebih menyeramkan dibanding cengirannya. Aku berlari keluar, melewati semak belukar hingga menemukan jalur setapak.

Aku tersadar betapa bodohnya aku setelah memasuki hutan ini. Netraku tak dapat menangkap objek apa pun dan terus berlari di jalanan yang tak jelas ujungnya. Samar, kudengar senandung parau. Kutajamkan pendengaranku seiring makin jelasnya senandung itu.

Aku tersesat

Terjebak ketakutan

Di kegelapan

Sihir hitam menanti dengan tamak

Kalimat itu terus berulang sampai kusadari itu ditujukan kepada diriku. Aku menangis ketakutan, berlari ke sana kemari mencari jalan keluar, tetapi hasilnya aku menabrak pohon karena kegelapan semakin pekat.

Aku merangkak agar tidak menabrak pohon lagi, sambil menggeragap jalan setapak. Jika tanganku menangkap rumput, itu berarti aku keluar jalur karena jalan yang kulewati adalah tanah tandus. Kupejamkan mata sembari menggigit bibir, meredam isakan yang sulit kukendalikan. Namun, kesenyapan itu malah mendatangkan suara bisik yang membuat kepalaku berdenyut.

"Hur, zou doof raynagis akët*."

Mataku terbuka di tengah kegelapan. Aku merasa buta, tetapi kemudian terlihat titik cahaya merah serupa mata iblis menyala di kejauhan. Cahaya itu makin dekat dan amat terang, menampakkan puluhan cakar yang hendak menggapaiku. Kakiku terpeleset ketika hendak beranjak. Aku berlari secepatnya tetapi jari-jari runcing itu berhasil menggapai kakiku. Jeritku pecah seiring gelegar petir yang menyambar tanah bergetar.

Aku berteriak, memanggil Brungrå sambil merangkak dengan kaki tangan gemetar hebat. Tubuhku ringan dan terus ringan bagai sehelai kapas. Aku terbang, melayang tepatnya. Sekujur tubuhku bercahaya keemasan, semakin terang di tengah kegelapan, menusuk mata hijau emerald-ku sendiri. Kututup mata dan tanganku meraih apa pun yang ada di dekatku, tetapi kosong. Mataku terbuka sedikit, dan langsung kesakitan terhujam cahaya.

Jantungku berdebar, napasku sesak, dan aku mati.

🌲

Tak sadarkan diri tepatnya. Kusadari itu setelah membuka mata dan kudapati ekor pendek yang sedang membelakangiku. Aku berkedip-kedip, mengumpulkan nyawa sepenuhnya sampai aku sadar masih berada di—aku lupa namanya. Dan binatang di depanku itu adalah penyelamat yang kusinggung beberapa waktu lalu.

Asap dari perapian membuatku terbatuk, hingga ia sadar aku telah bangun. Ia tidak nyengir. Justru hanya memandangku sekilas kemudian berlalu. Mataku berbawang dan mengerjap. Aku ingin minta maaf padanya, tetapi gengsi. Lagi pula, ini hanyalah sebuah kesalahpahaman. Yang kumaksud menjijikkan dan tidak kusukai itu adalah ikan yang dibawa dari mulut berliurnya. Namun, kurasa ia mengartikan itu untuk dirinya sendiri, menganggap aku tidak menyukainya.

Walaupun memang aku sedikit tidak suka, karena kadang kala ia bau seperti kambing.

"Nah, sudah mengerti gunanya menghargai keberadaan seseorang?"

Aku terdiam, merenungi segala perbuatanku atas dirinya

"Menghargai keberadaan makhluk hidup lain itu penting, Manusia. Seberapa pun jeleknya ia, seberapa pun rendahnya, ia bisa menolongmu kapan pun kau butuh."

Aku terisak, menyesal. Kata "maaf" sepertinya tak cukup. Aku harus meminta maaf dengan perubahan perilaku untuk lebih menghargainya.

"Aku terlalu bergantung padamu. Kupikir aku bisa hidup sendiri."

"Pengetahuanmu tentang Eventyrland bagaikan tong kosong. Jangan bersikap sok. Kau bisa mempercayakanku, hur?"

Alisku mengerut tidak suka, demikian bibirku. Dari caranya membandingkan sesuatu, mungkin kapasitas otaknya setara dengan manusia, bahkan lebih. "Tidak bisa, jika kau mengataiku tong kosong."

Brungrå terkekeh, memperlihatkan gigi runcingnya yang mendadak kusuka. "Akui saja, kau bahkan tidak tahu makhluk apa aku ini." Ia menatapku lama sekali tanpa berkedip. Sejenak terlintas di pikiranku, ia sedang memikirkan bagian tubuhku mana yang akan dimakannya terlebih dahulu.

"Sebenarnya aku berusaha mengabaikanmu, tidak peduli jika kau mati. Tapi tandukku mengkhianatiku."

"Maksudmu ... oh, cahaya yang membutakan itu adalah sihir dari tandukmu?" Dan ia mengangguk.

Aku tidak percaya itu. Kugelengkan kepala kuat-kuat, menatap sekeliling dengan gelisah mirip orang sinting. Kemustahilan ini menggerogoti kewarasanku. Sihir, bicara dengan hewan, keremangan abadi, sungguh tak masuk akal. Tidak mungkin ada dunia berisi semua itu. Aku yakin, ini semua hanya khayalanku setelah terantuk pohon picea abies.
_______
*Lihat, ada makanan baru yang datang.

EventyrlandWhere stories live. Discover now