3. Cahaya dari Sungai

12 5 0
                                    

"Kau menyuruhku tidur beralaskan lumpur?"

"Tidak ada tempat aman lain."

"Buatkan aku alas dengan sihirmu!"

"Sihirku tidak digunakan untuk hal sepele, Manusia."

Aku menggerutu, meniru ucapannya dengan bibir manyun. Kutunjuk tanah basah di bawahnya, memberi isyarat agar ia duduk. Kemudian, aku meletakkan separuh badanku di tubuhnya yang empuk. Tetap saja tak bisa tidur walau tubuh kian menghangat. Api unggun telah padam, kupejamkan rapat mataku, tetapi yang ada hanyalah warna-warna berputar di dalam pejaman mata. Aku pusing. Terpaksa, kubuka mata dengan nyali ciut. Brungrå sudah mendengkur seram. Lengkingan entah binatang apa terdengar sahut-menyahut. Kulirik sekeliling tetapi tak menemukan apa-apa selain pohon yang menjulang.

Tunggu, bagaimana bisa aku menangkap siluet pohon jika tidak ada cahaya?

Kutelengkan kepala, akhirnya menemukan sumber cahaya memanjang di balik rimbun semak. Cahaya itu berwarna hijau keemasan, dengan kabut tipis di atasnya. Kubangunkan kudu bertaring yang sedang mengorok, mengajaknya melihat sumber cahaya. "Itu hanyalah sungai," katanya kemudian melanjutkan molor.

"Kebetulan sekali, aku kepingin mandi."

"Itu tempat tinggal ikan bertaring." Entah memang kenyataan atau ia sengaja menakutiku.

"Kebetulan juga, aku sedang lapar. Kau pandai menangkap ikan, bukan?" Terbesit saat pertama kali aku bertemu dengannya tepat di lokasi ini, ketika aku menabrak pantatnya. Waktu itu dia mendongak dengan dua ikan di mulutnya.

Netra Brungrå selayaknya kena lem perekat, alot untuk terbuka. Ia ambruk ke tanah berlumpur dan mendengkur lagi. Aku berdecak sebal. Mengabaikan rasa takut, kulangkahkan kaki memenuhi rasa keingintahuanku akan sungai bercahaya itu. Kulewati setiap batang pohon yang menjulang, belukar yang lebat, dan tanah lembek di bawah sepatuku.

Koak panjang menegakkan bulu romaku. Aku sudah jauh dari Brungrå, tidak berani berteriak atau lari. Angin berdesir, menerbangkan rambut panjang kecokelatanku. Gemercik air mulai tertangkap indra pendengarku yang tak setajam beruang. Kusibak tumbuhan liar yang menghalangi jalanku, dan kutemukan sumber cahaya itu.

Sungguh jernih. Cahaya hijau keemasan itu ramah di mata walau tampak silau dari kejauhan. Melalui cahaya itu, aku menangkap tumbuhan liar tinggi yang mengelilinginya. Bunga hellebore dan ylang-ylang pun turut hadir menghiasi sungai cantik itu. Laiknya terhipnotis, aku melepas jaket dan seluruh pakaian yang tergantung di tubuh. Kakiku menginjak batuan mengkilap, di bawah jernihnya air.

Brungrå berbohong, nyatanya di sini tidak ada satu ikan pun. Kutenggelamkan badanku, menjemput kesejukan surgawi.

Di tengah kenikmatan itu, sesuatu menggigit punggungku, lalu paha, dan lengan. Aku membelalak, menemukan puluhan ikan trout bertaring. Brungrå tidak bohong.

Aku beranjak, memakai jaket kebesaranku dengan tergesa-gesa. Sekilas, kulihat siluet serupa kucing raksasa sedang menatapku dengan mata hijaunya yang berkilau. Setelah mengambil pakaianku yang tersisa, aku meninggalkan tempat terkutuk itu sembari berteriak memanggil Brungrå.

"Kenapa tidak mendengarkan peringatanku, Manusia?!"

"Bawa aku pergi, sekarang!"

Ia menolak merendahkan tubuhnya untuk kunaiki. "Sungguh, inilah tempat yang paling aman buatmu, Manusia." Wajahnya terlampau serius, moncongnya tak menguarkan cengiran lagi. "Di gua, kau sudah membuat masalah. Aku tidak ingin kau buat masalah di tempat lain yang dihuni. Hanya di sini kita terisolasi dari kehidupan makhluk lain.”

Aku menggeleng dengan kepanikan yang belum kunjung reda. "Kenapa Matahari tak kunjung terbit?" tanyaku.

"Apa itu Matahari?" Brungrå balik bertanya, membuat mulutku ternganga heran.

"Apakah tempat ini selalu gelap?" Aku memastikan, dan ia mengangguk.

"Ini Eventyrland, Manusia. Kami, penghuninya tidak memerlukan yang kau sebut Matahari. Apa pun bisa muncul lewat buah pikiran kami," ucapnya.

Aku berkedip tidak paham dengan yang dimaksud buah pikiran. "Apakah imaji?"

"Tepat. Kurasa kau perlu berpakaian."

Aku baru menyadari bahwa aku hanya memakai jaket. Pakaian yang lain tiba-tiba terpasang di tubuhku.

"Aku membayangkan pakaian itu terpakai di tubuhmu, dan boom! Itulah buah pikiran."

Aku semringah dengan sihir imaji itu. Kuminta Brungrå membayangkan kakakku sesuai deskripsi yang kuutarakan. Namun, ia menolak karena tidak bisa menciptakan makhluk hidup. Akhirnya, dia membuat rumah batu dengan buah pikirannya. Tentu saja itu ada konsekuensinya. Kami duduk di dekat perapian, dan ia berucap, "Buah pikiran itu adalah hasil aku memakan ikan riajum. Jika melewatkan sekali saja, aku akan mati." Dan aku tahu ikan yang semula kukira trout itu bernama riajum.

Pada akhirnya, kami duduk melamun di dalam rumah batu. Sebenarnya aku tidak ingin musim dingin di kampung halamanku terlewat begitu saja, dengan hubunganku dan Espen yang semakin erat. Aku penasaran, bagaimana reaksi kakakku itu ketika tidak menemukanku di tumpukan salju.

Brungrå bangkit, aku membuntutinya di belakang buntut pendeknya. Ia terlihat murung dan aku rindu cengirannya.

"Jangan ikut!" peringatnya. Kupikir ia akan ke sungai dan tidak mau mendapatiku takut akan ikan riajum lagi.

"Aku lapar. Jangan pikirkan dirimu sendiri ..." sahutku.

"Mereka suka sekali padamu. Karenanya mereka menjebakmu. Nanti akan kubawa pulang hasil tangkapanku."

Setelah menghela napas jengah, kuturuti wejangannya, masuk dan menutup pintu rumah batu. Kutunggu ia dengan bosan di dalam kegelapan. Aku hanya melakukan satu hal—menggambar abstrak di tanah.

Dilahap bosan yang membuat pantatku mati rasa, aku membuka pintu dan menghirup udara segar. Aroma chamomile tercium, di antara kabut yang berlalu-lalang. Pemandangan hutan di depanku tampak kebiruan, lebih terang daripada sebelumnya. Gumpalan awan kelabu, desiran samar angin, gemercik air sungai, serta embun di dedaunan benar-benar mendamaikan benakku.

Kurasa ucapan Brungrå benar—lagi. Aku menyadarinya, banyak mata yang kini menatapku dengan sorot ingin tahu. Mereka menyukaiku, mungkin menginginkanku. Aku tidak tahu apa alasannya. Aku berbalik, menutup pintu sesegera mungkin. Menghindari mereka—yang entah berwujud apa saja.

EventyrlandWhere stories live. Discover now