6. Lerros

9 5 0
                                    

Brungrå menekankan bahwa aku tak boleh keluar dari rumah batu satu inci pun. Lagi pula, aku tidak cukup nyali untuk keluar setelah tahu Makhluk Genderang senantiasa menantiku. Namun, aku tidak tahan lagi. Setengah hati kubuka pintu, menimbulkan decit gesekan. Kutoleh kanan-kiri, memastikan ketidakadaan Brungrå maupun Makhluk Genderang. Kakiku melangkah di atas tanah berlumpur kehitaman. Lupa memakai sepatu. Lumpur menebal dan ketika aku sampai di belakang rumah batu, aku sudah dibalut sepatu oleh lumpur itu.

Belakang rumah terdapat lebih banyak semak serta tanah liat lembap yang kugali dengan tergesa-gesa seperti kucing, kemudian menuntaskan penyebab gemuruh di perutku. Kuselesaikan urusan mendesak itu dengan dedaunan basah dan timbunan tanah ke lubang.

Aku berdiri, bernapas lega sebelum melihat siluet perempuan di balik kabut. Matanya hitam tetapi menyala, di balik punggungnya terdapat sayap panjang. Bau tak sedap tercium—aku yakin itu bukan berasal dari lubang yang baru kutimbun.

Napasku tersendat, kakiku alot dibuat melangkah. Aku berbalik, langsung tersungkur di atas genangan air. Mulutku megap-megap dan tak dapat bersuara. Kutolehkah kepala, menjumpai siluet itu sudah berada di atas badanku kemudian membawaku terbang bersamanya. Saat itu pula, aku baru berhasil meneriakkan nama Brungrå.

🌲

Aku ingin pingsan, tetapi kesadaranku masih normal. Kumuntahkan segala isi perutku ke pepohonan hijau di bawah, tak peduli jika ada makhluk hidup yang tertimpa.

Aku takut ketinggian. Kepalaku serasa berputar bak bola menggelinding. Perutku terus bergejolak. Makhluk yang membawaku itu terbang makin tinggi. Dan aku senang karena kesadaranku hilang.

Bau busuk lagi-lagi menusuk hidungku. Kukerjapkan mata, beradaptasi dengan secercah cahaya. Kukira cahaya itu mentari, tetapi aku salah kaprah. Cahaya kehijauan itu berasal dari sayap ... entah harus kusebut apa ia. Sepertinya ia peri berbau busuk. Mataku menyipit karena cahaya itu semakin silau mendekat.

Kupalingkan muka setelah mendapati dirinya telanjang bulat. Baru kusadari, banyak capung beterbangan di sekelilingku.

"Ratu Lerros, kenapa tidak langsung diambil sarinya?" Capung di sampingku melengking.

Peri itu—Ratu Lerros menyentuh kedua pipiku kemudian mengecup bibirku. Menjijikkan. Dia tidak pantas disebut ratu sama sekali. Biadab!

Aku meludah, berharap menghilangkan rasa basi yang menempel di bibirku. Kutatap mata hitamnya yang penuh, tetapi urung karena mata itu menyilaukan.

"Mengapa terburu-buru? Energinya sangat kuat." Ia memandang capung yang tadi menyeletuk.

Lerros itu menjauh, menuju kolam—atau rawa kehijauan yang dipenuhi lumut. Menenggelamkan rambut panjang kusutnya lalu menyembul, menyeringai ke arahku. Giginya lebih runcing dan rapi daripada Brungrå. Aku merinding dibuatnya, tetapi masih memiliki nyali untuk meludah dan muntah. Ciumannya tadi masih membekas di bibirku, menyisakan pahit yang menjijikkan.

Lerros telanjang itu mendekatiku lagi. Aku beringsut, tetapi tak ada gunanya. Tubuhku disandarkan di bawah pohon, tangan dan kakiku diikat dengan sulur. Aku pasrah saat dia menjilat bagian dalam mulutku sampai isi perutku naik melewati kerongkongan dan masuk ke mulutnya. Reaksinya di luar dugaanku. Rupanya ia tidak jijik, melainkan mengunyah muntahan itu dan menelannya. Aku menggembungkan pipi, mual.

"Sorrel, jaga dia sampai kutemukan yang satunya lagi!" perintahnya, dibalas lengkingan para pengikutnya.

Aku hanya bisa mendesah pasrah. Lerros berlalu sambil menjentikkan jari ke tali yang mengikatku hingga lepas. Walau begitu, aku tak bisa berlega ria karena pengikutnya terus mengawasiku. Salah satunya berwujud lynx dengan tanduk bercabang, menatapku dengan kilauan di mata hijaunya. Dia terpaku, sebelum kepalanya digetok tongkat oleh Lerros dan mengikutinya berlalu.

EventyrlandTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon