2. Taring Berbuku

15 5 0
                                    

Ini pasti mimpi. Maka, aku masih sempat mengamati muka dengan tanduk runcing panjang dan mata putih. Setelah makhluk berbadan beruang itu berteriak mirip genderang, barulah aku berlari. Kunang-kunang terbang di sisiku, membantuku melihat jalan. Di belakang kami, tentu saja makhluk bertanduk itu dapat menyusulku dengan langkahnya yang lebar. Namun, para kunang-kunang berbalik dan menghadang makhluk itu. Mereka menusuk matanya entah menggunakan apa, dan masuk ke lubang hidungnya. Aku melambat karena tidak bisa melihat jalan. Makhluk itu mengaum, mengeluarkan suara serupa genderang perang. Aku kembali lari dengan cepat. Semua kunang-kunang masih menangani sang monster, dan tak ada satu pun yang menerangi jalanku hingga aku menabrak sebatang kayu.

Aku bangun dengan kepala berdenyut dan keringat bercucuran. Tidak ada waktu untuk melepas mantel serta syalku. Aku terus berlari di dalam pekatnya malam, walaupun beberapa kali menginjak ranting tajam dan menabrak pohon.

Hodhr sang dewa kegelapan sedang mengujiku. Mentang-mentang Ia penguasa kegelapan dan musim dingin, tak ada belas kasihan padaku dengan memberi penerangan. Aku menabrak sesuatu yang empuk dan halus, di antara dua kaki belakang dan ekor pendek. Itu bokong. Di depan terdapat sungai, yang sepertinya menghasilkan cahaya remang-remang. Sesuatu yang kutabrak itu mirip kijang dengan tanduk meliuk-liuk ke atas. Dia menoleh, menampakkan mulutnya yang penuh ikan. Aku menjerit sejadi-jadinya, bersamaan dengan suara genderang yang semakin dekat.

Kakiku kebas sedari menunggu Espen di bukit, lari dikejar monster, dan kini harus berlari lagi. Namun, binatang pemakan ikan itu mencegatku. "Naik ke punggungku!" Dan aku menghindar dengan tubuh gemetar. Auman genderang memekakkan telinga. Binatang mirip kijang di depanku menyodorkan ujung tanduknya tepat di depan leherku. "Cepat naik!" Aku pun naik dengan susah payah ke atas tanduk kemudian merayap ke punggungnya.

Kami menyeberangi sungai. Aku berpegangan di kedua tanduknya yang besar. Binatang ini berlari secepat angin, bahkan rasanya lebih cepat daripada cheetah. Ia terus berlari, sampai di mulut gua yang sedikit bercahaya. Aku muntah setelah turun akibat perut yang terkocok di sepanjang jalan. Binatang itu menungguku dengan sorot ingin tahu. Baru kusadari, ia adalah seekor kudu, sub spesies antelop.

Kudu itu memberi isyarat untuk mengikutinya masuk ke dalam gua. Stalaktit menjuntai di atas kepala kami, meneteskan air yang tampak kemilau. Rasa kagumku lenyap, ketika mendapati wajah si kudu yang menyengir di hadapanku. "Kau suka?"

Aku bergidik melihat gigi runcingnya. Mustahil seekor kudu punya gigi seperti itu, lari melebihi kecepatan cheetah, dan mampu bicara. "Kau ini apa?" tanyaku.

"Tidak tahu."

Terbesit julukan untuknya setelah melihat warna bulunya ; abu-abu kecokelatan. "Akan kupanggil kau Brungrå."

Brungrå nyengir lagi, membuatku memalingkan muka menutupi rasa ngeriku. Ia menjelaskan bahwa gua ini tempat tinggalnya selama ratusan tahun. Malam hanya kami isi dengan kecanggungan tak berarti. Setiap kali aku menatap mata kelamnya, binatang itu menyengir entah kenapa. Sepertinya ia begitu tertarik pada wujudku, seperti baru pertama kali melihat manusia. Aku tidak masalah jika ia ingin tersenyum sepanjang malam sambil menatapku. Hanya saja, aku takut gigi runcingnya tiba-tiba menerkamku.

Aku menguap, kemudian melirik Brungrå yang masih saja memandangku. Terlebih ia kini meniru uapku dengan lebar, menampilkan bagian dalam mulutnya, dan aku menggigil ketika melihat gigi gerahamnya yang runcing dan berbuku-buku.

"Sungguh, aku mengantuk, Brungrå," kataku. "Berhenti menatapku dan sembunyikan gigimu!"

Ia terbahak dengan suara mirip burung Corvus frugilegus yang berkoak-koak. "Silakan lakukan yang kau inginkan."

Kelopak mataku berat sekali, dan ketika terpejam, sudah seperti kena lem perekat. Aku tidak mempermasalahkan alas tidurku yang agak lembap. Entah berapa lama aku terlelap ketika merasakan sesuatu menusukku. Aku membuka mata, dan mendapati wajah Brungrå persis di depanku. Aku tersentak mundur, ketakutan. Mataku masih setengah terbuka, karena belek masih merekat. Nyawaku pun belum terkumpul semua, sehingga urung tiap kali akan mengucapkan sesuatu. Aku mengambil apa pun yang berada di dekatku. Benda bulat kecil langsung kulemparkan padanya, pecah di tanduknya. Tepat setelah itu, desisan menusuk telingaku. Aku berbalik, dan makhluk serupa ayam berkaki empat hampir menginjakku. Dia seukuran anak sapi.

"Aromamu membangunkan tetanggaku, Manusia." Brungrå mengangkatku yang terpaku menggunakan tanduknya. Ia melesat lagi, membuat muntahanku keluar di tengah jalan.

Brungrå berhenti, tetapi aku tidak kunjung siap beranjak. Aku tidak mau beralih dari bulu lembutnya dan melihat makhluk mengerikan lagi. Ia mengisyaratkanku untuk turun dengan desisan. Setengah hati aku menurutinya. Kurapatkan jaketku karena angin yang datang tiba-tiba.

"Manusia, bibirmu memutih," ungkap Brungrå, mendekatkan wajah berbulunya padaku.

"Aku kedinginan. Sebaiknya aku mengumpulkan ranting," jawabku.

"Untuk apa?"

Aku mengabaikannya, berjalan mencari apa yang kuinginkan. Pada akhirnya, ia mengikutiku dengan cahaya di tanduknya sebagai penerang. Tidak ada ranting. Hanya ada dahan yang lumayan besar. Untungnya tanduk Brungrå bisa membawa dahan itu. Kuminta dia menyalurkan api jika bisa. Aku percaya ia mempunyai sihir yang berpusat di tanduk terangnya.

Aku mendekatkan telapak tangan pada api yang berkobar di atas tanak becek. Merasa diamati, aku mendongak pada binatang besar di depanku yang sedang nyengir. Aku menggigit bibir, merengut hendak menangis. Cengiran itu menyeramkan di atas api yang menjilat-jilat, dengan latar belakang langit hitam yang tak kunjung berganti.

Brungrå mengerjap, seperti menyadari perbuatannya. "Jangan menangis. Tetanggaku itu tidak mengejar."

"Aku takut pada gigi hiumu!"

"Apa itu hiumu?"

Kuhentakkan kaki setelah berdiri sehingga tanah becek menciprat ke mana-mana. Bahkan sepatuku telah sepenuhnya terlapisi tanah cokelat itu.

EventyrlandDove le storie prendono vita. Scoprilo ora