9. Zara dan Svart Geit

7 3 0
                                    

Suntuk di dalam rumah yang lembap sekaligus hampa melepas Espen dan Muso kembali ke tanah mereka, aku diam-diam keluar ke serambi. Berbungaan telah habis masa mekarnya. Bayangan dedalu terpampang dari serambi. Kuhirup udara dalam-dalam, merasakan kesegaran tiada tara iklim tropis yang belum pernah kurasakan di tanah Skandinavia.

Cicit burung yang agak aneh tapi merdu terdengar dari arah selatan ke utara, di antara gumpalan awan biru kelabu. Kubayangkan lidah menyesap teh kamomil sembari menyaksikan pemandangan menakjubkan ini. Bayangan itu membuat tenggorokanku kian kering. Dengan mengendap-endap, kulangkahkan kaki telanjang ini menuju sungai untuk minum. Namun, sebelum mencapai batas serambi, seorang gadis kecil berlari dengan sesekali menengok ke belakang. Pandangannya menangkapku, ia tersedu sambil melambaikan tangannya memintaku mendekat.

Wajahnya mungil dengan pipi tembam. Rambut ikal blonde dibiarkan tergerai sebahu. Gaun putihnya melambai-lambai tertiup angin. Aku tak tega melihat wajah imut itu menangis, maka kudekati ia yang dengan cepat memelukku. “Manusia akan menjadi tumbal di sini. Ayo kita pergi, aku ingat jalan yang tembus ke pekaranganku.” Di dadanya, tertempel secarik daun pisang yang bertuliskan Zara—mungkin itu namanya.

Aku merasa senasib dengannya. Ternyata tak hanya aku dan Espen yang tersesat di negeri antah berantah. Aku mengikutinya karena rasanya tak mungkin wajah polos itu penipu.

Kecepatan larinya hampir menandingi Brungrå setelah kulewati lengkungan ranting yang mirip gerbang raksasa. Bocah itu tak terlihat lagi setelah ngebut. Aku celangak-celinguk mencerna situasi. Wilayah ini hening, tak ada tanda-tanda kehidupan—kecuali tumbuhan yang menjulang. Lama-lama aku meremang mengamati wilayah ini. Kuberbalik, tetapi gerbang ranting tadi sudah tak ada, berganti menjadi jalur berbatu yang berlumut dan bercabang. Kulangkahkan kaki dengan hati-hati selama perjalanan menyusul Zara. Tubuhku menggigil karena suhu yang semakin dingin, apalagi pepohonan dan semak pakis yang menyelimutiku terasa memperhatikan bahkah menghitung langkahku.

La la la ... mungkin bukan aku satu-satunya manusia di dunia ini tiap ketakutan selalu menyenandungkan lagu secara asal. Sungguh, telingaku semakin berdenging jika bungkam tak menyumbangkan suara.

Entah alam marah karena suara sumbangku atau karena hal lain, tiba-tiba bokongku terseruduk oleh sesuatu—atau seseorang hingga aku terpental, melayang dan tak merasakan jatuh. Mataku terpejam, tetapi kesadaranku masih ada. Ingin kubuka kelopak mataku tetapi tak sanggup yang akhirnya hanya berpasrah pada warna hitam yang lama-kelamaan membuat kepala pening.

Aku tertidur. Mungkin karena keheningan dan kegelapan membuat jiwaku tenteram. Namun, jantungku langsung berdentum ketika nyawa telah terkumpul. Aku berada dalam posisi berbaring di dipan bambu, terikat oleh tali bambu, dan digotong oleh sesuatu yang mengembik. Aku mendongak dan kudapati beberapa anak perempuan tanpa bola mata tersenyum mengiringiku yang digotong. Kemudian aku bergeser sedikit, menelengkan kepala ke bawah, mendapati empat ekor kambing berbulu hitam memboyong dipanku dengan tanduk mereka yang besar dan meliuk-liuk.

Darahku terasa berhenti mengalir. Ingin kuhilangkan kesadaran ini, tetapi masih saja terjaga. Kambing-kambing itu menurunkanku setelah sampai di padang rumput yang luas tanpa adanya pohon selain rumpun bambu. Langit selalu kelabu disertai kabut tipis dan udara dingin.

Kupejamkan mata pura-pura pingsan sementara para makhluk saling bergumam tak jelas. Samar aku menangkap maksud kalimat yang begitu asing. "Hur, zou doof raynagnis akët." Intinya mereka senang mendapat mangsa baru. Aku menggigil kedinginan, membuat mereka tahu bahwa aku hanya pura-pura pingsan. Mereka bersorak mengerikan, menggema di penjuru tempat.

Anehnya, dalam situasi seperti ini aku masih sempat berkhayal ada ksatria tampan yang menyelamatkanku. Aku tak merasa takut sedikit pun. Malah kagum mendapati tempat beserta penghuni yang ajaib. Aku lebih takut hantu daripada para makhluk ajaib ini.

Di depan sana, terpancar cahaya kebiruan yang membias dari sumber serupa peraduan. Aku dibawa ke peraduan itu, masih pura-pura pingsan. Namun, mataku sedikit mengintip suasana di sekeliling. Mataku menangkap gadis tanpa bola mata yang tadi tersenyum menyeringai padaku. Ah itu gadis yang menjebakku ke sini—Zara. Kini alisnya mengerut nanar, tangannya tersembunyi di balik gaun beledu putihnya. Ia berteriak tatkala peraduan ini makin terasa panas.  Beberapa kambing menghampirinya, mengusir gadis yang membuat isyarat tangan padaku. Aku sadar dan segera beranjak dari peraduan panas itu, tetapi aku lupa sulur masih mengikat kakiku. Gagal sudah percobaan melarikan diri.

Mataku beradu pandang dengan iris kotak para kambing di hadapanku, memintaku untuk kembali ke peraduan. Tanduk besar mereka meliuk-liuk, bulu mereka sekelam malam, dan tak seperti kambing dari duniaku, mereka sebesar kuda. Karena aku tak kunjung naik—bagaimana bisa, kakiku terikat— salah satu dari mereka menendangku hingga terbaring di dipan terkutuk itu. Pinggangku serasa dihantam bola bowling. Aku meringis menahannya hingga air mataku keluar dari persembunyiannya.

Dadaku berdebar dan kurasa ini akan menjadi akhir riwayatku. Kambing di sekelilingku melantunkan sesuatu—seperti kidung mantra. Aku teringat perkataan Zara sebelum aku sampai di sini. Benar aku akan dijadikan tumbal. Apa boleh buat? Sulur di sekujur tubuhku begitu erat mengikat. Seiring mantra dialunkan, aku mengenang satu persatu teman-teman yang mengisi hariku di Eventyrland. Brungrå dan Tansy, penyelamatku dari Lerros yang menjijikkan. Espen dan Muso, baru sehari aku bertemu mereka dan kini kami dipisahkan kembali. Serta Lynxè, makhluk menawan itu. Mataku serasa ditusuk sesuatu, tetapi menimbulkan gelenyar nikmat. Penglihatanku lebih jernih tetapi apa yang kulihat menjadi lebih hijau. Aku merasa mataku berpendar.

Namun, rohku terasa ditarik paksa dari raga menuju dunia bawah— underworld. Kesadaranku hampir sirna sebelum samar kulihat netra hijau berkilau milik Lynxè.

🌲

Aku menggelepar di punggung Brungrå. Bulunya tak terasa di kulitku yang mati rasa. Tubuhku tak dapat digerakkan, hanya mataku yang masih sanggup berkedip dan mengamati sekeliling. Ah mungkin otakku juga masih bekerja karena dapat mencerna apa yang kulihat.

Sesampainya di rumah batu, Lynxè menempelkan kepala halusnya pada kepalaku. Matanya bersinar dan kurasakan mataku mengalirkan gelenyar aneh lagi. Nyawaku mulai terkumpul, tubuhku mampu digerakkan, napasku mulai teratur. Bahkan aku merasa lebih berenergi dari biasanya. Senyumku melebar seiring mereka menghela napas lega. Espen membuat api unggun sementara Tansy membuatkanku teh kamomil. Brungrå dan Muso bisik-bisik di sudut, entah menggosipkan siapa. Sedangkan aku dan Lynxè diselimuti hening yang canggung.

“Jadi, kenapa Espen dan Muso kembali kemari?” Aku buka suara.

“Mereka mengkhawatirkanmu. Lagi pula, Espen bersikeras mencari jalan keluar bersama,” jawab Lynxè.

Aku mengangguk takzim mengalihkan pandangan dari intensitas kucing besar ini. Mata hijaunya terlalu memesona bagiku, menjerumuskanku ke dalam jurang perasaan konyol yang tak boleh dibiarkan begitu saja. Jantungku berdetak makin cepat dan aku makin gugup berhadapan dengannya.

“Setelah kejadian itu, kautahu bahwa nyawamu makin di ambang batas. Kita harus bergerak cepat sementara Lerros maupun Svart Geit terus mengincarmu.” Suara beratnya membuatku bulu romaku berdiri.

“Sebenarnya apa sih maunya Lerros dan kambing-kambing hitam itu?!” Emosiku membludak antara marah dan takut.

“Lerros dan Svart Geit menjalin kerja sama untuk membuat Eventyrland terus aman dari pemberontak yang ingin ke tanah seberang. Kemarin nyaris saja kau menjadi persembahan oleh Svart Geit di Geiteby.”

“Bagaimana kalian tahu aku ada di sana?”

“Mataku nyeri dan silau sementara bayangan dirimu ada di peraduan persembahan semakin jelas terlihat.”

EventyrlandМесто, где живут истории. Откройте их для себя