22 | Mendengarkan Cerita Masa Lalu

1.7K 187 2
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Dandi kini menatap tepat pada foto bagian sudut halaman belakang rumah Nyai Kenanga, setelah ponsel kembali ke tangannya. Wajah Nyai Kenanga benar-benar tertangkap dalam foto yang ia ambil diam-diam kemarin, meski hanya tampak seperti bayangan. Yatno menatap ke arah Risa dan tampak seperti sedang mengingat hal yang sudah lama berlalu.

"Dulu Nyai Kenanga adalah kembang desa di Desa ini. Dia begitu dipuja-puja oleh para pria, baik yang masih muda maupun yang sudah tua. Dia memiliki wajah yang begitu bersih dan bercahaya, sehingga selalu saja membuat terpukau yang menatap ke arahnya. Bahkan, banyak para wanita di Desa ini yang juga kagum dengan kecantikannya," mulai Yatno.

Zulkarnain, Dandi, dan Risa mendengarkan dalam diam. Mereka tidak ingin menyela, karena ingin tahu semuanya tentang Nyai Kenanga tanpa terkecuali.

"Nyai Kenanga hanya hidup sendiri, hingga usianya tidak lagi muda. Dia itu anak tunggal di dalam keluarganya. Kedua orangtuanya sudah lama meninggal dunia, sehingga dia tinggal sendiri di rumah peninggalan Almarhum kedua orangtuanya tersebut. Tidak pernah ada yang melihatnya berusaha mencari jodoh, baik itu secara sembunyi-sembunyi ataupun secara terang-terangan, meski banyak pria yang begitu menginginkannya. Dia sangat menjaga dirinya dan membatasi interaksi dengan lawan jenis. Ya ... siapa yang menyangka bahwa dia hanya setia pada satu pria bernama Panji di dalam diamnya dan menantikannya pulang, seperti yang kamu tegaskan di depan Mbah Tejo kemarin. Aku sudah dengar mengenai hal itu dari Mbah Rumsi."

Yatno tersenyum tipis karena menyebutkan fakta itu. Fakta tentang kisah cinta tersembunyi Nyai Kenanga dan Panji Satriaji.

"Nyai Kenanga itu selalu ramah kepada siapa saja yang ada di sekitarnya. Saat dia menghilang dari Desa ini, usianya saat itu baru tiga puluh lima tahun, karena saat itu usiaku baru tiga puluh dua. Kegiatan sehari-hari Nyai Kenanga di Desa ini adalah bertani. Dia adalah salah satu petani jagung yang sukses di Desa ini. Warga Desa Banyumanik, terutama kami, banyak sekali yang merasa terbantu olehnya. Dia tidak pernah memberikan harga mahal kepada warga Desa ini jika ingin membeli jagung yang sudah selesai dia panen. Dia juga bukan orang yang pelit. Dia sangat dermawan dan tidak pernah ragu untuk membantu orang-orang yang sangat membutuhkan bantuan. Maka dari itulah kami semua sama sekali tidak bisa mempercayai tuduhan-tuduhan Mbah Tejo terhadapnya sejak dia menghilang dari Desa ini," tutur Asih, dengan kedua mata berkata-kata saat mengingat tentang Nyai Kenanga.

Risa pun segera mengeluarkan sapu tangan miliknya dan menyodorkannya pada Asih. Asih menerima sapu tangan tersebut, kemudian menyeka airmatanya sebelum meluruh di wajah.

"Tentu saja tidak ada yang mau percaya pada omongannya Mbah Tejo. Semua orang di Desa Banyumanik ini tahu, kok, bahwa Mbah Tejo itu dulunya selalu saja berusaha mendekati Nyai Kenanga. Dia juga ikut tergila-gila dengan kecantikan yang dimiliki oleh Nyai Kenanga, dan selalu saja berusaha menyaingi siapa pun pria yang mau mendekati Nyai Kenanga saat itu. Mbah Tejo tidak pernah berhenti mengganggu, menghalang-halangi langkah Nyai Kenanga, dan bahkan juga sering berusaha ingin menyentuh Nyai Kenanga kalau mereka tidak sengaja berpapasan di jalan. Nyai Kenanga itu selalu berusaha menghindari Mbah Tejo dan tidak segan untuk mengusir secara baik-baik agar tidak mengganggu dirinya. Sampai suatu saat Mbah Tejo merasa tersinggung dan merasa tidak dihargai oleh Nyai Kenanga, ketika Nyai Kenanga akhirnya menjawab rayuan laki-laki itu dengan tegas, bahwa dirinya tidak bisa menerima keinginan Mbah Tejo karena sudah berjanji akan menunggu Panji pulang ke Desa ini. Itulah awal mula yang membuat Mbah Tejo mulai membenci Nyai Kenanga. Dia mulai sering menjelek-jelekkan Nyai Kenanga akibat rasa sukanya yang tidak berbalas, dan semakin menjadi-jadi ketika Nyai Kenanga mendadak menghilang dari Desa ini," tambah Rumsiah, melengkapi yang diceritakan oleh Yatno dan Asih.

"Dan apakah pria bernama Panji Satriaji itu pernah pulang ke sini untuk memenuhi janjinya pada Nyai Kenanga, Mbah?" tanya Zulkarnain.

"Pernah. Dia benar-benar pulang pada akhirnya dan ikut kaget karena tidak bisa menemukan keberadaan Nyai Kenanga," jawab Rumsiah. "Dulu dia bahkan ikut mencari bersama Almarhum Suamiku. Tapi setelah tiga tahun berlalu dan Nyai Kenanga tidak juga ditemukan, akhirnya dia pergi lagi dari Desa ini. Terakhir kali dia ada di sini, dia menatap begitu lama ke arah rumah milik Nyai Kenanga sambil menangis. Aku sampai tidak bisa menahan airmataku sendiri, Nak, saat melihatnya dari jauh bersama Almarhum Suamiku. Dia ingin menetap, tapi terlalu sakit jika menetap tanpa bisa bertemu lagi dengan yang dia harapkan. Bertahan di sini juga akan membuatnya terus terikat dengan kenangan tentang Nyai Kenanga. Sayang sekali ... aku tidak punya fotonya ataupun lukisannya. Pada zaman itu kami masih belum benar-benar mengenal yang namanya foto. Hanya orang-orang kaya yang bisa punya kamera."

"Tapi kalau Mbah Rumsi melihatnya sekali lagi, apakah Mbah Rumsi akan mengenali pria bernama Panji Satriaji itu?" tanya Dandi.

"Iya. Insya Allah aku akan mengenalinya, Nak, jika seandainya bertemu lagi dengannya."

Risa melirik sekilas ke arah Dandi yang tampak sedang merenung. Ia memilih untuk tidak mengusik pria itu dan isi pikirannya, karena ia kini memiliki tujuan lain yang harus diutamakan. Meilani masuk ke dalam rumah itu kembali sambil menatap lurus ke arah Risa. Risa menoleh saat tatapan semua orang mendadak terarah ke belakangnya.

"Ada apa, Mei?" tanya Risa, yang bisa melihat kalau Meilani tampak akan menyampaikan sesuatu.

Meilani pun tersenyum serba salah sambil mengatur nafasnya.

"Uhm ... kamu tahu kalau aku ini enggak gila, 'kan?" Meilani tampak butuh orang lain diyakinkan oleh Risa.

"Iya, aku tahu kalau kamu enggak gila dan aku yakin semua orang pun tahu kalau kamu enggak gila. Jadi ... ada apa?" Risa mengulang pertanyaannya.

"Itu ... teras rumah Mbah Tejo kembali mendapat teror mawar berdarah. Kali ini aku lihat sendiri siapa yang membawakan mawar berdarah itu dan meletakkannya di sana," jawab Meilani.

"Kamu lihat yang membawakan mawar berdarah itu? Siapa Mei? Kamu kenal tidak dengan yang membawakan mawar berdarah itu?" tanya Zulkarnain.

"Kenal. Kenal banget aku, Zul. Wajahnya bisa kulihat di wajah Risa kalau aku menatapnya. Yang membawa mawar berdarah itu dan meletakkannya di teras rumah Mbah Tejo adalah sosok Nyai Kenanga. Dia sempat berbalik ke arahku dan tersenyum sebelum mendadak menghilang ketika aku mengedipkan mata," jelas Meilani.

Risa pun bangkit dari kursinya dan meraih lukisan Sutejo yang digambarnya tadi.

"Mbah-mbah sekalian, aku mohon pamit dulu. Ada hal yang harus aku periksa di rumah Nyai Kenanga. Maaf kalau aku berpamitan dengan cara yang kurang sopan begini," ujar Risa, sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Iya, Nak. Iya. Kami paham," jawab Yatno, mewakili Rumsiah dan Asih.

"Mari, Mbah. Assalamu'alaikum," pamit Risa.

"Wa'alaikumsalam," jawab semua orang dengan kompak.

Meilani mengikuti langkah Risa dengan cepat, begitu pula dengan Dandi dan Zulkarnain. Risa tampaknya tidak peduli dengan teror yang terjadi lagi di teras rumah Sutejo, dan lebih peduli dengan apa yang akan diperiksanya.

* * *

TEROR MAWAR BERDARAH (SUDAH TERBIT)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora