16 | Sadar Soal Teror Berasal

1.9K 194 2
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Risa dan Meilani bekerja sama mengurus rumah milik Nyai Kenanga pagi itu, setelah shalat subuh. Mereka bersih-bersih dan memasak dengan bahan-bahan seadanya. Tadi Risa keluar rumah saat ada penjual sayur keliling yang lewat. Wanita tua yang menjual sayur itu tampak sangat kaget karena Risa keluar dari rumah yang selama ini kosong, dan bahkan memiliki wajah yang sama persis seperti pemilik rumah itu sebelumnya. Meski penjual sayur itu tidak mengatakan apa-apa, namun Risa jelas tahu bahwa banyak sekali hal yang ingin ditanyakan oleh si penjual sayur itu kepadanya.

"Itu tahu mau digoreng, ditumis kecap, atau dimasukkan saja ke dalam opor telur?" tanya Meilani.

Risa yang saat itu sedang mengepel lantai rumah pun langsung berhenti di tempat, lalu menatap ke arah Meilani yang sedang berdiri di ambang pintu dapur.

"Dibuat jadi perkedel tahu saja, Mei," jawab Risa.

"Tapi kita enggak punya merica, Sa. Tadi kamu enggak beli merica saat belanja sayur," balas Meilani.

Risa pun langsung menepuk keningnya saat ingat bahwa ia lupa membeli merica. Meilani terkikik geli karena Risa memang sering sekali lupa dengan hal-hal kecil mengenai persoalan di dapur.

"Ya sudah, kalau begitu masukkan saja tahunya ke dalam opor telur. Biar kamu cepat selesai memasak dan aku bisa segera membersihkan lantai dapur," ujar Risa, memberi keputusan.

"Oke, sahabatku yang belum mandi. Laksanakan!" tanggap Meilani, sambil hormat ke arah Risa.

"Iya ... iya ... si paling rajin mandi!" cicit Risa, sambil mengangkat sebelah alisnya saat menatap Meilani.

Setelah semua makanan tersaji di meja makan, Risa pun segera menyimpan semua peralatan pada tempatnya. Ia mencuci tangan sebelum ikut sarapan bersam Meilani. Meilani mengambil foto bersama Risa yang tengah menyuap makanan ke mulutnya, lalu menggunakan foto itu untuk mempermalukan diri sendiri melalui story WhatsApp.

"Awas saja kalau sampai aku melihat isi captionmu yang bikin aku naik darah! Aku akan meminta pada Nyai Kenanga untuk menyembunyikan semua barang-barangmu, agar tidak dapat ditemukan selama tujuh hari tujuh malam," ancam Risa.

"Enggak kok, Sa. Captionku kali ini sangat sederhana dan tidak akan membuat siapa pun naik darah. Aku cuma menulis singkat, kok. Begini ... 'sarapan pagi bersama sahabatku yang belum mandi'. Sudah, cuma gitu doang," tutur Meilani dengan wajah paling tak berdosa yang bisa dia tampilkan.

Risa hanya bisa menggerutu di dalam hati, usai mendengar isi caption yang ditulis oleh Meilani. Sedetik kemudian ada pesan yang masuk ke ponsel Meilani, lalu wanita itu segera membuka dan membacanya.

"Ini pesan dari, Zul. Katanya, 'kasih tahu sahabatmu agar dia cepat-cepat mandi, soalnya baunya sampai ke rumahku dan aku hampir pingsan barusan'," Meilani pun melirik ke arah Risa yang ternyata sedang menatap sengit ke arahnya. "HA-HA-HA-HA-HA!!! Zul jelas benar soal kamu yang memang bau karena belum mandi. Jadi kamu enggak perlu merasa tersinggung."

"Hm, iya. Bela saja Zul terus-terusan! Bela saja! Lama-lama mungkin kamu akan berjodoh sama dia dan menjadi satu paket manusia yang hobi menyindir orang lain!" omel Risa.

Selesai sarapan, Risa akhirnya pergi mandi dan Meilani memilih masuk ke kamar untuk bersiap-siap dan berdandan. Sosok Nyai Kenanga tidak tampak di mana pun pagi itu, sehingga Risa agak sedikit bingung karena belum melihat keberadaannya. Ia segera menyelesaikan kegiatannya dan keluar dari kamar mandi menuju ke kamarnya. Ia berpakaian dan juga berdandan seadanya seperti biasa, lalu kembali keluar dari kamarnya.

"Mei? Kamu sudah siap?" tanya Risa, sambil mengetuk pintu kamar Meilani.

"Belum, Sa. Aku masih menata rambutku," jawab Meilani.

"Oke. Kalau begitu aku ke halaman belakang dulu, ya. Aku mau siram pohon-pohon bunga mawar," ujar Risa.

"Oke. Nanti aku susul ke belakang kalau aku sudah selesai."

Risa pun berjalan menuju pintu belakang. Ia keluar menuju halaman belakang rumah saat memutuskan menunggu Meilani yang belum juga siap, padahal wanita itu sudah mendekam sejak tadi di kamarnya ketika Risa sedang mandi. Ia mendekat pada kumpulan pohon bunga mawar putih yang begitu indah dipandang mata. Ia segera meraih alat siram tanaman dan mengisinya dengan air. Ia menyirami bunga-bunga mawar putih itu dengan penuh perasaan. Setelah selesai menyirami semuanya, ia segera menyimpan kembali alat siram tanaman tersebut, lalu mendekat dan menghirup salah satu bunga mawar putih yang sedang merekah. Kedua matanya terpejam selama beberapa saat, lalu sekilas ia melihat sesuatu berkelebat di dalam pikirannya tentang sebuah gambaran yang tak pernah sama sekali ia lalui.

Kedua mata Risa pun mendadak terbuka dan dirinya mundur satu langkah dari bunga mawar putih yang ia hirup aromanya tadi. Jantungnya berdebar-debar saat melihat sekelebat ingatan yang tadi melintas dalam pikiranya. Ia langsung teringat dengan bunga mawar berlumur darah yang kemarin diperiksanya saat berada di teras rumah Sutejo. Ia pun beranjak menuju ke arah pohon mawar yang paling ujung untuk mencari bunga mawar putih yang kemarin dua kali ia hirup aromanya. Namun saat ia tiba di bagian pohon mawar paling ujung tersebut, ternyata ia hanya melihat tangkainya dan sebuah bekas bahwa bunga itu telah dipotong dari sana. Kini ia yakin sekali, bahwa bunga mawar berlumur darah yang ia periksa kemarin memang bunga mawar yang sama dengan yang ia hirup aromanya di halaman rumah itu.

Menyadari soal teror mawar berdarah yang jelas adalah teror yang dikirimkan oleh Nyai Kenanga, membuat Risa sadar bahwa dirinya harus mulai mencari tahu banyak hal mengenai Sutejo di masa lalu. Ia segera masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu belakang rapat-rapat. Setelah itu ia mendekat pada Meilani di kamarnya, dan wanita itu tampak baru saja selesai mengatur rambutnya yang sudah dikeringkan.

"Mei, ayo kita cepat pergi ke kantor untuk absen. Kita harus mencari tahu sesuatu setelah absen pagi ini," ajak Risa.

"Oke. Tunggu sebentar, ya. Aku bereskan dulu semua peralatanku, agar Nyai Kenanga tidak marah. Kalau nanti Nyai Kenanga marah gara-gara aku membuat berantakan salah satu bagian rumahnya, bisa-bisa aku dipindahkan tidur di teras nanti malam," ungkap Meilani, soal apa yang ditakutkannya.

"Hm ... benar juga, ya. Kalau begitu nanti akan kuberitahu Nyai Kenanga untuk memindahkanmu tidur di atap sekalian, jika memang Nyai Kenanga merasa kesal padamu," tanggap Risa.

Meilani langsung memajukan bibirnya akibat sebal kepada Risa.

"Awas kamu! Nanti kamu yang akan aku suruh tidur di atap, kalau kekesalanku sudah sampai di ubun-ubun!" ancam Meilani.

Sutejo tampak terus melamun pagi itu setelah akhirnya berhasil bangun dari tidurnya, karena dibangunkan oleh Juminah. Juminah terus menatapnya sambil menyajikan sarapan pagi ke meja makan.

"Sampeyan kenapa, Pak? Kok melamun terus sejak tadi?" tanya Juminah.

"Nyai Kenanga adalah yang membawakan teror ke rumah kita, Bu. Dia yang meneror kita," jawab Sutejo, dengan suara bergetar.

"Kamu itu bicara apa sih, Pak? Mana mungkin Nyai Kenanga bisa meneror kita? Jangan terlalu banyak mengkhayal kamu!" omel Juminah, yang kemudian segera meninggalkan Sutejo seorang diri di meja makan.

Sutejo baru saja akan menyantap sarapannya, saat ia merasakan ada yang terasa basah di bawah kedua kakinya. Ia mengunyah makanan pelan-pelan, lalu mengintip ke bagian bawah meja makan. Kedua matanya terbelalak saat melihat genangan darah yang begitu banyak di bawah kakinya disertai adanya setangkai bunga mawar putih.

"Arrrggghhh!!! Bu!!! Tolong aku, Bu!!! Tolong!!!" teriak Sutejo, seperti baru saja melihat setan.

* * *

TEROR MAWAR BERDARAH (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now