Season 2 : The Beginning (3)

8 1 0
                                    

Motor yang telah terkunci sempurna di tempat parkir itu, dua pegawai yang baru pulang bekerja, dan senja hangat yang menemani.

Wanita itu terlihat tengah berkutat dengan kunci helmnya.

"Mau kubantu?" Ucap Broto yang telah meletakkan helm miliknya di spion motor.

Ella mengangguk seraya tersenyum,
"Terimakasih."

Dengan mudah helm itu dibuka oleh pria tersebut. Mereka perlahan berjalan keluar dari area parkiran itu, menuju taman yang saat itu tidak terlalu ramai.

Mungkin karena bukan akhir pekan, jadi yang datang ke taman ini bukanlah kumpulan remaja ataupun keluarga muda. Area taman kebanyakan diisi oleh pasangan lansia yang tersebar di beberapa titik.

Misalnya di sekitar air mancur, pinggiran danau, maupun tempat dimana burung-burung bertengger dan menghampiri mereka untuk diberi makan.

"Waktu itu, cuaca sedang panas sekali yah, sampai daun rontok dimana-dimana." Ucap Ella membuka pembicaraan.

Broto menoleh ke arah wanita tersebut, kemudian menatap ke arah jalan yang mereka lewati, memang nampak lebih bersih, guguran daun juga jarang ditemui. Bulan ini sudah memasuki musim hujan. Setiap malam badai hujan akan datang membasahi daerah mereka yang biasanya akan bertahan sampai dini hari. Pria itu cukup mensyukuri pekerjaannya yang bisa pulang sebelum matahari terbenam, atau hal terburuknya dia dan Ella harus selalu ngebut di tengah hujan hebat yang melanda.

Selain itu hasil dari musim hujan ini juga mengakibatkan setiap sore suhu akan menurun. Memang tidak cukup drastis, namun cukup untuk membuat seseorang menggigil kedinginan jika tidak memakai luaran seperti cardigan atau jaket hangat.

Pria itu kemudian kembali menoleh ke arah wanita tersebut, memperhatikannya yang hanya mengenakan luaran tipis berwarna hitam, setelah kemeja blus sepertiga lengannya yang berwarna putih.

"Ella."

"Hm?"  Wanita itu seketika menoleh.

Tanpa berfikir panjang, Broto meletakkan jaket bombernya yang berwarna navy itu di punggung Ella, membuat wanita itu menatap pria disebelahnya kebingungan.

"Dingin."

Ella menghentikan langkahnya sejenak, tersenyum lalu membenarkan posisi jaket yang cukup besar dibelakangnya. Dia menatap jaket itu, tidak tau perasaannya menjadi sedikit terenyuh akan perlakuan pria tersebut.

"Keluargaku termasuk orang-orang yang ketat dalam aturan juga sangat mendewakan pekerjaan"

Pria itu menghentikan langkah.

"Sejak kecil kami bersaudara sudah diajarkan untuk mandiri dalam segala hal, bahkan kami tak punya waktu untuk berkumpul seperti halnya sebuah keluarga."

Broto membalikkan arah badan dan menoleh ke arah wanita di hadapannya.

"Ah...Ella memang pernah berkata bahwa keluarganya cukup terpandang disana, mungkin itu sebabnya."

Pupil mata coklat itu kemudian menatap ke arah bayangan matahari yang mulai tenggelam di seberangnya.

"Kami hanya diasuh oleh pembantu selama ini, rasanya..orang tua seperti orang asing, kami bahkan tak boleh keluar dari rumah, peraturan dimana-mana, hukuman yang absolut," sambung Ella disambung tawa kecutnya pelan.

"Bayangkan saja kami sudah ditinggal pada usia dimana kami harusnya membutuhkan kasih sayang mereka. Tak heran jika saudara-saudara kandungku dan aku tumbuh menjadi pribadi yang haus akan kasih sayang."

Langkah kaki itu mendekat ke arah wanita yang tengah bercerita di hadapannya. Ikut bersimpati, merasa memiliki nasib yang sama, kemalangan keluarga. 

Suasana menjadi hening sesaat, sampai suatu pertanyaan hinggap di benak Broto.

"Lalu...jika keluargamu memang seketat itu terhadapmu, bagaimana caramu bisa pergi sejauh ini dari mereka?"

"Aku tidak tahan dengan keadaan itu, sehingga pada saatnya aku mencapai usia cukup untuk berkelana, aku pergi dari hadapan mereka dengan izin mencari jati diri dan kau tau respon mereka bagaimana?.."

Angin itu berhembus seraya mengisi kekosongan dari perkataan si wanita sebelum akhirnya dilanjutkan kembali.

"Mereka bilang jika itu bisa membuatku lebih mandiri silahkan saja, mereka bahkan sedikitpun tak memandang wajahku!"

"…."

"Yah...kira-kira semenyebalkan itu, sehingga aku memilih untuk keluar dari rumah yang bagai penjara bagi anaknya sendiri."

Broto menatap wanita tersebut dengan seksama, keberanian untuk mengambil langkah sebesar itu. Bahkan bisa dia ambil disaat usia yang lebih muda darinya. Itulah mungkin yang menyebabkan sosok di hadapannya kini dapat memberikan nasihat ketika mereka pertama kali bertemu.

Benar, dia sudah mengalaminya terlebih dahulu dan lebih tau. Sosok mandirinya memang terbawa sampai disaat dimana dia berhasil meringankan sedikit rasa bersalahnya yang sama-sama meninggalkan keluarga karena nasib yang tidak baik itu.

"Lalu bagaimana dengan saudaramu yang lain?"

Ella hanya bisa tersenyum khawatir,
"Aku tidak tau...-"

Broto terdiam dia tak dapat berkata apapun untuk menenangkan sosok dihadapannya.

"Tapi, aku harap mereka baik baik saja."

Ella meremas jaket itu pelan dan semakin tersenyum.

"Karena itu, ketika aku mendapat perlakuan seperti ini, aku senang dan terharu, aku bahagia bisa memiliki kekasih baik yang bisa memperhatikanku dan aku bersyukur orang itu adalah kamu, Broto."

Pria tersebut memiringkan kepala,
"Kenapa?"

Mengedikkan bahu, Ella menjawab,
"Entahlah, aku selalu merasa begitu."

Pria itu menelan ludah, tak dapat dipungkiri dia senang dengan perkataan wanita dihadapannya, namun, sesuatu sangat mengganjal dihatinya.

Tangan Broto mengepal kuat.

"Ah! Kursi itu kosong, ayo kita duduk disana."

Ella menarik lengan pria dihadapannya yang masih bergelut dengan pikirannya tersebut.

Pohon besar menyambut kedatangan mereka di sekitaran danau. Beberapa kursi coklat tua yang bisa diisi hingga tiga orang terletak melingkari danau yang cukup besar tersebut. Jarak antara satu bangku dan yang lainnya berjauhan namun masih terpantau jelas.

Setelah melihat kanan dan kiri, Ella memilih satu bangku yang terletak tepat di bawah pohon rindang tersebut. Lokasi yang cukup strategis untuk melihat matahari terbenam.
Broto melihat sekitar bangku itu dan menyadari, bahwa posisi mereka sekarang hampir sama dimana keadaan mereka waktu pertama kali bertemu hanya saja pohon yang menaungi mereka kini terlihat lebih hijau dan rindang, tak segersang waktu itu.

Lalu tepat disebelah mereka terdapat bangku dimana dua lansia sedang memberi makan beberapa burung yang datang menghampiri. Keduanya saling begandengan, satunya sedang menyandarkan kepalanya di pundak pasangannya. Pria muda yang melihatnya kini merasa terenyuh dalam hati.

"Apa kita bisa bersama sampai seperti mereka ya?" Ucap wanita disebelah Broto.

Ella tersenyum sambil menopangkan dagu pada tangannya serta menyilangkan kakinya untuk menjadi tumpuan tangannya itu, nyaman duduk di sebelah pria tersebut.

Namun, entah apa yang dipikirkan pria yang tengah dia pandangi sekarang, pria itu perlahan menatap matanya. Tetapi tak satupun kata-kata keluar dari mulut sosok dihadapannya itu. Padahal   wanita itu sangat yakin jika mata bisa berbicara, maka mereka sudah berbincang panjang saat ini.

"Katakan."

Seolah dapat merasakan, pada akhirnya wanita itu lelah menunggu dan memutuskan menjadi pihak yang mengambil langkah terlebih dahulu.

"..."

"Aku takkan bisa membantumu jika kamu tidak terbuka denganku, Broto."

Awalnya pria itu menahan sekuat yang dia bisa namun, tatapan khawatir wanita dihadapannya seketika melemahkannya untuk merahasiakannya lagi. Namun bagaimana cara dia menyampaikannya?

When You Lost ItWhere stories live. Discover now