14 | Duduk Bersama

1.8K 205 1
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Tepat pukul setengah enam sore, akhirnya lampu di rumah milik Nyai Kenanga menyala, hingga membuat rumah itu menjadi sangat terang. Petugas PLN yang dipanggil oleh Zulkarnain atas permintaan Dandi telah menyelesaikan tugasnya dan segera berpamitan. Halaman depan yang tadinya sangat tidak terawat kini menjadi jauh lebih bersih meski belum terlihat segar seperti halaman belakang. Dandi menatap ke arah Risa yang saat itu sedang menyelesaikan cat pagar bersama dengan Meilani yang mengecat ulang tembok bagian depan. Tidak ada warna yang diubah. Semuanya tetap berwarna putih seperti bagaimana warna asalnya.

"Oke, sudah selesai. Setelah shalat maghrib akan kita lanjutkan mengecat bagian dalam rumah," ujar Risa.

"Ya, aku setuju. Bagian dinding teras, dinding halaman, dan juga pagar sudah selesai. Jadi hanya tinggal tembok rumah bagian dalam saja yang harus kita kerjakan," sahut Meilani.

"Memangnya kalian tidak mau istirahat dulu? tanya Dandi.

"Kalian tidak mau masak sesuatu dan makan malam?" Zulkarnain ikut bertanya.

TIN-TINN!!!

"Go-food!" seru seorang pengemudi ojek online yang berhenti tepat di depan pagar rumah itu.

Meilani dan Risa pun tersenyum lebar dengan kompak sambil mengacungkan ibu jari mereka. Dandi pun tertawa pelan saat ingat kalau kedua wanita itu memang selalu kompak dalam semua hal, sementara Zulkarnain hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat banyaknya makanan yang Meilani pesan. Meilani segera membayar ongkos kurir dan juga harga makanan yang ia pesan, sementara Risa kini menatap ke arah Dandi.

"Aku belum membeli kulkas dan juga belum berbelanja kebutuhan pokok untuk di dapur, Mas Dandi. Jadi sementara waktu aku akan membiarkan Mei memesan makanan melalui ojek online," jawab Risa.

"Tapi aku yakin seyakin-yakinnya kalau kamu hanya akan memakan satu porsi dari sekian banyak porsi yang Mei pesan itu," sinis Zulkarnain.

Dandi dan Risa pun menatap ke arah kantong plastik berisi makanan yang kini sudah berada di tangan Meilani.

"Oh, sudah jelas! Tidak mungkin aku bisa bertransformasi menjadi wanita gragas seperti Mei," tanggap Risa, sangat jujur.

"Hush! Jangan gosipkan aku! Aku bisa menuntutmu dengan pasal pencemaran nama baik kalau sampai kamu berani menggosipkan aku!" ancam Meilani, yang kemudian langsung berjalan masuk ke dalam rumah.

"Masalahnya yang kami bicarakan saat ini bukan gosip, Mei, tapi fakta!" balas Risa.

"Sudah ... sudah ... jangan bertengkar terus sama Mei. Sebaiknya kamu masuk dan mandi sebelum waktu shalat maghrib tiba. Aku harus pulang, Dek. Insya Allah besok kita akan melanjutkan penyelidikan soal teror mawar berdarah itu," ujar Dandi.

Zulkarnain segera melangkah pergi keluar pagar rumah, sebelum kedua matanya tercemar oleh adegan pendekatan yang sedang terjadi antara Dandi dan Risa. Di tangannya ada kunci mobil milik Risa yang akan segera ia pindahkan dari tempat parkir umum di Desa itu, ke halaman rumah milik Nyai Kenanga.

"Iya, Mas. Sebaiknya Mas Dandi segera pulang, karena jangan sampai Mas Dandi kemalaman di jalan," tanggap Risa, seperti biasanya.

Dandi pun kembali tersenyum.

"Kalau ada apa-apa, jangan lupa untuk menghubungi aku. Telepon saja, jam berapa pun itu," pesan Dandi.

Dandi tahu bahwa di rumah Nyai Kenanga ada sosok penunggu yang sempat dilihat oleh Risa sebelumnya. Maka dari itu ia berpesan agar Risa meneleponnya jika ada apa-apa. Ia tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, ketika Risa dan Meilani menginap di rumah milik Nyai Kenanga.

"Insya Allah enggak akan ada apa-apa, Mas Dandi. Aku sendiri yang akan menjamin hal itu."

Zulkarnain tiba sambil membawa mobil milik Risa dan memarkirkannya di halaman rumah milik Nyai Kenanga. Pria itu kemudian keluar kembali dan menyerahkan kunci mobil ke tangan Risa.

"Kalau begitu aku dan Pak Zul pulang dulu, Dek. Kamu langsung masuklah ke dalam. Assalamu'alaikum," pamit Dandi.

"Assalamu'alaikum, Sa. Katakan pada Mei untuk tidak terlalu banyak mengisi perutnya saat malam," pinta Zulkarnain.

"Iya, wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan dan jangan terlalu khawatir padaku dan Mei. Kami akan baik-baik saja di sini. Insya Allah," janji Risa.

Setelah Dandi dan Zulkarnain pergi, Risa pun langsung menutup pagar rumah dan menguncinya. Ia masuk ke dalam rumah tak lama kemudian dan melihat bahwa Meilani sudah selesai mandi dan sedang mengeluarkan piring dari lemari milik Nyai Kenanga.

"Nyai Kenanga, kami pinjam piringnya, ya," izin Meilani seraya tersenyum begitu ceria.

Risa ikut tersenyum saat sedang menyimpan sapu serta ember pada tempatnya.

"Aku mandi dulu, ya, Mei. Kamu makan saja duluan kalau memang sudah lapar. Nanti kita shalat berjama'ah saat waktu shalat maghrib tiba," ujar Risa.

"Aku cuma mau sajikan saja makanannya ke atas piring, Sa. Makannya nanti sama-sama kamu setelah kita shalat maghrib. Sudah ... mandi sana. Kamu bau," goda Meilani dengan sengaja.

"Hm, iya ... iya ... si paling wangi!" Risa balas menggoda.

Setelah Risa masuk ke kamar mandi, Meilani pun segera menyingkirkan semua bungkus makanan ke arah pinggir. Semua makanan yang ia pesan tadi sudah berpindah ke atas piring-piring berwarna putih milik Nyai Kenanga. Meilani pun menatanya di meja makan, lalu menutupnya dengan tudung saji. Ia duduk di kursi pada meja makan itu sambil melipat rapi semua bungkusan makanan agar mudah dibuang saat keluar rumah nanti. Mendadak, Meilani merasakan bulu kuduknya meremang. Ia sadar bahwa mungkin sosok Nyai Kenanga kini sedang berada di sampingnya. Ia pun berhenti sejenak mengurus bungkusan makanan tadi, lalu menggeser satu buah kursi di sampingnya agar tidak merapat ke meja makan.

"Silakan duduk, Nyai," ujar Meilani.

Sosok Nyai Kenanga yang tidak bisa dilihat oleh Meilani benar-benar duduk di kursi tersebut. Hawa dingin terasa begitu kuat di sekitar tempat Meilani berada. Namun Meilani sama sekali tidak merasa terganggu dengan hal itu. Ia justru dengan santainya melanjutkan kegiatan yang masih belum selesai. Risa keluar dari kamar mandi setelah selesai mandi. Tatap matanya terarah kepada sosok Nyai Kenanga yang saat itu sedang duduk tepat di samping Meilani. Sosok Nyai Kenanga tersenyum ke arah Risa dan menatapnya jauh lebih lama. Risa pun mendekat ke arah meja makan dan duduk di kursi yang lain.

"Mei, tadi kamu sudah berwudhu?" tanya Risa.

"Iya, sudah. Setelah mandi aku langsung berwudhu agar kita bisa shalat maghrib setelah waktunya tiba," jawab Meilani.

"Kalau begitu siapkanlah mukena dan sajadahmu. Kita akan shalat berjama'ah di ruang tengah," titah Risa.

Meilani pun mengangguk penuh semangat, lalu bergegas beranjak menuju kamarnya untuk mengambil mukena dan sajadah. Risa kini menatap ke arah sosok Nyai Kenanga setelah Meilani pergi.

"Aku harap, keberadaanku dan Mei tidak mengganggu Nyai di rumah ini," ujar Risa.

Sosok itu pun menggelengkan kepalanya dan tetap tersenyum.

"Jujur, aku penasaran dengan menghilangnya Nyai dua puluh lima tahun lalu sehingga Nyai terus terjebak di rumah ini tanpa ada yang tahu. Aku ingin mencari tahu. Aku ingin menemukan Nyai," ungkap Risa, apa adanya.

* * *

TEROR MAWAR BERDARAH (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now