BAB XI

182 35 3
                                    

Dalam perjalanan mereka ke kamar Tom. Damar menarik napas dengan syukur, tentu saja karena lega Artemis tidak menolak untuk merawat Tom.

Artemis mengerti dengan baik bagaimana harus bersikap terhadap Tom, tetapi akan enggan jika harus meninggalkan pekerjaannya. Ia mengikuti nasehat Damar, ia bisa menjadi seorang Ibu yang selalu didambakannya, untuk Tom. Ia tidak akan menjadi Ibu yang mengecewakan dan egois.

Ketika mereka sampai di pintu kamar, Tom sedang terbaring lemas di kasurnya. Artemis mendekat dan duduk disampingnya, menempelkan telapak tangannya ke dahi Tom. Anak itu bergetar kerena sentuhannya. Terasa terlalu hangat. Lalu ia menarik bajunya ke atas untuk memperhatikan apakah ada tanda-tanda lain, dan tidak menemukan apa-apa. Ia bersyukur karena itu bukan cacar air. Dan juga kerena kondisi Tom saat baru keluar dari panti asuhan sangat kurus dan kurang gizi, itu wajar saja jika dia mudah terserang demam.

"Bawakan obatnya." Kata Artemis. Tuktuk berjalan ke meja dekat pintu dan mengambil sebuah botol kotak obat. Tom yang sedari tadi hanya diam, sekarang duduk dan menjadi gugup karena mendengar kalimat Artemis.

Artemis menyadari itu. Reaksi anak-anak yang tidak ingin minum obat adalah wajar, tenggorokannya mungkin sakit, lidah hanya merasa rasa pahit, mual dan sebagainya. Yang harus orang tua lakukan adalah membujuk mereka dengan lembut.

"Tidak apa, Tom. Kau akan merasa lebih baik setelah meminumnya." Artemis mencoba meyakinkannya.

Tetapi bukannya menjadi tenang, Tom malah meneteskan air mata. Artemis bingung, dia tidak tahu apa yang terjadi. Mengapa anak ini tiba-tiba menangis?

"Ada apa Tom? Apakah ada yang sakit?" Kata Artemis dengan lembut.

"Maafkan aku. Aku memuntahkan obatnya tadi." Katanya dengan terisak.

Artemis memerintahkan semua orang untuk keluar. Ketika pintu telah tertutup oleh Damar, ia menatap Tom yang kepalanya sedang menunduk. "Tidak apa, nak. Jika sedang demam, wajar kalau susah menelan." Ia mencoba menenangkan Tom.

Tom mengusap pipinya dengan punggung tangannya, tetapi air mata terus jatuh ke selimut. "Apakah kau akan memulangkanku ke panti asuhan?"

Artemis terkesiap. "Kenapa aku akan memulangkanmu?"

"Karena aku sakit-sakitan. Kau mungkin tidak ingin mempunyai anak yang sakit."

Ia mengulurkan tangan dan mengangkat dagu Tom. Artemis menatapnya dengan hati-hati. "Aku sangat menyukaimu, Tom. Kau sangat spesial. Bagaimana bisa aku melakukan itu?"

Dengan air mata yang terus berjatuhan, Tom berkata. "Tidakkah sekarang kau merasa kerepotan karena aku?"

Ia memegang tangan Tom. "Tentu saja tidak." Kata Artemis. "Aku sudah bilang kemarin, aku tidak akan merasa kerepotan karena mu."

Tom berkedip cepat, air menetes dari bulu matanya. Matanya melihat ke atas seperti sedang mencoba untuk mengingat tentang kemarin.

Artemis tidak ingin membuang waktu, ia mengambil obat dengan pipet. "Baik Tom. Jadilah baik, tolong bukakan mulutmu." Kata Artemis, memasukkan pipet ke mulut Tom, dan ia menelannya dengan baik. Sepertinya tadi, ia tidak bisa minum obat karena panik akan dibuang.
Itu tak terelakan.

Artemis lalu memberinya minum. Ia membantu memegangi gelas agar tidak jatuh. Setelah Tom cukup minum, Artemis mengeringkan mulut anak itu dengan hati-hati menggunakan saputangannya.

Anak itu tidak menangis lagi, entah apa lagi yang dia pikirkan sekarang. Artemis mendorongnya untuk berbaring, dan mencium keningnya.

"Tidurlah, aku akan menemanimu."

Tom mengangguk dan dengan patuh menutup matanya. Tetapi ia menutup mata dengan berlebihan, kelopak matanya bergerak-gerak. Artemis agak khawatir dan bergerak untuk berbaring di sebelahnya. Tom membuka matanya dan menatap Artemis dengan heran.

How To Survive In Grindelwald Era Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz