"Jangan dulu nanya."

Mereka bertiga berjalan keluar dari ruangan UKS dan melawan arus dengan para siswa yang berbondong-bondong pergi ke lapangan untuk upacara.

"Aku cuma tahu gudang sama jalur gaza di koridor kelas dua belas yang biasa diapke anak-anak sembunyi buat ngebully, kalian tahu tempat lain?"

"Belakang basecamp ekstrakurikuler."

Arestha bergidik mendengar perkataan Zeth. Apa ini ada hubungannya dengan Aletha? Apa Aletha selama ini sering terluka karena menjadi korban bully? Bagiaman bisa sementara dia adalah tukang bully Arestha? Semua pertanyaan itu muncul di benak Ahzarel dan Arestha.

"Kayaknya kalian udah nyimpulin kan, siapa yang sedang kita cari."

"Aletha."

"Kamu memang cerdas, Tha."

"Tapi sama siapa? Aletha dibully, agak aneh."

"Kalian bakal percaya kalau liat mereka secara langsung."

Mereka tiba di tanah sempit di belakang deretan basecamp ekstrakurikuler. Sunyi, tidak apa-apa tapi ini adalah salah satunya tempat yang mereka anggap bisa dijadikan tempat untuk melakukan kekerasan setelah gudang dan jalur gaza tidak bisa digunakan.

"Kenapa harus hari senin?" celutuk Arestha ketika mengingat Aletha lebih sering ke ruang UKS hari senin, sebelum atau setelah upacara.

"Karena senin pagi anak-anak semuanya kumpul di lapangan," jelas Zeth, "dan random. Lebih seringnya random. Dia bakal ngelakuin itu kapan pun dia ngerasa kesal sama Aletha."

Arestha masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada Aletha, tidak mau percaya sebenarnya karena itu kenyataan itu lebih menyedihkan dari prasangkanya bahwa Aletha sering menyakiti diri sendiri.

"Kena!" Zeth memasang senyum angkuhnya.

Arestha dan Ahzarel refleks mengikuti ke arah tatapan Zeth bermuara. Di sana, di balik semak tinggi ada tubuh Aletha yang tergeletak seperti tidak sadarkan diri dengan badan penuh darah. Arestha ingin menjerit tapi tenggorokannya tercekat. Di sampingnya, ada seorang lelaki dengan wajah cemas bercampur menantang balik menatap Zeth dengan sebal.

"Reuben Vialli! Lo nggak bisa ngelak sekarang!"

Reuben meringis lalu berlalu, "lo urus si Aletha, gue capek ngurus cewek yang nggak bisa diatur kayak dia."

"Wuoh, lo nggak bisa pergi gitu aja habis ngelakuin hal kriminal kayak gini."

"Kriminal?" Vialli meludah lalu pandangannya berpapasan dengan tatapan terkejut Arestha. Dia berpaling lemah, antara merasa malu dan terlanjur. "Semua ini gara-gara cowok itu, kalau aja dia nggak maju buat jadi ketua Jurnalistik dan pacaran dengan cewek itu," ungkapnya emosional.

Ahzarel terhenyak tidak mengerti, begitu juga dengan Arestha.

"Gue nggak ngerti sebenarnya kenapa nama gue dan Arestha disangkutpautin sama masalah lo berdua," ujar Ahzarel membela diri.

"Gue cemburu liat lo berdua terus sama Aletha." Vialli mengatakannya pelan tapi syarat emosi. "Gue cemburu karena nggak bisa ngelakuin apa yang biasa lo lakuin berdua sama dia; makan bareng, cekikikan, berduaan di perpus, dijadiin gosip satu sekolah."

Semua adegan itu seperti berputar ulang di benak Arestha. Sikap Vialli ketika mereka melihat Ahzarel berdua dengan Aletha di perpustakaan, sikap Vialli ketika mereka terluka di pertandingan persahabatan sepakbola. Semuanya menjadi tergambar jelas. Vialli tidak sedang menggodanya, dia sedang memperingatkan Aletha.

"Tapi nggak ada yang tahu kalau kalian pacaran."

"Mereka backstreet," Zeth berujar. "Persis kalian."

Vialli duduk di atas tanah dengan tubuh bersandar ke dinding belakang basecamp yang masih kasar. Napasnya naik turun dengan mulut terbuka, matanya menerawang ke atas. Cercahan cahaya matahari muncul di antara celah genting yang berdesakan.

"Tha!" Zeth meminta Arestha dan Ahzarel membawa Aletha ke ruang UKS. "Bilang aja jatuh, atau jangan ngejelasin apa-apa kalau nggak ditanya."

Akhirnya mereka pergi, meninggalkan Zeth dan Vialli berdua di belakang bangunan basecamp.

"Gue capek, kalo lo mau ninju gue. Nih!" Vialli menawarkan pipinya.

Zeth berdecak lalu duduk di samping sahabatnya yang begitu terobsesi dengan prestasi sekolah sekaligus terkekang dengan peraturan orang tuanya yang kolot. Tidak ada pacaran, fokus belajar. "Gue tahu lo capek, ini saatnya lo nyerahin diri ke guru BK dan lo bisa istirahat dengan lebih tenang."

Vialli mengembuskan napas, lalu tersenyum.

***


Bring Me Back To YouWhere stories live. Discover now