[ Chapter #1.2 ]

2 0 0
                                    

Lagu Overdose-nya EXO melengking dari sebuah ponsel yang sengaja diletakkan di tengah-tengah meja, sementara pemiliknya sibuk bersenandung sambil mengkliping artikel-artikel kesehatan dari koran. Arestha malah melamun, tangannya sibuk menggunting profil seseorang sementara pikirannya melayang entah ke mana.

"Tha, ini fotonya Kak Reuben Vialli yang dulu aku ceritain. Mantan wakil I OSIS yang sekarang megang majalah online sekolah. Tha! Guntingnya yang bener, dong! ATHA!"

Arestha hanya mampu menoleh lemah pada sepasang mata dibalik kaca milik Laras. "Kenapa? Ada yang butuh obat merah? Obat merah terakhir diambil Ahza-rel," lalu pikirannya kembali melayang setelah mengucapkan nama itu.

"Ih, ngigo. Kurang tidur, ya?"

"Sorry, Ras." Arestha mengerjap-ngerjapkan matanya, merasa bersalah. "Kenapa?"

"Itu fotonya Kak Alli kamu gunting serampangan, sayang." Laras melembutkan nada suaranya, jarang sekali Arestha gagal fokus seperti ini bahkan ketika hubungannya bersama Ahzarel disembunyikan dari siapa pun. Eh, omong-omong soal Ahzarel, apa kabar ya backstreet mereka?

"Astaga!" Arestha histeris melihat hasil kerjanya yang gagal total. Guntingannya pada foto Vialli benar-benar serampangan hingga kepalanya terbelah tepat di bagian mulut. "Kamu punya korannya lagi?" tambahnya sambil cekikikan.

Vialli adalah senior mereka di sekolah yang sedang jadi trending topic karena berhasil menyabet juara I olimpiade biologi. Profilnya sedang rajin dimuat di majalah dinding maupun majalah online sekolah, termasuk majalah dinding ekstrakurikuler Palang Merah Remaja.

Laras yang merasa khawatir kemudian sedikit tenang melihat sahabatnya tertawa. Dia mengambil hasil kerja Arestha lalu ikut tertawa melihatnya. "Tha, kamu tega. Hahaha! Ini bibirnya Kak Alli kenapa jadi selebar pipinya."

Arestha membalas guyonan Laras dengan tertawa cekikikan sampai keluar air mata.

"Barusan aku liat Kak Alli di basecamp Jurnalistik lagi inspeksi dadakan dari OSIS, gimana coba kalo dia ke sini dan ngeliat fotonya kayak gini," selanya.

Jurnalistik?

"Eh, Jurnalistik bulan depan ganti kepengurusan ya. Ahzarel ikut maju jadi ketua?"

Ahzarel?

Beberapa saat kemudian entah bagaimana rasa humor Arestha tersedot habis ketika kembali mengingat nama Ahzarel. Tawanya masih ada tapi air mata yang turun ke pipinya bukan lagi karena rasa geli. Dia menangis di sela tawanya.

Ups!

"Tha." Laras cemas melihat tawa Arestha yang berlebihan. "Tha, are you okay?"

Dan pertanyaan itu berhasil membuatnya bungkam. Pertanyaan yang sama dengan yang diujarkan Ahzarel beberapa menit yang lalu. Hanya ada isak kecil. Kesedihan yang ditahannya sejak tadi pagi tidak bisa ditahannya lagi.

"Ini ada sangkut pautnya dengan Ahzarel?"

Arestha tak menyahut tapi Laras seperti tahu apa jawabannya.

"Sorry, rada lebay." Arestha menarik napas panjang. "Cuma masalah kecil, nanti juga selesai."

"Kayaknya sekarang saatnya lo cerita."

"Bukan saatnya, deh Larasati Ilyas."

"Berbagi bisa bikin beban kamu lebih ringan, lho, Tha, memendamnya sendiri malah bikin masalah tambah rumit."

"Tumben bijak."

Pletak!

"Kayaknya kita pulang sekarang, ini kita urus besok aja."

Arestha agak ragu untuk bangkit, pulang ke rumah kost rasanya bukan pilihan yang bagus. Lalu dia ingin pesan dari Ahzarel yang masuk saat istirahat pertama untuk makan siang di kantin depan. Juga bukan pilihan yang bagus.

Tapi barangkali tepat, aku butuh kejelasan.

***

PING!

Habis ini mau pulang ke mana?

Arestha menyimpan sumpitnya lalu mengambil ponsel. Jarinya menyentuh kolom balas di aplikasi bbm-nya tapi urung ketika menyadari orang yang mengiriminya BBM sedang duduk tak jauh darinya, terhalang beda meja tempat mangkuk-mangkuk ramennya terhidang. Ahzarel keterlaluan sekali. "Pulang," bisiknya hati-hati.

PING!

Aku ada rapat ekskul, sebentar lagi pemilihan ketua.

"Oke!" katanya setelah menyeruput ramennya dengan malas. Beberapa siswa melirik pada Arestha dengan tatapan aneh yang dibalas dengan decakan. Ini adalah fase teraneh dalam hubungan backstreet mereka. Arestha mengingat tiga bulan sebelum ini hubungan backstreet mereka tidak separah ini, mereka bahkan sering kali berangkat sekolah bersama tanpa takut dihakimi apa-apa.

PING!

Aku nggak bisa antar kamu pulang.

Hanya tersisa kuah ramennya di dalam mangkuk dan Arestha menyeruputnya lewat bibir mangkuk. Bertingkah tidak peduli ketika beberapa pasang mata kembali meliriknya aneh.

PING!

Tak ada pesan masuk.

"Maaf, Tha, sepertinya kita harus backstreet lagi."

Kemarahan Arestha sudah sampai di ubun-ubun. Tanpa berniat membalas perkataan Ahzarel, dia bangkit dengan kesal menuju kasir. Lalu pulang setelah membayar makanannya sendiri. Kali ini tidak hanya rencana mereka kembali backstreet yang membuatnya gagal paham dengan Ahzarel, tetapi juga sikapnya. Double!

***


Bring Me Back To YouWhere stories live. Discover now