[ Chapter #2.2 ]

1 0 0
                                    

Selesai membuat laporan liputan pemilihan ketua Jurnalistik dengan penuh perjuangan, Arestha meregangkan tubuhnya lalu bersandar di daun kursi yang berbalut busa. Ruangan OSIS memang berbeda dengan yang lain.

Tidak mengerjakan apa-apa membuat pikirannya kembali melayang pada momen pemilihan ketua Jurnalistik tadi siang. Melihat Ahzarel dengan wajah innocent-nya. Menyadari hubungan mereka yang entah mau dibawa ke mana. Hingga saat ini, cowok itu belum menjelaskan apapun kepada Arestha mengenai hal tersebut. Menyebalkan memang tapi gengsi sekali jika harus dia yang bertanya terlebih dahulu. Tapi Arestha benar-benar butuh kepastian!

"Tha, makan, yuk!" suara Laras yang entah tiba kapan membuatnya terkejut. "Lapar, nih."

"Makan di mana?" Pergelangan tangan Arestha terangkat, melihat jam tangannya. "Duh, udah sore, Ras! kayaknya aku harus pulang."

"Bentar!" Laras menghadang sahabatnya cemas. "Ada. Sesuatu. Yang. Penting."

"Apa?"

Dia menarik napas panjang lalu mengujarkan perkataannya dalam satu tarikan napas. "Aku menyanggupi permintaan kak Alli untuk menghadiri acara Jurnalistik di kantin depan." Selesai.

"Terus?"

"Aku dan kamu. Kita."

"Acara apa?"

"Makan-makan, semacam seremonial setelah pemilihan ketua baru." Laras menunjukkan deretan gigi putihnya, tersenyum.

Arestha menarik napas panjang. Sudah cukup hatinya koyak melihat Ahzarel merasa baik-baik saja tadi siang, tidak lagi sore ini. Akan tetapi ada mengganjal di pikirannya, tentang alasan kenapa Ahzarel masih keras kepala merahasiakan hubungan mereka.

"Setelah ini, mungkin kamu akan paham kenapa Ahzarel minta hubungan kalian dirahasiakan lagi." Laras mengatakannya dengan jujur dan tulus. Akan tetapi yang menjadi permasalahannya sekarang adalah akan kuatkan hati Arestha untuk mendengar dan menerima alasan Ahzarel memperlakukannya seperti ini lagi.

***

Semua seremonial ini tidak gratis, setiap anggota dan senior perlu membayar apa yang mereka dapatkan di kantin depan termasuk untuk sajian bagi para undangan. Paling banyak yang memesan ramen dan Ahzarel sering kali tersedak ketika mengingat kali terakhir makan bersama dengan Arestha di sini.

"Selamat, Rel, semoga Jurnalistik bisa kembali bergigi di tangan lo!"

"All hail, Ahzarel! Selamat mengemban amanah!"

"Rel, semoga ini bisa jadi penyambung cita-cita buat jadi wartawan sekelas bokap lo."

Ahzarel merasa terlalu banyak pujian dan ucapan selamat yang ditujukan padanya hari ini. Hal itu membuat perutnya merasa terlalu penuh. Menjadi ketua ekstrakurikuler ini adalah salah satu ambisinya dari tahun pertama menjadi anggota. Kesempatan ini tak bisa disia-siakannya sekalipun perlu ada harga yang perlu dibayar untuk mendapatkan ini semua.

"Arestha!"

"Restha, makin cantik aja, ya."

"Doi sama siapa sih, sekarang? Kayaknya kosong!"

"Tha!" refleks tangan Ahzarel terangkat melambai yang dibalas dengan langkah ragu Arestha, "di sini bangkunya masih kosong."

"Rel, inget ya ketua nggak boleh punya kecengan dulu. Fokus! Fokus!"

"Diem lo, pitak! Sana-sana pindah!"

Arestha dan Laras berjalan kikuk menuju bangku yang ditunjuk Ahzarel. Sebelumnya mereka sudah menyangka bahwa pesta seremonial ini pasti dipenuhi oleh senior ataupun anggota ekstrakurikuler Jurnalistik tapi mereka tidak menyangka bahwa hanya ada satu dua orang di luar ekskul itu yang hadir sebagai undangan, ketua OSIS dan ROHIS.

"Selamat, ya, Rel, semoga Jurnalistik bisa jauh lebih baik di tangan lo," Laras mencairkan kebekuan di antara mereka sambil menyikut Arestha untuk ikut memberikan ucapan selamat.

"Selamat ya, Rel."

"Terima kasih, Tha,"—untuk mau mengerti.

"Selamat udah bikin aku merasa bukan siapa-siapa lagi di samping kamu." Arestha mengucapkannya dengan pelan dan penuh senyum. Penuh senyum.

Ulu hati Ahzarel seperti ditusuk sesuatu. "Tha, kita kan udah sepakat."—dan bukannya Laras udah ngejelasin ini semua ke kamu?

Hanya ada mereka bertiga di bangku itu, di tengah keriuhan yang ada.

"Sepertinya, sekalipun ini bukan waktu yang tepat buat kalian bicara tapi kalian bisa pura-pura saling mengenal dan bisa jalan bareng lagi." Laras mencoba untuk bijak sekalipun wajah Arestha seperti ingin membunuhnya. "Melipir dulu ya, ada brondong unyu di pojokan."

Tinggal mereka berdua. Terjebak dalam diam.

"Tha, ketua Jurnalistik harus jomblo." Ahzarel mencoba menjelaskannya sepelan mungkin dari teman-temannya yang sedang asyik sendiri. "Jurnalistik sedang sakit, perlu ada ketua yang mau ambil beban dan fokus."

Akan tetapi Arestha tidak kunjung menjawab, bahkan menatap matanya saja tidak. Cewek itu sibuk dengan ponselnya sendiri.

PING! Ahzarel merasa terganggu sekali ketika ada chat masuk saat dia berbicara dengan Arestha, tapi mata Arestha mengisyaratkan dia untuk membuka ponselnya.

Aku mengerti.

Tapi kenapa tidak diselesaikan saja?

Hubungan kita maksudnya.

"Tha, aku sudah memikirkan ini, Jurnalistik dan kamu sama-sama berharga buat aku. Aku sudah memikirkannya matang-matang."

PING!

Jangan samakan aku dengan kegiatan ekstrakurikuler. Aku lebih memilih jadi kegiatan intrakurikuler yang nggak pernah kamu nomor duakan.

"Tha!"

Percakapan mereka berhenti ketika Aletha tiba dan duduk di samping Arestha. Seperti biasa, cewek itu selalu menunjukkan matanya yang culas setiap kali bertemu dengan Arestha. Dan entah kenapa, Ahzarel selalu merasa perlu untuk siaga ketika dua cewek ini bertemu.

"Tha," Arestha menyeruput air sodanya angkuh, "ternyata backstreet sama kekasih yang nggak dianggap beda tipis, ya."

Sial, apa Aletha tahu kalau sebenarnya aku dan Arestha pacaran?

"Tenang, Rel, gue punya risleting di mulut gue. Kecuali kalau gue kebelet." Aletha menatap Arestha yang menunduk dan tak kunjung menantang matanya seperti biasa. Merasa menang, dia bangkit sambil menepuk pundak Ahzarel, lalu pergi.

Permainan apa ini? Apa aku sedang menjadi pion di dalamnya?

***


Bring Me Back To YouWhere stories live. Discover now