[ Chapter #4.1 ]

1 0 0
                                    

Semuanya tampak samar-samar dan Arestha berasa masih sedang bermimpi bahkan ketika matanya sudah terbuka. Gelap. Atap yang berbeda dari kamar kostnya. Yang ini lebih bagus! Lampu yang menyala redup di samping tempat tidurnya. Pasti lampu mahal! Dinding-dinding kayu dengan wallpaper bercorak floral dan seseorang yang tertidur di sampingnya. Hampir saja Arestha menjerit sebelum menyadari bahwa itu adalah Laras dan mereka sedang berada di villa milik Oom Althaf untuk ikut merayakan ulang tahun anak bungsunya siang nanti.

Arestha menarik napas panjang dan merasakan udara dingin begitu kentara di sekitarnya. Tangannya gatal ingin membuka ponsel meski dia yakin tidak akan ada notifikasi apa-apa di malam suntuk begini. Tapi ada pesan yang masuk, dari Ahzarel.

Sejak kemarin panggilanku nggak tersambung ke nomor kamu.

Anyway, sudah tidur? Aku kepikiran kamu.

Setengah jam yang lalu.

Papan ketik qwerty-nya belum muncul dan dia terlalu bingung untuk membalas pesan itu atau tidak. Mengingat Ahzarel dan semua hal tentang Ahzarel membuat hatinya selalu tiba-tiba kosong. Ada yang belum selesai dan itu mengganjal sekali.

Belum, tapi sebenarnya sudah.

Terjaga.

Tak ada pilihan. Dia mengiriminya balasan. Arestha tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau dia juga kangen. Lima menit berlalu tanpa balasan. Ketika Arestha memutuskan untuk melanjutkan tidurnya, muncul notifikasi bahwa pesannya sudah dibaca oleh Ahzarel.

"Ah, kenapa harus dibalas?" bisiknya menyesal sebab setelah itu perasaannya kembali menjadi melankolis. Semua hal yang sudah terjadi sejak beberapa minggu lalu sangat mengganggunya. Hari bahagia. Ahzarel menghancurkannya. Keputusan untuk kembali backstreet secara sepihak. Aletha. Aletha sering bersama Ahzarel. Apa hubungan mereka?

Tadi sore aku ke kostan, teman-temanmu bilang kamu nggak ada.

Aku paham kalau kamu masih marah sama aku.

Nggak, Rel, cuma...—Pesan itu dihapusnya kembali.

Dua bulan waktu yang cukup buat membiasakan diri.

Aku nyoba buat paham sama keputusan kamu.

Selamat, Jurnalistik sekarang sudah mulai dilirik lagi.

"Cukup, lalu kembali tidur." Matanya tiba-tiba saja terasa panas.

Terima kasih sudah bikin aku ngerasa kehilangan waktu.

Juga kehilangan kamu.

"Jangan sampai terlihat aku yang paling patah hati."

Perut Arestha tiba-tiba saja mulas. Malangnya, tak ada toilet di dalam kamar. Dia perlu melintasi ruang tengah dan dapur untuk sampai di kamar mandi utama. Di waktu selarut ini? Akan tetapi perutnya tidak tahu diri. Terpaksa Arestha beranjak dan memberanikan diri untuk keluar.

Di luar kamarnya gelap, temaram sebenarnya. Beberapa cahaya muncul dari kisi-kisi setiap kamar yang diisi. Di ruang tengah, set untuk acara ulang tahun baru selesai setengahnya dan cukup membuat Arestha berhati-hati dalam melangkah. Setibanya di dapur, dia lekas berbelok ke arah kiri dan lega menemukan ruangan yang dibutuhkannya dengan cepat.

Anehnya ada suara aneh dari sudut lain dapur yang membuat bulu kuduknya berdiri. Jadi meski setelah selesai dengan urusannya, Arestha masih gamang untuk segera keluar atau tetap berada di dalam kamar mandi. Dua-duanya tidak memberikan manfaat apa-apa. Akhirnya Arestha memilih untuk keluar dengan membuka pintunya pelan-pelan. Suara-suara itu sudah tidak lagi terdengar tapi untuk berjaga-jaga, tangannya mengambil teflon dari rak dan menggenggamnya kuat-kuat. Barangkali suara-suara itu berasal dari pencuri.

Bring Me Back To YouWhere stories live. Discover now