4 | Memikirkan Keterkaitan

2.6K 249 7
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Setelah Dandi menjauh dari Zulkarnain untuk menyusul langkah Risa dan Meilani, pria itu segera mengeluarkan ponselnya dan berusaha menghubungi seseorang. Ia benar-benar kaget sejak tadi karena tidak menyangka akan bertemu lagi dengan Risa dan Meilani setelah bertahun-tahun berlalu sejak kelulusan di SMP. Lidahnya terasa kelu saat berhadapan langsung dengan kedua wanita itu, terutama di hadapan Risa. Ia akhirnya benar-benar tidak bisa bicara banyak karena merasa bersalah atas apa yang pernah terjadi, dulu. Nada sambung terdengar jelas di seberang sana, membuat dirinya menunggu dengan rasa tidak sabar yang meluap-luap. Ia ingin segera bicara dengan orang yang di teleponnya saat itu, agar orang itu tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu Risa yang datang tanpa terduga.

"Halo, Zul. Ada apa? Tumben kamu meneleponku siang-siang begini."

"Hei, kamu ada di mana sekarang? Apa kamu ada di rumah? Jawab aku, cepat." tanya Zulkarnain, setengah memaksa.

"Aku masih di sawah, Zul. Aku belum pulang ke rumah. Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di sawah hari ini. Memangnya ada apa? Kenapa kamu terdengar gelisah begitu? Apakah ada orang yang diteror lagi, di Desa kita?"

"Bukan! Ini bukan perkara teror mawar berdarah itu. Sebaiknya kamu cepat pulang. Kamu akan tahu sendiri ada apa, kalau kamu cepat pulang dari sawah hari ini," saran Zulkarnain.

"Ada apa, sih, Zul? Langsung saja bilang kalau memang ada hal yang aneh atau ada hal yang butuh dibantu."

"Aku enggak bisa bilang sama kamu. Kalau aku bilang, kamu mungkin akan memilih untuk enggak pulang sama sekali. Cepat pulang! Pokoknya cepat!" tegas Zulkarnain, sebelum menutup telepon itu.

Zulkarnain jelas berharap kalau orang yang di teleponnya itu akan benar-benar cepat pulang. Keberadaan Risa di Desa itu jelas harus diketahui oleh orang tersebut, agar tidak ada penyesalan nantinya setelah apa yang pernah terjadi di masa lalu. Sesal tidak boleh terus menggelayuti pikiran orang itu, setelah dia melakukan kesalahan yang besar terhadap Risa.

"Segeralah pulang sebelum dia pergi dari Desa ini," gumam Zulkarnain, penuh harap.

Dandi terus mengikuti langkah Risa dan Meilani menuju ke rumah tetangga di sebelah rumah korban yang baru saja meninggal kemarin. Ia benar-benar akan mengikuti apa pun yang diputuskan oleh Risa dalam kasus yang sedang mereka tangani saat itu.

"Assalamu'alaikum. Permisi, Bu," sapa Meilani dan Risa, kompak.

"Wa'alaikumsalam, Nak. Silakan masuk."

Risa, Meilani, dan Dandi pun masuk ke halaman rumah tersebut lalu berjabat tangan dengan pemilik rumah. Mereka berupaya tidak terlalu menunjukkan ingin mendesak untuk mendapatkan informasi. Mereka berupaya tetap santai seperti biasanya.

"Perkenalkan, Bu. Namaku Mei. Ini rekanku, namanya Risa, dan ini adalah atasan kami, namanya Pak Dandi," ujar Meilani.

"Nama Ibu, Kasminah. Mari, silakan duduk, Nak."

Tetangga korban menyambut mereka dengan sangat ramah dan segera mempersilakan mereka untuk duduk di kursi yang tersedia di teras.

"Maaf, ini halaman rumah Ibu agak berantakan. Soalnya Ibu sedang menjemur gabah, mumpung matahari sedang terik," ujar Kasminah.

"Tidak apa-apa, Bu. Seharusnya kami yang minta maaf apabila kedatangan kami mengganggu aktivitas Ibu. Kami sebenarnya ingin ke rumah sebelah untuk menanyakan beberapa hal. Tapi karena di rumah sebelah sedang tidak ada orang, jadi kami ingin mencoba mencari informasi dari warga lain di Desa ini mengenai teror mawar berdarah yang didapat oleh korban sebelum meninggal dunia," jelas Risa, mewakili yang lainnya.

"Oh, kalian mau mencari informasi soal teror mawar berdarah itu? Ibu tahu bagaimana awalnya, karena kemarin cukup heboh beberapa orang warga di Desa ini gara-gara Almarhum Pak Junarto mendapatkan teror itu."

"Boleh kami tahu detailnya, Bu? Yang Ibu ketahui saja," pinta Meilani, sudah siap untuk mencatat semua hal penting.

Kasminah diam selama beberapa saat sambil menatap ke arah rumah korban. Kasminah tampaknya sedang mengingat semua detail yang terjadi kemarin, sebelum korban meninggal dunia.

"Kemarin pagi, mendadak Almarhum Pak Junarto mendapatkan teror. Bunga mawar putih yang penuh darah itu diletakkan di teras rumah Almarhum. Katanya pagi kemarin ada yang ketuk pintu tiga kali. Suara ketukannya terdengar sangat jelas. Bahkan anak dan Istri Almarhum Pak Junarto juga mendengarnya, padahal mereka berdua berada di dapur dan mesin air pun sedang menyala. Tapi saat Almarhum Pak Junarto membukakan pintu rumahnya, di teras itu enggak ada siapa-siapa. Benar-benar sepi karena masih pagi sekali. Cuma ada bunga mawar putih yang penuh darah itu saja, yang terlihat oleh Almarhum Pak Junarto. Maka dari itulah Almarhum Pak Junarto langsung menelepon Pak RT dan Pak Kepala Desa, agar teror yang terjadi di rumahnya segera ditangani. Tapi hanya berselang tiga jam kemudian, Almarhum Pak Junarto langsung meninggal dunia padahal tidak sakit sama sekali. Dia hanya sempat berteriak-teriak ketakutan, lalu setelah itu Almarhum mengalami sakaratul maut dan meninggal dunia," tutur Kasminah.

"Almarhum Pak Junarto sempat berteriak-teriak sebelum meninggal dunia, Bu? Apakah teriakannya terdengar oleh orang-orang yang berada di luar rumah?" tanya Dandi, merasa penasaran.

Meilani dan Risa pun kembali menatap ke arah Kasminah setelah mendengar pertanyaan yang Dandi layangkan.

"Kurang begitu jelas, Nak. Tapi samar-samar ada beberapa kata yang bisa Ibu tangkap. Intinya, Almarhum Pak Junarto berulang-ulang meneriakkan kata 'menjauh', 'bukan aku', 'ampun', 'biarkan aku tetap hidup'. Hanya itu yang mampu Ibu dengar kemarin, Nak. Karena keadaan di sekeliling rumah Almarhum kemarin sangat ramai akibat warga yang ingin melihat seperti apa bentuk teror yang dikirim oleh si peneror," jawab Kasminah.

Meilani mencatat semua kata-kata korban yang disebutkan oleh Kasminah. Risa tampak berpikir keras usai mendengar keterangan yang Kasminah berikan.

"Kalau boleh tahu, Bu, Almarhum Pak Junarto itu apakah sudah lama tinggal di Desa ini?" tanya Risa.

"Belum lama, Nak. Almarhum Pak Junarto itu baru tinggal di Desa ini sekitar sebulan belakangan. Dia pindah ke sini karena Istrinya yang bekerja sebagai Dokter pindah tugas ke Rumah Sakit Umum Hermina Pandanaran."

"Jadi Almarhum Pak Junarto itu bukan orang asli sini, Bu?" Meilani ingin memperjelas.

"Orang sini, Nak. Itu yang mereka tempati adalah rumah peninggalan keluarganya, kok. Hanya saja mereka sekeluarga sudah lama tidak tinggal di sini. Dulu Kakek dan Nenek buyutnya adalah orang yang terpandang di Desa ini. Tapi entah ada apa, mendadak mereka sekeluarga pindah dari sini dan memilih menetap di kota lain," jelas Kasminah.

Meilani pun segera mencatat lagi tambahan informasi tersebut ke dalam buku kecil miliknya. Dandi bisa melihat kalau Risa sedang berpikir keras saat itu. Ia menduga, bahwa wanita itu sedang berusaha mengaitkan kasus lama yang pernah ia ketahui dengan kasus yang tengah mereka selidiki.

* * *

TEROR MAWAR BERDARAH (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now