Bagian 9

59 3 0
                                    

“Bun, aku kangen Ustaz Ayah, kapan kita bisa ketemu?” tanya Uwais yang baru saja selesai mandi pagi dan berganti pakaian.

“Ustaz Ayah sedang banyak tugas di pesantren, jadi ... kamu bersabar dulu, ya, Nak?” hiburku.

“Apa nanti kita akan ketemu Ustaz Ayah lagi?” Uwais menatapku.

Aku tertegun.

“Insyaa Allah,” jawabku seraya mengusap kepalanya. “Ya sudah, sana kamu duluan ke meja makan, Bunda  mau beresin kamar dulu, ya?” titahku.

“Baik, Bun,” sahutnya patuh. Lalu ia pun berlari menuruni anak tangga.

Aku tercenung. Kembali memori ini disuguhkan dengan semua yang telah terjadi. Seminggu di Jakarta, tak lantas membuatku lupa akan semuanya. Rasa rindu yang membuncah pada Ilham, kutepis paksa demi mencari sebuah keputusan tepat. Ia selalu berusaha menghubungi setiap hari. Namun tak kuhiraukan. Bahkan Ayah mertua pun ikut menelepon, tetapi tak kupedulikan. Diri ini terlanjur kecewa dengan mereka. Kenapa mereka tega membuat Ilham menelantarkanku dan juga anaknya? Di mana hati nurani mereka?

Semalam Yumna juga menelepon menanyakan kabarku dan Uwais. Mas Faruq juga ikut bicara, walau hanya sekedar berbasa-basi. Katanya, minggu depan ia akan ke Jakarta, mau menjenguk ibunya yang sedang sakit.

“Yumna juga ikut?” tanyaku padanya.

“Tidak, Tan. Kami sudah konsul ke bidan, dan bidan melarang Yumna untuk bepergian jauh,” jawabnya dari seberang.

“Ooh, ya sudah kalau begitu.”

Hening. Tak ada kata-kata lagi yang dilontarkan Faruq. Hingga akhirnya Yumna kembali mengambil alih ponselnya, lalu kami pun larut dalam obrolan hangat.

Aku menghela napas, lalu bergerak merapikan tempat tidur. Siang ini abang kandungku mau datang dari Bandung. Aku harus memiliki telinga yang tebal untuk mendengar segala wejangan dan ceramah yang akan dia berikan. Berbagai jawaban dan penjelasan sudah kupersiapkan untuk menghadapi ribuan pertanyaan yang pasti akan dia lontarkan untukku. Dia memang sosok yang sedikit pemarah, tapi aku tahu, dia sangat menyayangiku.

***

“Sejak awal, Uda sudah tak setuju dengan pernikahan sirimu, Tan. Ternyata yang Uda khawatirkan terjadi juga ‘kan?”

Aku terdiam. Dulu, Abangku ini memang keberatan saat aku menikah siri dengan Ilham. Namun karena kedua orang tuaku tidak keberatan, dia tidak bisa berbuat apa-apa.

“Apa perlu Uda yang mendatangi keluarganya ke Bukittinggi?” Wajah Fadlan tampak geram.

“Jangan! Jangan, Da, tidak usah!” cegahku.
“Aku bisa menyelesaikannya sendiri.”

“Jadi, kamu anggap apa Udamu ini? Sudah tak butuh?” Fadlan marah. Matanya mendelik tajam ke arahku.

“Bukan begitu, Da! Uda jangan salah paham dulu, aku hanya ingin semua selesai secara baik-baik.”

“Sampai kapan semua akan selesai, Tania? Ilham saja tak mau menceraikanmu. Atau kamu yang masih sangat berharap padanya?”

Aku terdiam.

“Ucapan Uda benar? Kamu masih sangat mengharapkannya?” Nada suara Fadlan menurun meski ada tekanan di dalamnya.

Pelan aku menggeleng. “Aku sudah memutuskan untuk pergi darinya,” sahutku.

“Aku juga akan memintanya untuk menjatuhkan thalaq padaku. Cepat atau lambat.”

Fadlan meraih gelas yang berisi minuman dingin, lalu meneguknya hingga separuh. Ia menghela napas panjang. Kembali sorot matanya mengarah padaku.  “Lakukan secepatnya, atau Uda yang akan turun tangan. Uda tidak rela kamu diperlakukan seperti ini. Jangan mereka anggap kamu itu anak terbuang, kamu punya keluarga, keluarga kita juga bukan keluarga tak punya. Kita juga punya apa yang mereka punya, bahkan lebih!”

Mencoba Setia (Tamat)Where stories live. Discover now