Bagian 6

72 4 0
                                    

“Kamu ke mana saja, Tan? Sudah seminggu nggak ke pesantren. Kamu beneran udah nggak mau kerja lagi?” cecar Rosni saat suatu pagi ia mampir ke rumah.

Aku tersenyum. “Mungkin aku udah nggak kerja lagi, Uni. Aku memutuskan berhenti.”

Rosni terbelalak. “Kenapa? Ada apa?” Kejarnya.

“Minum dulu, Uni!” ucapku sembari menunjuk teh hangat yang sudah terhidang di meja.

Tanpa menunggu, Rosni pun meraih cangkir teh dan menyesapnya perlahan. Cuaca dingin membuatku kembali merapatkan switer. Gerimis yang turun sejak subuh tadi belumlah reda. Sementara Uwais masih setia di balik selimut setelah tadi ia ikut salat Subuh denganku.

“Beri aku alasan yang jelas!” pinta Rosni sambil menaruh kembali cangkirnya.

Kuhela napas. Mengatup bibir sambil memandang wanita yang kini juga tengah menatapku tajam menunggu penjelasan. “Aku belum bisa menjelaskan itu sekarang.”

“Baiklah. Kalau begitu, jelaskan padaku tentang ustaz Ilham!”

Aku terperanjat. “Ma-maksud Uni, apa?” tanyaku gugup. Jantung langsung berdetak tak karuan mendengar pertanyaan yang seolah menginterogasi itu.

“Malam itu aku hendak datang ke rumahmu mengantar kue untuk Uwais, tapi aku melihat ustaz Ilham masuk ke rumahmu dan aku  mengurungkan niatku,” sahutnya datar.

Matanya masih saja memandangku lekat.
Kutelan saliva yang dengan susah payah, lantas menundukkan kepala menghindari tatapan Rosni.

“Katakan padaku, Tania! Aku tak ingin berprasangka yang bukan-bukan!”

Aku masih bergeming.

“Tania ... apakah dia ....”

“Dia suamiku, Uni,” potongku cepat, sehingga mampu membuat wanita itu terdiam. “Dia suami yang kucari selama ini,” lirihku sambil mengangkat kepala. Kutemukan mata Rosni terbelalak seolah tak percaya.

“Benarkah?”

Aku mengangguk. Tak terasa air mata turun begitu saja membasahi pipi. Rosni bangkit, lalu duduk di sampingku.

“Tania, bagaimana bisa? Lalu apa yang terjadi?” tanyanya penasaran. Kemudian aku mulai menceritakan satu persatu urutan peristiwa yang terjadi beberapa hari belakangan. Rosni mendengarkan dengan seksama hingga aku selesai bercerita.

“Aku sangat mencintai suamiku, Uni,” bisikku lirih.

Tiba-tiba wanita itu memelukku erat.

“Aku harus apa, Uni? Aku harus apa?” tangisku pecah dalam pelukannya. Sedang tangannya hanya bisa mengusap-usap punggungku. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

Hening. Hanya terdengar suara hujan yang mulai turun menggantikan gerimis.

“Jika kamu tidak sanggup, lepaskan, pergilah!” ucap Rosni.

Aku merenggangkan pelukan, lalu menggeleng. “Aku tidak bisa, aku mencintai Uda Ilham. Aku tak ingin pergi darinya.”

Jemari Rosni menyeka air mata di pipiku. “Lalu sampai kapan kamu akan hidup tanpa kejelasan seperti ini? Ilham sudah memiliki Khadijah.”

“Aku tahu Uni. Aku rela dimadu, demi Uwais.”

Rosni terdiam.

“Aku masih menunggu keputusan Ilham. Melepasku ... atau memberitahu Khadijah tentang kami.”

Tarikan napas Rosni terdengar panjang. “Beginilah kalau menikah secara siri, Dik. Kita wanita yang tersiksa, sebab hendak menuntut cerai pun mau ke mana? Sementara lelaki bisa bersikap semaunya saja. Dia tak peduli perasaan kita,” ujarnya geram.

Mencoba Setia (Tamat)Where stories live. Discover now