Bagian 1

166 8 1
                                    

Aku menutup sambungan telepon dengan senyum bahagia. Akhirnya, setelah seminggu menunggu, lamaranku untuk menjadi staff memasak di salah satu Boarding School ternama diterima. Ini artinya, aku bisa memiliki peluang untuk menetap di kota ini, Bukittinggi.

Kota yang selalu kuimpikan bersama seseorang, kelak jika kami menikah nanti. Sekarang—walau tanpanya—aku telah berhasil menjejakkan kaki di sini. Mencoba mencari sesuatu yang telah lama hilang dari hidup.
Kupandangi wajah mungil yang tengah asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Seorang bocah berusia lima tahun, yang selama ini selalu menemani sepiku. Namanya Uwais, anak yang terlahir dari rahimku sendiri. Kami tinggal di sebuah kontrakan yang terletak di tak jauh dari Boarding School itu. Sudah tiga bulan lamanya.

Untuk memenuhi biaya hidup, aku menerima upah mencuci dan menggosok pakaian. Walau tak jarang kami kekurangan. Akan tetapi, Allah Maha Penyayang, rezeki selalu datang tanpa diduga. Saat aku tak punya uang untuk makan, ada saja yang mengetuk pintu dan meninggalkan seplastik sembako atau makanan di atas meja kecil yang terletak di teras. Aku tidak pernah tahu itu siapa, karena setiap membuka pintu, aku tak menemukan siapa pun. Mungkin malaikat yang diutus Allah untuk memberikan rezeki ini. Begitu saja pikirku.

Alhamdulillaah, mulai minggu depan aku sudah dapat pekerjaan baru. Yang pasti akan sedikit menyita waktu. Berbekal hobi memasak dan mengutak-atik resep di google.
Malam pun menjelang. Uwais sudah tertidur selepas Isya tadi. Aku berniat memeriksa pintu depan. Namun, entah dorongan apa yang membuatku mengintip ke teras dan menmukan sebuah kantong plastik besar tergeletak begitu saja di meja. Perlahan aku melangkah ke luar, melihat ke kiri dan ke kanan, namun tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar sini. Tetangga pun semua sudah berada dalam rumah masing-masing karena cuaca yang begitu dingin.

Sambil merapatkan switer, aku meraih kantong itu. Maasyaa Allah! Sembako dan bermacam biskuit lagi! Ya Allah, siapa sebenarnya orang baik ini? Tak terasa ada genangan di sudut mata. Kuusap perlahan, sebelum membawa kantong itu masuk ke rumah.

“Terima kasih ya Allah, semoga Engkau membalas orang baik ini dengan surga-Mu.”
Ini hari pertamaku bekerja. Alhamdulillaah, setelah shalat Subuh aku langsung berangkat. Bersyukur Uwais terbiasa bangun pagi sekali, sehingga dengan segera kumandikan dan membereskan keperluannya.

Hanya berjalan kaki sepuluh menit dari kontrakan kami pun sampai di sana. Uwais dengan patuhnya duduk di sudut dapur tempatku memasak bersama ibu-ibu lain. Dia asyik dengan mainan dan camilannya. Terkadang ada rasa perih di hati melihatnya seperti itu. Akan tetapi semua kulakukan demi dia. Agar masa depannya bisa lebih baik.
Pukul tujuh semua sudah selesai. Bahkan sudah terhidang untuk para santri laki-laki di sana. Kami pun segera kembali ke dapur untuk menikmati sarapan. Sedangkan Uwais tertidur di samping mainannya. Mungkin bosan main sendiri.

“Kamu asli Bukittinggi, Tan?” tanya Rosni. Ia senior di sini.

“Iya, Uni. Tapi kami sekeluarga sudah lama merantau ke Jakarta. Sejak aku kecil.”

“Berarti orang tuamu di Jakarta?”

Aku terdiam. Ada rasa perih yang menjalar ke jantung. Mengingat betapa mereka begitu terpukul melihat keadaan putrinya ini. Sehingga aku memutuskan pergi meninggalkan Jakarta, agar mereka tak semakin terluka.

“Tania!” Rosni menepuk pelan bahuku.

Aku tersentak. “Oh, eh, iya, maaf Uni. Iya, orang tua saya di Jakarta.”

“Suamimu?”

Lagi, luka lama itu terkoyak lagi. Berdarah, perih tak terhingga. Kuhela napas, mencoba tersenyum, tetapi sayang aku gagal. Butiran bening itu tanpa segan berlompatan keluar. Membuat teman-temanku terkejut. Seolah paham dengan keadaan, Rosni merangkul bahuku, membawaku rebah dalam pelukannya.

Mencoba Setia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang