23. CLA?

130 9 0
                                    

"Gue gak suka ya, lo diet-diet gitu. Buat apa sih?" Revan berdecak dengan kedua netra yang menatap lurus ke jalanan.

Pada akhirnya, Zea jujur dengan Revan bahwa dia sedang diet, dan ya, sudah dari keluar dari cafe, Revan terus mengatakan kalau dirinya tidak boleh diet.

Suara dering ponsel Revan memotong ucapan Revan yang akan membuka mulut lagi, cowok itu melirik ke arah ponselnya berada, nomor asing. "Ze angkat." perintahnya.

Zea mengangkat panggilan itu, dia juga me-loundspeaker agar Revan bisa mendengar suara dari sebrang sana.

"Hallo?" Suara cewek yang Zea dengar, suara itu terdengar panik.

"Iyaa?" jawab Revan singkat, dia seperti mengenal suara ini.

"Tante Clara kecelakaan, sekarang udah ada di rumah sakit. Gue sherlock rumah sakitnya."

Kedua remaja itu saling pandang dengan tatapan kaget, Revan yang pertama memalingkan wajahnya ke depan, cowok itu mengeratkan tangannya di setir mobil. "Lo gak usah bercanda bangsat!" ucap Revan marah.

"Siapa yang bercanda! Ngapain gue bercanda soal ginian, Revan? Lo masih ngenalin suara gue 'kan?"

"Sherlock sekarang, Cla!" ucapnya pada orang di sebrang sana. Dia tau, orang di sebrang sana tidak akan bercanda dengan yang seperti ini.

Cla? Who is she? Itu yang ada dipikiran Zea sekarang.

Panggilan itu terputus, bergantian dengan suara notifikasi chat, "ZE! BUKA!" sentak Revan yang kesal karena Zea melamun.

Zea yang kembali tersadar langsung linglung, dia kaget dengan sentakan Revan, tangannya segera membuka chat itu yang menunjukkan lokasi rumah sakit.

"Rumah sakit mana?"

"Didepan sana." Zea menunjuk ke depan sana. "Revan? Jangan ngebut!" lanjutnya saat Revan menambah kecepatan.

"REVAN!"

"APA? GUE HARUS KE RUMAH SAKIT SEKARANG!"

"IYA AKU TAU! TAPI DENGAN KAMU YANG BEGINI BUKAN CUMA MAMA CLARA YANG ADA DI SANA, TAPI KITA JUGA!" teriak Zea.

Napas Zea memburu dengan kedua matanya yang menatap Revan marah. Dia tau perasaan Revan sekarang, bahkan dia juga merasakannya, panik, cemas, khawatir, takut menjadi satu. "Aku yang ganti kamu nyetir?" tawarnya pada Revan yang sudah menuruni kecepatan.

Cowok itu menggelengkan kepalanya. "Engga usah."

Zea mengusap lengan Revan. "Mama udah ditangani Dokter di sana. Jadi berdo'a aja, Mama gak kenapa-kenapa." ucap Zea lembut, cewek itu berusaha menenangkan Revan.

"Gue takut, Ze." ucapnya lirih. Kedua mata itu sudah berair. Walaupun hubungan dirinya dan Clara tidak begitu baik, tapi dia tidak ingin kehilangan.

"Mama gak akan kenapa-kenapa." balasnya meyakinkan, dia juga meyakinkan dirinya sendiri kalau Clara tidak akan kenapa-kenapa.

"Mobil Mama." Zea menatap ke arah depan setelah Revan mengatakan itu, benar saja, itu mobil Clara. Mobil itu telah di bawa oleh mobil derek, keadaan mobil itu tidaklah baik.

*****

Revan berlari bersama Zea menuju ruang ICU yang di sana terdapat dua remaja yang duduk di depan ruangan, suara sepatu yang mesuk ke dalam indera pendengaran mereka mampu membuat keduanya menoleh bersamaan.

"Gimana?" tanya Revan entah pada siapapun, yang terpenting ada jawaban dari pertanyaannya sekarang.

"Masih ditangani Dokter." Claretta, cewek dengan dress biru yang terdapat darah itu menjawab Revan.

Dilihat dari dress yang dikenakan Cla, seberapa banyak darah Mamanya di sana, membuat Revan semakin takut, air matanya tidak dapat dibendung lagi. Zea tadinya ingin menenangkan Revan tapi Cla sudah sudah lebih dulu bangkit dan memeluk cowok itu.

Zea menatap itu dengan menggigit bibir bawahnya. Rasa cemburu itu menguar, dia ingin melepaskan pelukan itu paksa, tapi kondisinya tidak mungkin, Revan memang butuh ditenangkan.

"Ze?" panggil Agas menatap Zea yang masih berdiri kaku di sebelah Revan dan Cla. "Duduk." sambungannya seraya menepuk kursi kosong disebelahnya saat Zea sudah menoleh.

Zea menurut, dia duduk disebelah Agas. Zea menyandar tubuh, juga menyandarkan kepalanya didinding rumah sakit dengan kedua matanya yang terpejam. Didalam hatinya, dia terus berdo'a untuk keselamatan Clara.

"Revan, Mama kamu?"

Keempat remaja itu menoleh ke sumber suara, Revan melepaskan pelukan Cla, dia menatap datar sang Papa.

"Didalam, Om." jawab Agas, lagi juga tidak mungkin Revan menjawab.

"Permisi." Pria dengan seragam polisi mendekat ke arah mereka. "Dengan keluarga saudari Clara?"

Daniel mengangguk. "Iya, Pak. Saya suaminya."

"Saya hanya ingin memberikan barang-barang ini," Daniel mengambil semua barang-barang Clara. "Saya hanya ingin memberikan barang-barang itu, saya pamit pergi. Terimakasih."

"Terimakasih, Pak." balas Daniel.

Setelah kepergian polisi itu, Revan mengambil map cokelat dan memengangnya dengan erat. Di sana, terdapat logo pengadilan, dia membukanya dan membacanya.

"Papa mau cerai sama Mama?" tanya Revan menatap tajam pria paruh baya dihadapannya.

"Revan, kamu tenang dulu." ucap Daniel mencoba menenangkan putranya.

"Kecelakaan ini karena Papa! Jalan yang terjadi sama Mama itu jalur rumah ke ke kantor Papa!" Rahang Revan mulai mengeras.

"Revan dengarkan Papa!" ucap Daniel marah.

"Apa dengan aku dengarin Papa, Mama gak bakal ada di dalam?" Revan menunjuk ruang ICU yang masih tertutup.

"Kami sudah tidak cocok! Makanya Papa-"

"KENAPA BARU SEKARANG PAPA MAU CERAIKAN MAMA? KENAPA SEBELUM REVAN ADA AJA? KENAPA SETELAH REVAN SUDAH BESAR PAPA MAU CERAIKAN MAMA?" sentak Revan marah.

"Revan." tegur Cla.

Revan tidak mengindahkan teguran dari Cla. "Kalau ujung-ujungnya Papa cerai dengan istri Papa, buat apa Papa nikah?" tanya Revan dengan mata yang merah.

Agas berdiri, dia mengajak Daniel untuk duduk terlebih dahulu, tapi Revan menghalanginya. "Van?"

"Lo gak usah ikut campur ya anjing!" desisnya pada Agas.

"Om duduk aja dulu." Agas kembali mengajak Daniel untuk duduk. "Ze." Agas mengode Zea agar cewek itu mau menenangkan Revan yang tengah emosi itu.

"Revan, tenang dulu ya? Permasalahan itu nanti aja bahasnya, sekarang kita fokus sama Mama Clara aja. Oke?" Zea mengusap lengan Revan lalu beralih mengusap lembut kepala Revan.

Revan menatap kedua netra Zea dalam, dia menaruh kepalanya dibahu Zea, tangannya melingkar di pinggang ramping Zea. Napasnya masih sedikit memburu, tapi Zea masih setia mengusap punggung Revan agar cowok itu tidak emosi lagi.

"Berdo'a sama-sama." ucap Zea.

"Tuhan, jangan Mama." Air mata Revan kembali jatuh, dan Zea bisa merasakan bahunya basah.

Pintu terbuka, Dokter muda itu keluar, dan Daniel segera bangkit dari duduknya untuk bertanya pada Dokter itu. "Bagaimana keadaan istri saya?"

"Pasien sudah melewati masa kritisnya, setelah ini, Ibu Clara dipindahkan ke ruang rawat." jawab Dokter itu.

"Sudah boleh menjenguknya?" tanyanya lagi.

"Setelah dipindahkan ya, Pak. Saya permisi."

Revan yang masih didalam pelukan Zea hanya diam, dia mendengarkan semua. Zea bisa mendengar suara Revan yang lirih. "Terimakasih Tuhan."

****

see you.

REVAZEWhere stories live. Discover now