22

7 3 0
                                    

"Dan pada akhirnya kamu menyadari, bagaimana caranya ranting itu tumbuh kembali, setelah dipatahkan berkali-kali"
--Lavender--

Pitaloka menatap datar Kandita yang hanya bisa menunduk di depannya. Gadis itu kembali berulah, menjual motor peninggalan Papanya yang dibelikan khusus untuk Pitaloka, tapi malah berakhir dipakai Kandita karena syarat yang diajukan Sarah, saat Pitaloka memilih pindah ke apartemen yang lebih dekat dengan tempat kerjanya.

Karena tidak mendapatkan uang dari Pitaloka yang dapat mencukupi keborosannya, Kandita nekat memilih sistem pay later untuk mendapatkan barang-barang yang dia mau.

Namun makin kesini, uang jajannya tidak dapat menutupi hutang yang dia miliki, hingga berakhir menjual motor yang dia gunakan, dengan pikiran nanti Pitaloka pasti akan kembali membelikannya karena Kandita dan Sarah membutuhkan alat transportasi untuk berpergian.

"Beli lagi motor itu," perintah Pitaloka.

"Gak bisa dong Kak, kan udah terlanjur gue jual. Mending sekalian aja beli yang baru lagi, lagian motornya udah ketinggalan zaman juga," tutur Kandita.

"Mampu lo beli motor baru? atau mau minta gue yang beliin juga, iya? kalau gitu lo harus berhenti minta duit ke gue," tantang Pitaloka, "gue gak masalah beli motor baru, tapi motor itu buat gue sendiri yang pakai."

"Gak bisa gitu dong Kak, gue kan tanggungan lo!" kata Kandita tidak terima.

"Gue gak merasa punya kewajiban buat menafkahi lo ya, kecuali kalau gue cowok sekalipun lo adik tiri gue masih masuk akal gue bertanggung jawab buat biayain lo, karena kita terlahir dari Mama yang sama," ujar Pitaloka, "udah gue peringati baik-baik Kandita, jangan usik apapun yang gue punya, bukan karena masalah hartanya tapi itu semua peninggalan Papa."

"Tapi gue butuh uang! Lo enak punya aset dari Papa," bentak Kandita.

"Ya karena gue anaknya! Menurut lo uang asuransi kematian Papa, dan uang-uang lainnya yang dia tinggalin setelah meninggal larinya kemana? ke lo dan Mama!" geram Pitaloka.

"Jangan lo pikir karena gue gak pernah marah, lo bebas buat semena-mena sama gue Kandita. Lo harus tahu, kalau gue juga manusia biasa, lo harus tahu berapa kali gue ngumpat dalam hati, buat ngutuk segala kelakuan lo selama ini. Gue diam karena gue masih berusaha menghargai Mama dan lo sebagai anaknya," cerca Pitaloka.

"Terus salah gue gitu? kalau bisa milih juga gue gak sudi jadi Adik tiri lo!"

"Manusia gak tahu diri kayak lo masih bisa bilang gak sudi punya Kakak kayak gue? buka mata lebar-lebar Kandita, kalau Lo bisa bilang gak sudi seharusnya lo bisa hidup sendiri tanpa bantuan gue." Pitaloka berusaha menenangkan dirinya, perlahan dia mengurangi intonasi suaranya yang dirasa terlalu tinggi.

"Kalau memang gak sudi jadi bagian dalam hidup gue, seenggaknya pergi aja, jangan malah nambah beban."

"Berhenti Dyah, gak usah sama-sama keras kepala kayak Kandita, kamu harus bisa lebih dewasa, biar bisa jadi panutan Adikmu," tegur Sarah, yang datang mendekati keduanya, setelah mendengar perdebatan yang terdengar cukup keras.

"Aku gak butuh orang yang ngikutin cara aku bersikap apalagi hidup Ma. Kasian, cukup aku aja yang ngerasain capeknya kayak gimana," sarkas Pitaloka dengan nada sopan, padahal bermaksud menyindir.

"Mama pusing dengarnya, lebih baik kita ambil jalan tengah," tutur Sarah mengalihkan pembicaraan.

"Kalau kamu mau beli kendaraan lagi buat kamu pakai secara pribadi, lebih baik kamu jual apartemen punyamu, uang lebihnya lumayan bisa dipakai buat sehari-hari, Kandita pun sesekali bisa ikut kamu yang punya kendaraan kalau pergi kuliah," putus Sarah, mengundang senyum simpul terbit di wajah Pitaloka.

"Segampang itu Ma? kenapa harus aku lagi yang ngalah, jual apartemenku? padahal yang buat masalah Kandita."

"Itu jalan terbaik, lagian uang bulanan yang kamu kasih udah Mama beliin emas sebagain, kemarin Ibu-ibu pada ngajak belanja, Mama gak mungkin gak beli apa-apa. kalau kamu jual apartemen, uang bulanannya nanti bisa ditambah dan gak kekurangan buat bulan ini."

"Aku tetap gak mau jual apartemenku," kekeh Pitaloka.

"Kalau gitu lo bisa pinjam sama keluarga Papa, lo kan kesayangan mereka, masa Lo tega lihat gue sama Mama kekurangan sama kelaparan,"

"Kenapa gak lo aja yang minta duit ke keluarga lo pribadi? minta di kirim sama Papi kandung lo biar bisa beli itu ini."

"Gak boleh, nanti Mama malu kalau itu terjadi."

"Sama, aku juga malu harus minta uang ke Om atau Tante terus, sedangkan  uangnya malah dipakai Kandita foya-foya, bukannya pakai kalau lagi kepepet aja."

"Terserah Mama mau gimana, aku udah capek. Aku bakal kirim terus uang bulanan, tapi kalau sampai habis sebelum waktunya aku gak bertanggung jawab buat kasih tambahan."

Pitaloka pergi detik itu juga dari rumahnya, kembali ke apartemen dengan segera, selama di perjalanan pikiran dia melayang memikirkan kenangan dengan sang Papa saat pertama kali mendapatkan motor tersebut, barang mungkin bisa dibeli, namun kenangan yang melekat dalam barang itu tidak bisa terganti.

Karena terlalu banyak melamun tanpa sadar Pitaloka melewati halte yang seharusnya menjadi tempat perhentian dia, gadis itu turun di halte yang lebih jauh dari apartemennya.

Kaki Pitaloka malah menuntunnya kearah taman yang terbilang sepi sore itu, terlalu melelahkan untuk jalan ke apartemen dari tempatnya berada, dan Pitaloka merasa enggan kembali masuk bus untuk pulang, apabila harus bertemu banyak orang dikala suasana hatinya sedang buruk.

Perempuan itu menyalakan smartphonenya, teringat pesan Arjuna dua minggu lalu sebelum pergi meninggalkan dia, dimana laki-laki itu meminta agar Pitaloka senantiasa menceritakan semua kepada Arjuna dengan cara berkirim pesan. Selama dua minggu ini mereka berkomunikasi dengan baik, namun Pitaloka tidak pernah sampai ke tahap menceritakan permasalahan berat yang dia alami, jadi Pitaloka pikir untuk kali ini tidak masalah mencurahkan segala kekesalan yang dia rasakan, karena selama ditinggalkan Pitaloka belum pernah membuat Arjuna khawatir, bukankah masih dalam batas wajar jika hanya sekali dua kali?

"Kakak, Loka voice note aja boleh ya?" kata Pitaloka yang mengirimkan pesan suara kepada Arjuna, yang terus berlanjut dia kirim dengan voice note lainnya.

Tanpa tahu bahwa yang mendengarkan pesan suara dia di seberang sana adalah Januartha, membiarkan Januartha memahami lukanya dan mengetahui fakta bahwa Pitaloka tengah terluka.

Arjuna bilang Pitaloka tidak pernah menyukai mengirim pesan suara, dia lebih suka mengirim pesan berupa teks, sedangkan untuk telepon, hal itu hanya akan dilakukan Pitaloka dalam keadaan genting. Jika Arjuna sedang jauh darinya, dan Pitaloka membutuhkan dia untuk bercerita, kemungkinan gadis itu akan mengirimkan pesan suara karena tidak bisa berkeluh kesah secara langsung.

Hal itu yang membuat Januartha di tempatnya tergerak untuk membeli sup ayam jahe kesukaan Pitaloka, di tengah gerimis yang menguyur kota Januartha segara datang ke apartemen Pitaloka saat itu juga.

Untungnya gadis itu belum pulang, membuat Januartha lebih leluasa menyiapkan sup ayam jahe kesukaannya, lalu setelah itu mengirimkan pesan kepada Pitaloka, bersikap seolah dia adalah Arjuna yang punya waktu untuk mampir ke apartemen Pitaloka, namun tidak menemukan perempuan itu di tempat, dan berakhir menyiapkan sup ayam jahe untuk menenangkan pikiran Pitaloka yang kacau.

Bersambung..

Dipublikasi: 01 Juli 2023
Jumlah kata: 1104 kata







Lavender Onde histórias criam vida. Descubra agora