8

18 4 3
                                    

"Aku sakit tapi aku lega, karena Tuhan juga memberikan penawar bagi sang luka"
--Lavender--

Pitaloka membuka pintu rumah dengan pelan, ruangan tengah yang masih gelap membuat dia tergerak untuk berinisiatif menekan saklar lampu.

"Mana?" tanya Kandita yang berlari dari arah kamarnya dengan senyum lebar, Pitaloka yang tahu maksud perempuan itu memberikan satu cup pisang keju yang tadi dia beli, satunya lagi untuk dirinya sendiri.

"Kok yang kecil?" tanya Kandita.

"Mama masa Kak Dyah belinya gak sesuai pesanan Dita," keluh Kandita.

"Mama gak ada bilang harus yang gede kok sama gue," sangkal Pitaloka tidak mau disalahkan dan memang benar adanya begitu.

"Pokoknya lo salah!" sentak Kandita, "itu apa?" Kandita menunjuk satu cup lagi pisang keju milik Pitaloka yang masih ada di dalam plastik.

"Punya gue," ujar Pitaloka dengan tegas.

"Ada apa ribut-ribut? berisik!" timpal Sarah, Mama Pitaloka yang kini hadir di tengah mereka.

"Dita dibeliin yang kecil padahal mau bikin konten, malahan Kak Dyah beli juga," adu Kandita.

Pitaloka menunggu respon Sarah, wanita paruh baya itu berkata, "Kenapa gak beli yang gede sekalian? kamu harusnya inisiatif, seenggaknya kalau kelebihan nanti gak bakal ribut gini."

"Uang aku gak cukup, ini akhir bulan. Aku beli juga karena aku mau, kalaupun aku paksain beli yang gede buat menuhin ekspektasi Kandita, ujung-ujungnya uang aku gak digantikan?"

Sarah berdecak, pikir Pitaloka sekalipun dia berusaha menjelaskan dengan tenang, pasti ada saja kesalahan yang ditangkap dari perilakunya.

"Sama adik itu jangan perhitungan, Mama gak pernah ajarin kamu begitu!" geram Sarah.

"Memang sejak kapan Mama susah payah ngajarin aku," batin Pitaloka, dia tidak seberani itu untuk berkata terang-terangan, Pitaloka menghargai Sarah.

"Aku cuman berusaha bertahan hidup, supaya bisa kerja terus kasih Mama uang," kata Pitaloka.

"Udah gak usah ribut lagi, Kandita masuk kamar, ambil yang ada," putus Sarah.

Tanpa repot-repot menanyakan kabar Pitaloka yang baru pulang setelah sekian lama jarang berkunjung, Sarah melewati anaknya begitu saja, keluar rumah entah kemana.

Kandita pun dengan raut wajah yang keruh masuk ke kamarnya, tidak peduli lagi terhadap kehadiran Pitaloka yang membuatnya kesal.

Pitaloka tidak mau ambil pusing, dia pergi ke kamar belakang yang dulu menjadi kamar Kandita saat Pitaloka masih tinggal di sini, namun karena Pitaloka memilih pindah dengan alasan lebih dekat dengan tempat kerja, Kandita tentu dengan senang hati mengajukan diri kepada Mamanya untuk menempati kamar Pitaloka yang lebih luas. Kini barang-barang Pitaloka pindah ke kamar belakang milik Kandita, dan mungkin jika Pitaloka berniat menginap dia harus tidur di kamar itu juga.

Dibukanya pintu kamar yang tidak terkunci itu, lantaran kuncinya sudah hilang sejak lama. Pintu kamar ini hanya dapat dikunci dari dalam dengan slot pintu besi, setidaknya saat ada yang berganti pakaian di dalam masih bisa dikunci, dan tidak bisa dimasuki sembarangan orang.

Karena merasa lapar tapi Pitaloka pikir belum ada makanan yang tersedia sebab belum memasuki waktu makan malam, Pitaloka pun memutuskan memakan pisang keju yang tadi dia beli, duduk di atas ranjang, lalu makan dalam diam.

Bekas poster artis-artis kesayangan Kandita masih menempel di dinding, Pitaloka menggulirkan mata kesana-kemari melihatnya.

Sampai matanya menyipit menemukan satu foto berukuran sedang yang tertempel di dekat saklar lampu, dia mengenal orang itu, bahkan dua minggu lalu mereka bertemu.

Lavender Where stories live. Discover now