3

27 5 0
                                    

"Sebab dia mencintaiku tanpa syarat, hingga aku rela ditawan tanpa diikat"
--Lavender--

Pitaloka mengerjapkan matanya beberapa kali, dengan posisi tidur yang meringkuk seperti janin bayi, nyawa gadis itu belum sepenuhnya terkumpul sebab tidurnya terusik saat Arjuna berusaha memindahkannya ke dalam kamar. Faktanya memang Pitaloka cukup sensitif, dia mudah terbangun kala mendapatkan gangguan.

Kini tatapannya tidak lepas dari gerak-gerik Arjuna, lelaki itu tengah mengutak-atik AC yang telah rusak hampir sebulan lalu, karena jarang atau bahkan mungkin tidak pernah memasuki kamar Pitaloka sembarangan--sebab gadis itu tidak suka jika ada orang yang masuk ke kamarnya--Arjuna jadi tidak tahu jika AC-nya sudah lama rusak, Pitaloka pun belum sempat menceritakan perihal itu selama ini, lantaran dia masih punya kipas angin besar di dalam kamar yang bisa digunakan saat merasa kepanasan.

"Ini rusaknya gak parah, masih bisa dipakai lagi," kata Arjuna, "lain kali kalau ada apa-apa langsung bilang ya."

"Aku tiap masuk kamar refleks nyalain kipas angin, sampai gak inget AC-nya rusak," adu Pitaloka, mendengar itu Arjuna langsung menyambar kipas angin tersebut mencabut steker yang dia tebak tidak pernah lepas dari stop kontak selama sebulan ke belakang.

"Kipasnya aku simpan di ruang tengah, pakai kalau memang lagi butuh, misalkan sehabis ngepel lantai biar cepat kering," kata Arjuna.

"Terus sebisa mungkin pintu kamar sering dibuka apalagi pas pintu balkon juga dibuka, jadi meskipun anginnya gak masuk secara langsung ke kamar masih ada sirkulasi udara, aku tahu kamu gak suka pintu kamar kamu dibuka lebar, tapi di sini kamu tinggal sendiri, gak bakal ada yang mengusik privasi kamu," ujar Arjuna panjang lebar, yang berhasil membuat Pitaloka tersenyum tipis.

"Kamu kalau mau ngomel, ngomel aja Kak. Bilang jangan atau larang aku waktu kamu ngerasa aku salah juga gak papa. Kenapa sih kesannya Kakak kayak lagi ngurus anak umur lima tahun tahu gak? lemah lembut banget."

Tangan Arjuna bersedekap dia mengambil jarak lebih dekat dengan Pitaloka, lalu duduk di tepi ranjang gadis itu, matanya menatap lekat netra hitam legam milik si lawan bicara.

Arjuna bilang, "Kamu gak ngerti juga? aku itu lagi self branding sayang, soalnya kriteria kamu kan cowok yang parenting-nya bagus. Target aku itu bukan lagi jadi pasangan kamu, tapi juga jadi Ayah yang baik buat anak-anak kita sekaligus suami yang tepat buat kamu nanti."

Pitaloka yang dibuat salah tingkah melempar boneka bebek miliknya ke arah Arjuna. "Apa sih kamu nih!" rengek Pitaloka, disusul tawa renyah dari Arjuna.

Karena debu yang sepertinya berterbangan setelah Pitaloka melempar boneka bebeknya, gadis itu bersin beberapa kali.

"Nah kan pasti nyalain kipas angin tapi pintu kamarnya ditutup nih, terus bonekanya jarang dibersihin jadi debunya lama-lama numpuk," kata Arjuna, "hidung kamu kan sensitif sayang, lain kali bersihin barang-barangnya lebih sering."

"Aku sapu sama pel lantai dua minggu sekali kok, terus seprai sama bed cover juga suka aku ganti," beber Pitaloka.

"Tapi bonekanya cuman kamu pindahin pas kamu ganti seprai sama bed cover kan? jadi debunya masih ada, coba nanti kalau lagi gitu sekalian dijemur aja bonekanya biar kalau ada kuman atau jamur jadi mati sekalian," ujar Arjuna.

Mendengar ucapan panjang lebar laki-laki itu, bibir Pitaloka seketika mengerucut, membuat Arjuna semakin bersemangat untuk kembali bersuara. "Nah bibirnya udah mirip kayak bebek," ejek Arjuna.

"Ayo Ibu bebek, anak-anak bebek, kelinci, lebah, beruang, harimau, kucing, panda, koala, rubahnya pada dimandiin dulu sekalian." Bola mata Arjuna membesar setelah berhasil mengabsen segala jenis boneka di kamar Pitaloka.

Lavender Donde viven las historias. Descúbrelo ahora