16

12 3 0
                                    

"Seseorang bilang perlindungan paling baik datang dari perempuan yang sedang jatuh cinta, sedangkan ancaman paling berbahaya bisa disebabkan oleh perempuan yang patah hati"
--Lavender--


"Gue mau tiduran bentar ya pusing," keluh Bening, ketika mendatangi Pitaloka di loket pendaftaran, setelah sebelumnya pergi ke ruangan rekam medis.

Pitaloka mengangguk dia bilang, "Jangan lupa makan tapi, entar pas jam kerja udah mulai lo makan dulu, yang jaga biar gue aja."

"Makasih Pipit." Pitaloka mendengus melihat kelakuan Bening yang berlagak imut.

"Nanti kalau ketemu Tara gue suruh kesini deh, atau lo chat sendiri anaknya minta temenin," kata Pitaloka.

"Apaan sih Pit! gak mau sama Tara ah, lo kan tahu tipe gue laki-laki dewasa mapan,  Tara tuh ibarat bayi baru belajar jalan di dunia kedokteran mah," gerutu Bening.

"Lo sendiri suka jodohin gue sama dia, giliran dijodohin balik gak mau!" cibir Pitaloka, "gitu-gitu juga Tara udah bisa kalau disuruh nikahin lo Ning, mampu pasti dia bawa maharnya."

"Gak mau gue, dia terlalu greenflag kurang menantang, minimal cowok yang bersanding sama gue harus bisa diomelin, biar gue ada bahan menyalurkan emosi," tutur Bening, padahal sebelumnya dia terlihat lemah namun giliran diajak berdebat lagaknya semangat empat lima.

"Normalnya dikasih cowok baik-baik mau, ini malah nolak."

"Ya udah lo jodohin gue sama Dokter Jeff aja, dia juga kan cowok baik-baik juga," lontar Bening tanpa beban dia menampilkan senyum cerah.

"Berat Ning, lo gak akan kuat. Minimal orang tua lo masuk jajaran direksi atau manajemennya lah, soalnya ini anak semata wayang direktur utama rumah sakit, lahir dari keluarga yang isinya Dokter semua kalau gue pribadi sih jelas udah mundur duluan sebelum perang," bisik Pitaloka, yang mencoba berhati-hati dalam mengatakan hal-hal yang dirinya anggap sensitif.

"Lo kayak gak kenal gue aja Pit! kalau perlu gue minta Papa gue buat rumah sakit sekalian biar gue sama Dokter Jeff jadi satu strata. Jangan meremehkan gitu Pit, kalau masih gak percaya entar lo gue ajak kerja deh di sana," ujar Bening.

"Rumah sakit apaan?" tanya Pitaloka yang merasakan kejanggalan, meskipun hidup berkecukupan namun belum tentu keluarga Bening bisa membangun rumah sakit, jika iya mungkin Bening tidak akan ada di sini.

"Guguk sama meng," jawab Bening dengan polosnya mengundang tatapan malas Pitaloka.

"Udahlah gue ke kantin," pamit Pitaloka, tanpa menunggu jawaban Bening, Pitaloka segera melangkah meninggalkan gadis itu.

"Pit nitip bika ambon!" seru Bening.

"Minta Papa lo aja bawa Medan-nya kesini," ejek Pitaloka yang masih bisa didengar oleh Bening, tanpa menghentikan langkahnya.

"Gak bisa woy!" teriak Bening, "JNE gak mampu ngangkut Sumatera Utara ke Jawa Barat."

Pitaloka hanya bisa tersenyum tipis, mendengarkan jawaban dari Bening yang terdengar samar, karena dirinya semakin menjauh.

•••


"Ngapain?" tanya Pitaloka, tanpa mau repot-repot beramah tamah kepada Kandita.

"Main aja, memang gak boleh?" tanya Kandita

"Bukan gak boleh sih, cuman gak guna aja," sarkas Pitaloka, Kandita tertawa sumbang merasa dipermalukan, apalagi Pitaloka dengan santai menikmati makanannya tanpa peduli kehadiran sang adik, namun dia mengingat kembali tujuan awal.

Lavender Where stories live. Discover now