14. Egois

249 59 22
                                    

Arhan menarik nafas panjang, menghirup udara segar di sekitarnya yang masih begitu asri. Banyak hal menakjubkan di tempat barunya. Pemandangan yang indah, jalan yang masih bebatuan, namun terasa sangat lega, karena pemukiman yang tidak begitu padat.

"Selamat pagi, bapak polisi!"

Senyum di wajah Arhan terukir, ketika melihat sekumpulan anak-anak yang hendak berangkat sekolah, dan menyapanya.

Sudah 1 Minggu lamanya dia berada desa Sohokanggo, distrik Mandobo, dan ini adalah kebiasaan barunya akhir-akhir ini. Memperhatikan aktivitas orang-orang yang berlalu-lalang sepulang dari berkebun, ataupun hendak berjualan di pasar. Bahkan terkadang, beberapa dari mereka akan mendatangi rumah dinasnya, hanya untuk sekedar menukar hasil panen dengan beberapa makanan instan yang dikirim dari pusat.

Tangannya melambai kepada beberapa anak tersebut. "Selamat pagi! Sekolah sampai pintar ya, semuanya?"

5 orang anak tersebut mendekati Arhan yang sedang duduk di teras rumah dinas.

"Pulang sekolah nanti, kita mau mampir kesini ya?"

Arhan mengangguk. "Iya! Silahkan main-main kesini. Nanti kita ngobrol-ngobrol, ya?"

"Siap, pak polisi!"

"Ya sudah, sana berangkat sekolah! Nanti terlambat."

Kelima orang anak-anak itu bergantian mencium punggung tangan Arhan untuk berpamitan.

"Gimana seminggu ini? Mulai merasa betah tanpa sosmed?"

Kepala Arhan menoleh kepada seseorang yang menegurnya. "Pak Imam? Kapan datang, pak?"

"Pagi buta tadi." jawab laki-laki yang terlihat seumuran dengan Arhan, namun nyatanya, usianya lebih tua dari wajahnya. "Jadi gimana, udah mulai move on?"

Arhan hanya tertawa kecil mendengar guyonan yang dilontarkan laki-laki itu. Begitu dirinya tiba di rumah dinas dan bertemu dengan 5 orang anggota kepolisian yang lain, mereka memang sudah banyak bertukar cerita.

Laki-laki itu bahkan menceritakan sosok Yafa, gadis muda, cantik dan pintar, yang selama beberapa bulan terakhir sangat menyita perhatian, dan selalu mengisi pikirannya.

"Mungkin, untuk beberapa waktu ke depan, udah mulai bisa move on."

Imam menepuk pundak Arhan. "Emang berat di awal. Tapi, namanya juga tugas pengabdian sama bangsa dan negara. Jadi, harus siap dalam situasi apapun. Semangat, ya?"

"Istri bapak sendiri gimana? Lahirannya lancar?"

Imam meraih ponselnya yang ada di saku, lalu menunjukkan sebuah foto kepada Arhan. "Alhamdulillah, anak saya cewek. Cantik kayak mamanya."

"Pasti bapak ngerasa lebih berat, karena harus ninggalin anak sama istri di Jawa. Apalagi cuma bisa ketemu beberapa hari." Arhan merasa prihatin. Begitu tiba di sini, keesokan harinya Imam sudah berpamitan akan pulang, karena istrinya sudah melahirkan.

"Mau gimana lagi? Udah tugas. Lagipula, waktu saya di sini, tinggal dua tahun lagi, setelah itu saya bisa kumpul sama keluarga. Jadi, kayaknya nggak bakal lama. Nikmati aja dulu keasrian alam di sini, sebelum nantinya bakal merasa jenuh sama kepadatan di daerah Jawa."

Keduanya lantas terdiam, sembari menatap ke depan, menikmati semilir angin yang berhembus menyapa.

"Orang-orang seperti kita ini dibuang, karena terlalu bagus kinerjanya. Jadi, kamu jangan berkecil hati, ya?" Ucap Imam tiba-tiba.

Arhan hanya balas tersenyum, lalu mengangguk sekilas.

"Para petinggi itu, kemungkinan besar nggak pernah puas sama kinerja orang-orang jujur kayak kita."

My Youth (Side Story Miss Independent Series)Where stories live. Discover now