5. Tertawan Hati

263 69 62
                                    

Yafa benar-benar shock, ketika Tenesya tiba-tiba saja membawa Arhan di hadapannya, dan memaksa laki-laki itu agar duduk.

"Diem! Duduk dulu! Kita ngobrol! Kalo lo nggak terima, atau takut dipotong gaji, biar gue yang gantiin duit lo buat hari ini!" Dengan cekatan, Tenesya memindah posisi meja makan kedua bayinya, agar mengapit Arhan.

"Maksud anda apa? Ini namanya pemaksaan!" Arhan berseru tak terima.

"Makanya nggak usah sok cakep jadi cowok, biar nggak dipaksa-paksa!" Desis Tenesya.

"Maksudnya?" Arhan benar-benar merasa bingung dengan apa yang terjadi saat ini. Dirinya yang baru saja selesai melakukan apel pagi, tiba-tiba saja didatangi wanita hamil. Lalu sekarang, dia dipaksa duduk dan berbicara dengan mereka.

Tenesya menghiraukan Arhan, dan pandangannya beralih kepada Yafa. "Ayo ngomong, kak. Mumpung orangnya ada di sini."

Yafa benar-benar gelagapan, mendengar perintah Tenesya. Rasa terkejutnya, yang barusan saja belum hilang, kini dia harus berbicara dengan Arhan.

"I-itu ... aku ..."

"Tenesya, lo ngapain bawa-"

Tenesya lebih dulu berdiri, dan menutup mulut Wanda. "Diem! Jangan berisik! Lo tuh, nggak diajak!"

Wanda menghempaskan tangan Tenesya dari mulutnya. "Maksud lo apa, hah!"

"Berisik banget mulut lo! Ayo ikut gue aja! Sekalian bantu gue bawa bocil-bocil ini."

Wanda pun menerima Winter dengan gamang.

"Silahkan kalian ngobrol dulu berdua." ujar Tenesya, lalu sedikit menarik tangan Wanda agar mengikutinya duduk di meja yang lain, walaupun sedikit kesusahan, karena dia harus menggendong dua bayinya.

Suasana canggung sangat terasa diantara Yafa dan Arhan. Keduanya bahkan sama-sama menggaruk belakang kepala mereka, karena merasa bingung harus bagaimana.

Arhan berdeham. "Kamu ... siapa? Wajahmu familiar, tapi ... aku lupa, sih. Kita pernah ketemu sebelumnya?" Tanyanya kemudian.

"Aku ... aku Yafa." jawab Yafa pelan. "Kita emang pernah ketemu sebelumnya di gedung aula sekolah internasional Sector Ninety's. Pas peenyuluhan narkoba." ada nada sedih dari suara Yafa, mendengar ungkapan Arhan yang lupa dengannya.

Tapi, jika dipikir-pikir lagi, sepertinya apa yang dikatakan Tenesya itu benar adanya. Jika Arhan bisa saja mengalami pikun dini. Bukankah semalam, dirinya sudah memperkenalkan diri? Dan laki-laki itu bilang, dia juga mengingatnya ketika tidak sengaja tertidur di pangkuannya? Tapi ternyata, pagi harinya dia sudah lupa dengan itu semua.

"Yafa?" Ingatan Arhan berputar pada kejadian semalam. Laki-laki itu langsung tersadar, dengan sesuatu yang ia coba ingat-ingat begitu bangun tidur. "Jadi, kamu Yafa yang semalem ..."

Yafa mengangguk sebagai jawaban.

"Kamu bilang, kamu masih sekolah, kan?"

"Kakak bisa pake lo-gue kayak semalem, kalo nggak nyaman sama aku-kamu." sela Yafa.

"Oh, oke ... Tapi, kayaknya lebih nyaman pake aku-kamu aja." Arhan kembali berdeham. 'Soalnya lo ternyata cantik, sopan, dan mukanya jauh lebih muda dari yang gue pikirin. Gue pikir, lo cewek-cewek bocil yang pake make up menor kayak bencong, seperti yang biasa ditangkap satpol PP.' lanjutnya dalam hati.

"Kamu nggak sekolah? Hari ini bukan tanggal merah atau libur nasional, kan? Atau, di sekolahmu ada kegiatan?"

"Itu ... aku lagi bolos aja. Tapi, bunda udah tau, kok." jawab Yafa pelan, nyaris berbisik. Malu, karena mungkin saja Arhan akan menilainya sebagai anak sekolah yang badung, dan tidak taat peraturan. 'Dan aku bolos juga gara-gara nggak bisa tidur, karena mikirin kamu, kak.' batinnya nelangsa.

My Youth (Side Story Miss Independent Series)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora