12. Tak Segampang Itu

218 63 27
                                    

Sudah tiga kali Yafa menelpon Arhan, namun laki-laki itu tidak juga menjawab panggilannya. Yafa yang sedang menelungkup di atas ranjang, menyembunyikan wajahnya dibalik bantal, karena air matanya tiba-tiba saja mengalir.

Dengan kesal, Yafa meninju-ninju permukaan ranjangnya. Dia tau, ayahnya pasti mengatakan sesuatu, yang membuat Arhan tiba-tiba saja menjauhinya.

Gadis itu menegakkan tubuhnya, ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.

"Kakak! Ayo makan malam!"

Itu suara ayahnya, dan Yafa sedang tidak ingin bertemu laki-laki itu. Setidaknya, sebelum ia tau, alasan apa yang membuat Arhan tiba-tiba saja pulang, tanpa berpamitan kepadanya.

"Kakak!" Panggil Tian sekali lagi.

Yafa tidak menyahut, dan lebih memilih untuk tidur. Mengubur tubuhnya di dalam selimut. Menghiraukan panggilan Tian, yang terus mengetuk pintu kamarnya.

"Kakak! Buka pintunya atau ayah buka secara paksa!" Seru Tian mulai mengancam.

Yafa tetap hirau. Seakan tidak peduli, jika Tian akan merusak pintu kamarnya.

Mata Yafa terpejam, ketika Tian membuka pintu kamarnya, yang ia yakin menggunakan kunci cadangan.

"Kakak! Ayo bangun! Kamu belum makan malam!"

Tangan Tian mencoba menarik selimut yang menutupi tubuh putrinya, namun gadis itu lebih dulu menahannya.

Tian berkacak pinggang. "Kamu kenapa sih, kak? Masih marah, karena Arhan pulang duluan, tanpa pamitan sama kamu?"

Tidak ada jawaban dari Yafa. Gadis itu tetap mengubur tubuhnya di dalam selimut.

"Ya udah, kalo kamu nggak mau makan malam! Terserah kamu! Pikirin aja itu si Arhan, siapa tau bisa bikin kamu kenyang." kata Tian pada akhirnya. Laki-laki itu pergi begitu saja, meninggalkan putrinya yang sepertinya enggan untuk berbicara.

Tian keluar dari kamar Yafa, baru beberapa langkah, laki-laki itu meraih ponselnya yang berbunyi, menandakan adanya pesan masuk.

Rahangnya mengeras, matanya berkilat marah, tangannya menggenggam erat ponsel tersebut, setelah membaca pesan yang dikirimkan bawahannya mengenai Arhan.

"Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Si kepa*** Arhan itu pasti sudah merencanakan semuanya untuk membalas dendam atas kematian Adipati."

Dada Tian naik-turun, menahan amarah yang sangat bergejolak. "Arhan ... sudah berapa lama anak haram sepertimu merencanakan ini? Kamu pikir, aku akan diam begitu saja, dan tutup mata?" Tian berdecih, "kamu mungkin tau kelemahanku ada pada anak-anakku, tapi sebelum itu terjadi, kamulah yang harus pergi lebih dulu dari kehidupan putriku!"

Tian kembali menghubungi seseorang. Senyumnya mengembang, begitu panggilannya terjawab. "Selamat malam, bapak Santoso. Lama nggak berkabar. Masih ingat saya, kan? Jadi, begini ... bisa saya minta tolong? Bapak tenang saja, saya punya hadiah yang sangat pantas untuk orang seperti anda."

Tian terdiam, ketika lawan bicaranya mengatakan sesuatu. "Santai saja bapak, bukan hal yang sulit. Saya bisa menjamin itu."






***





Sejak tadi, Arhan hanya memperhatikan ponselnya yang kini kembali berbunyi. Benar, ini sudah kedelapan kalinya Yafa terus berusaha menghubunginya. Malam sudah semakin larut, dia pikir, gadis itu akan menyerah, lalu tidur. Sepertinya Arhan lupa, jika Yafa adalah gadis yang pantang menyerah begitu saja.

Setelah berpikir sejenak, Arhan pun mengalah, dan menjawab panggilan Yafa. "Ha-"

"Kakak kemana aja? Kenapa dari tadi nggak jawab teleponku? Aku ada salah ya? Begitu kakak pulang, kakak sulit dihubungi! Kenapa? Ayah pasti ngomong sesuatu, yang bikin kakak tiba-tiba pulang gitu aja, kan?" Cecar Yafa tidak sabaran.

My Youth (Side Story Miss Independent Series)Where stories live. Discover now