2. Berteman Dengan Asmara

3 1 0
                                    

Aku mengetukkan jemari berulang kali pada meja kayu dengan tampang bosan, sudah sekitar lima lagu yang aku putar berulang kali. Nampaknya ronde pesananku belum datang juga. Melihat keadaan sekitar semakin membuatku lelah saja, bagaimana mungkin warung ronde milik bang Maul menjadi sangat rame jika suhu udara sedang turun seperti saat ini. Aku menaikkan resleting jaket untuk mengurangi hawa dingin yang menyelinap masuk. 

Bukan tanpa alasan sebenarnya aku berada disini jika saja bukan karena permintaan kakak yang setengah memaksa itu. Demi keadilan, sepulang dari sini aku akan menaikkan ongkos kirim.

Aku melihat sekeliling, makin rame saja. Namun dari sudut arah pandangku aku menangkap objek dengan ragu-ragu. Rasi bintang itu, senyum yang masih sama itu, ia sang pemilik nama Davin Mahesa Adijunior yang tengah berbincang dengan bang Maul. Aku tak tahu persis apakah ini semacam halusinasi di sore bolong, yang jelas saat ini aku merasa waktu melambat, membiarkan memoriku bergerak dan merekam segalanya, postur tubuhnya saat berdiri, setelan baju kasualnya, ujung rambutnya yang masih basah mungkin terkena gerimis tadi, caranya tersenyum dan berbicara dengan bang Maul. Aku yang menumpu dagu dengan tangan sembari mengamatinya mungkin membuat ia sadar, Davin menoleh ke arahku.

Dari jarak empat meter ia terlihat terkejut dengan kehadiranku. Ia sempat menaikkan alis dengan lucu seolah bertanya, 'itu lo, Rum?'. Iya, ini gue, Dav. Dalam hati aku cekikikan.

Davin menghampiri dengan dua mangkok ronde di tangannya, Aku otomatis melongo, karena aku sudah hampir mengantri dua puluh menit tapi belum juga mendapatkan ronde khas kesukaanku itu. Sontak aku bertanya, "loh? Kok bisa dapet duluan?"

"nih, buat lo." Demi apapun, aku harus berusaha semaksimal mungkin untuk tidak berteriak kegirangan.

"mmm... karena bang Maul paklik aku." Tambahnya. Aku ber-oh-ria.

Gerimis datang lagi sementara keadaan jalan raya semakin memadat. Suara bising dari klakson yang semakin bersahutan semakin berdentang memasuki daun telinga. Langit telah menumpahkan sedikit demi sedikit kesedihannya terhadap bumi yang kian mengering. Percakapan dari kami telah berhenti bermenit-menit yang lalu. Ku rasa dia bukan tipe orang yang suka berbicara sambil makan, jadi aku sama sekali tidak mengambil inisiatif untuk mengajaknya berbincang.

Keheningan melanda kami, kami hanya sesekali saling mengambil pandang dengan seulas senyum kecil tatkala kami mendengar beberapa komentar bagus dari pembeli terhadap ronde buatan Bang Maul. Aku menyadari beberapa hal, bahwa tanpa perlu kita mengobrolkan hal panjang, di sana akan selalu ada bagian kecil dari sebuah momen yang akan menjadi berharga. Sama seperti hal yang kita lakuin sekarang, Dav. Kita mungkin tak terlalu banyak bicara, tapi rasanya gue paham sama apa yang lo rasain, sama apa yang lo pikirin.

"By the way Dav, sorry ya gue lancang bahas mendiang ibu lo waktu acara kemah di sekolah kemarin." Karena kita sudah sama-sama selesai menghabiskan sendok terakhir ronde, itu sebabnya aku berani mengajak ia mengobrol.

Dia tertawa kecil, "yaelah gak papa kali, Rin. Lagian gue suka denger orang-orang bilang gue mirip ibu. Tapi dari sekian banyak orang yang biang gue mirip ibu, lo orang pertama yang bilang mata gue mirip ibu gue."

Tunggu! Sebelum aku menjawab pernyataan Davin barusan, izinkan aku bertanya terlebih dahulu bagaimana bisa dia panggil gue dengan nama Rin? Dia gak lagi lupa nama ku, kan?

"Tunggu, tunggu. Barusan lo panggil gue siapa?"

"Rin? Rini?" dia mengerjap berulang kali, namun kali ini justru aku yang tertawa.

"kok ketawa sih?" Tanya Davin.

"Ngga ada yang lucu sih, tapi kayak jarang aja denger orang panggil gue Rini. Hmm, bukan jarang sih, tapi kayaknya lo deh yang pertama panggil gue Rini."

SaujanaWhere stories live. Discover now