4. Sebuah Titik Perjumpaan Hujan

1 1 0
                                    

Pertemanan ku dan Davin baik-baik saja. Kami sering berjalan beriringan dengan perasaan kami masing-masing. Sebuah perasaan yang saling bertolak belakang seperti yang pernah di katakan oleh Samantha. Sudah hampir dua bulan aku mengenal Davin dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Dan aku semakin menyadari bahwa Davin adalah sebuah rumah yang luas namun tak berpenghuni. Lelaki itu mungkin berjalan beriringan denganku namun aku merasa Davin tak sepenuhnya berada di sampingku. Pikirannya mungkin ada di mana-mana.

Aku tak pernah tahu hubungan pertemanan seperti ini akan bertahan lama atau tidak. Davin hanya akan datang ketika ia butuh teman curhat dan tentu aku tidak keberatan, atau lebih tepatnya aku tidak keberatan karena aku menyukai Davin? Aku bahkan tak pernah berpikir akan mencintainya setulus ini. Dibalik ketidakpekaan Davin, aku masih menemukan perasaan nyaman berada di sisinya. Aku juga masih mengagumi retina matanya, karena di sana terdapat rasi bintang.

Aku mendengarkan banyak cerita dari Davin, seperti yang telah aku katakan padanya sebelumnya. Bahwa aku akan menjadi pendengar yang baik untuk lelaki itu. Apa benar cinta telah membuat orang berkorban lebih banyak? Aku tak peduli tentang hal ini, aku hanya ingin melihat Davin bahagia.

Istirahat kedua baru saja berakhir, namun aku dan Samantha masih harus menyelesaikan beberapa arsip novel dan buku-buku majalah di perpustakaan yang perlu kami tata kembali. Samantha memilah beberapa buku yang kelihatan sudah tak layak baca, sementara aku yang memindahkannya dalam kotak box yang telah di siapkan pak Roni, penjaga perpustakaan sekolah kami.

Bukan tanpa alasan kami kemari, sebenarnya pak Roni adalah ayah Samantha. Aku juga akrab dengan pak Roni. Karena pak Roni aku bisa membaca buku novel terbaru di perpustakaan sekolah yang jumlahnya terbatas. Aku meminta beliau menyisakan satu untuk ku pinjam sebelum di pinjam siswa lain.

"Rum... " Samantha cengengesan sambil menatapku.

"Kenapa?"

"Gue keinget lo waktu baca novelnya Valerie Patkar yang judulnya Nonversation." aku yang mendengarnya hanya menatapnya datar. Rasanya sudah sangat malas ketika Samantha mulai memberikan peringatan padaku. Katanya ia tidak ingin teman dekatnya ini terlalu jauh menaruh perasaan. Tentang buku novel Nonversation milik Valerie Patkar tentu tak terlalu jauh dengan hal yang aku alami saat ini. Sebuah hubungan pertemanan antara Dirga dan Theala, dimana Dirga adalah seorang pecundang yang menyembunyikan perasaannya dari Theala, karena ia takut jika gadis itu mengetahui perasaannya hubungan pertemanan di antara kedua nya akan semakin melebur. Dan aku adalah Dirga, kami berdua sama-sama pecundang dalam hal percintaan.

"lo tahu sendirikan, cowok sama cewek gak bisa temenan." Aku sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini. Perempuan dan laki-laki tidak bisa murni berteman. Karena kemungkinan besar salah satu dari mereka pasti memiliki perasaan yang lebih.

"Terus kaitannya sama gue apa?"

"Tanpa gue jawab seharusnya lo tahu, Rum." Samantha tersenyum dan hati ku mencelos.

Aku tahu Samantha bermaksud baik. Ia adalah orang pertama yang tahu kalau aku menyukai Davin. Sementara hubunganku dan Davin hanyalah sebuah klise pertemanan yang dalam batasan normal. Davin hanya melihatku sebagai teman. Namun terkadang aku merasa perlakuan Davin terhadapku membuat aku memiliki harapan tentang hubungan kami.

"Kalau ternyata Davin juga suka sama gue gimana, Sam?" Aku mengambil satu buku yang ada di rak, novel milik Tereliye dengan judul Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Samantha tak lekas menjawab, gadis itu justru mengambil novel yang ada di tanganku, membukanya sekilas lalu menutupnya kembali. Kini pandangannya beralih ke arah ku. "Kalau dia suka cewek lain gimana?"

Aku berkedip, semua hal yang di katakan Samantha memang bisa jadi benar.

Setelah itu tak ada dialog di antara kami, hanya sebuah diam yang membuat kepalaku begitu penuh seperti ada banyak serangga yang bertamu di rumah lebah dan berbincang banyak hal. Begitu penuh hingga ketika aku dan Samantha melewati lorong kelas 9, Davin--lelaki itu tengah berdiri di ujung lorong, menatapku dengan kedua tangannya yang terlipat di bawah dada. Baru ketika jarak kami hanya tinggal satu meter dan Samantha telah lebih dahulu memasuki kelas yang ada tepat di samping kelasku, lelaki itu berdehem.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 10, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SaujanaWhere stories live. Discover now