1. Bagian Aku Mengenal Dia

7 1 1
                                    

Ada sisi lain yang ingin aku ceritakan tentang diriku. Bukan lagi buku romantis yang kerap mengisi malam ku, bukan lagi aroma teh melati dan bunga seruni yang mengingatkanku tentang kisah Amara dan Arga, atau bukan lagi lukisan abstrak yang selalu membuat temanku bingung apa arti di baliknya. Lebih dari semua itu yang ingin aku bahas pada tulisan kecil ini adalah perasaanku yang tidak diketahui banyak orang, terlebih keluargaku sendiri.

Orang banyak mengenalku dengan nama Rumi, tapi hanya satu yang memanggilku Rini, dia adalah sebagian cerita yang berkaitan denganku selama empat tahun terakhir.

Aku banyak membaca novel romantis semenjak masuk sekolah menengah dan aku rasa genre romantis adalah teman terbaik ketika malam datang namun rasa kantuk ku tak kunjung mampir. Aku memiliki insomnia setelah pubertas, sehingga jam tidurku terbalik.

Ada banyak hal yang sempat singgah dan pergi begitu saja dari pikiranku. Dan yang menetap hingga kini adalah sebuah pertanyaan yang membuatku tak tahu harus melangkah sejauh mana lagi ketika segala hal dihadapan ku begitu abu-abu.

Bunga seruni yang aku tanam di samping rumah mulai bermekaran di bulan Desember ini, aku menatapnya di pagi berembun, menghampirinya dan menepuk pelan kelopaknya yang sayup-sayup akan merekeh. "Tetap hidup ya." Aku tersenyum, ternyata kebiasaanku berbicara dengan tumbuhan masih tetap sama.

"Rumiii, box isi buku-buku di gudang masih kamu pakai atau nggak?!" dari dalam rumah Mama berteriak. Sontak kedua kelopak mata ku terbuka lebar. Bisa menjadi ancaman atau serangan jantung mendadak kalau Mama sampai membaca buku-buku diary yang aku jadikan satu di box dan aku taruh di gudang. Masalahnya isi diary itu, curhatan mengenai hal yang terjadi 4 tahun terakhir. Aku menulis semuanya karena ku pikir segala hal tersebut  adalah kejadian dimana aku menemukan banyak warna. Tanpa berpikir lagi, aku segera berlari menuju gudang dan menjumpai beliau tengah berusaha membuka box yang aku rekatkan dengan lakban hitam.

"Maaa!!!"

Mama terkejut dan menoleh ke arahku dengan bingung, sementara aku yang tengah menghembuskan napas panjang di ambang pintu berjalan mendekat ke arah mama. "Ma, ini masi di pakai Rumi, Rumi bawa ke kamar yaa" Mama tak banyak merespon, ia hanya mengangguk tanpa prasangka terhadapku. Maka aku segera mengangkat box itu dan berjalan tertatih menaiki tangga menuju kamar ku yang ada di lantai atas.

Huft

Aku menutup pintu dan menaruh box itu di dekat kasur, membukanya perlahan dengan bantuan cutter. Entah mengapa ada perasaan sesak ketika membukanya namun aku tak bisa menghentikan tanganku. Aku memang belum berdamai dengan masa lalu, selalu ada harapan bahwa suatu saat hubunganku dengan Davin bisa membaik lagi, walaupun semua itu hanyalah harap yang tak berujung. Hanyalah angan yang sia-sia. Aku adalah pecundang yang sesungguhnya karena aku tak pernah berani berucap dihadapannya, aku tak pernah berani menyampaikan perasaanku. Padahal apabila menilik sebuah kenyataan, sebenarnya aku takut mendengar jawabannya. 

Terbukalah box yang menghantarkan ku pada pintu bertuliskan masa lalu. Ada begitu banyak buku yang tersusun rapi di dalam box ini, sekitar lima buku dengan tingkat ketebalan yang berbeda, ada dua buah gelang pasangan bewarna hitam dengan liontin yang masing-masing berinisial D dan R. D untuk Davin dan R untuk Rumi. Sebuah benda yang tak pernah sampai di tangan Davin.

Aku beralih menyentuh buku bersampul oren setengah jingga. Sebuah buku diary pertama yang aku tulis di bulan April jika tidak salah.

Kolase warna dalam kehidupan memang benar-benar ada, mulai dari warna paling gelap menuju warna yang paling terang kemudian kembali lagi menuju warna gelap. Buku diary bersampul oren setengah jingga berisi deret kolase tersebut.

Saat itu ...

Aku memasuki umur 15 tahun, dua angka ganjil yang berjejer berurutan. Apa hal yang istimewa dari angka itu? perayaan ulang tahun? orang tua ku bahkan tidak pernah merayakan hari ulang tahun ku, walau itu hanya sekedar meniup lilin atau menyiapkan sekotak roti tart kecil. Hal itu sama sekali belum pernah aku rasakan.

SaujanaWhere stories live. Discover now