3. Tentang Rumah yang Menjadi Sepi

4 1 0
                                    

Keadaan rumah menjadi sangat kosong ketika bagian-bagiannya telah menyatu dengan keputusan yang mereka ambil masing-masing. Kakak pertamaku telah menikah tiga tahun yang lalu, ia tinggal dengan suaminya—yang berarti satu anggota keluargaku telah menetap dengan bagiannya sendiri. Kemudian kakak kedua ku masih belum menentu, ia meneruskan pendidikan di luar kota yang mengharuskannya menyewa tempat tinggal disana, ia hanya akan pulang sebulan sekali, seperti kemarin ia tiba-tiba pulang dan merengek bahwa ia rindu rondenya Bang Maul. Jadilah aku sasaran empuknya yang kemarin telah menyamar menjadi babu dengan gaji yang aku naikkan sendiri menjadi dua kali lipat dari sebelumnya. Aku sumringah mengingatnya.

Ibu ku akan bangun pagi-pagi sekali, menyiapkan menu sarapan kecil untuk anggota keluarga kami yang semula lima menjadi tiga bagian ini. Lalu baru sempat aku mengobrol kecil dengan ibu, belum ada lima belas menit ia harus sudah pamit dan pergi bekerja. Lalu tinggal aku dan ayahku saja. Beliau akan berangkat kerja setelah aku berangkat sekolah. Tentang ayahku, cara beliau menyanyangi kami bukanlah lewat kata-kata. Beliau tidak pandai memainkan lidah agar keluar kalimat-kalimat manis. Namun nasihat-nasihat yang ayah kasih dan bagaimana ia melindungi kami, seperti itulah caranya mencintai kami.

Kemudian rumah ini menjadi benar-benar kosong sampai pada aku pulang sekolah.

Begitu kira-kira gambaran tentang rumah kecil ini.

Hampir setiap malam akan menjadi ritual rutin antara aku dan Ayah. Kami akan duduk di balkon atas selama kurang lebih satu jam untuk mengamati langit. Ada sebuah kesamaan di antara kami, kami sama-sama menyukai bintang, langit, bulan, dan apapun yang angkasa suguhkan. Sayangnya malam ini di balkon hanya ada aku seorang. Ayah sedang membicarakan sesuatu dengan ibu di bawah sana, dan aku tentu enggan menguping. Aku sudah cukup lelah dengan urusan orang dewasa—walaupun sebentar lagi aku juga akan menjadi dewasa?

Banyak hal yang tak bisa aku ceritakan pada Mama dan Ayah, juga pada kakak-kakak ku. Aku telah terbiasa memendamnya seorang diri, merasa begitu sesak sendiri, dan ketika aku telah tak berdaya dengan segala carut-marut yang hinggap di kepala, aku akan menangis seorang diri di kamar. Aku bukan tipe anak yang terbuka dan aku jelas tahu bahwa semua itu akan mempengaruhi kesehatan mentalku.

Samantha, teman terdekatku juga sering marah padaku. Ia selalu bilang bahwa aku harus berbagi masalah dengannya. Ia benci ketika aku menjadi teman dekatnya namun malah aku tak pernah berbagi masalah padanya. Ketika aku dan Samantha duduk di bangku yang sama dan ia mulai bercerita dengan antusias, aku selalu mendengarnya dengan baik, dan ketika giliranku bercerita aku selalu diam.

Aku selalu merasa bingung akan bercerita apa, terlalu banyak bising di kepala dan aku selalu bingung mana yang harus aku ceritakan terlebih dahulu. Dan kemudian aku diam dan berakhir memendam semuanya sendirian.

Namun ketika bercerita tentang Davin pada Samantha, aku bisa bebas menceritakannya hanya pada gadis itu saja. Apa sebenarnya aku hanya tidak mampu membagi masalahku lantaran aku tidak ingin menambah pikiran orang lain?

Pandanganku beralih pada benda pipih yang tergeletak di atas meja. Bunyi getaran di sana dan sebuah notif pesan dari Davin membuat tanganku segera meraihnya. Aku membuka satu pesan darinya yang merupakan pesan suara.

Pesan suara itu katanya sebagai hadiah sebelum tidur, sebuah lagu satu bait yang ia nyanyikan dengan diiringi petikan gitar. Lagu dengan judul Hitamku milik Andra and The BackBond mengudara di antara malam yang lelah. Sementara lagu terputar, dingin datang menyambut dan memelukku dalam diam.

Masih adakah separuh janjiku

Yang ku bisikkan hanya padamu

Kuharap engkau masih mengingatnya

Jangan kau pernah melupakannya.

Lo berjanji akan menceritakan banyak hal ke gue, Dav. Dan gue berjaji akan mendengar cerita lo dengan baik.

Maafkan kata yang t'lah terucap

Akan ku hapus jika ku mampu

Andai ku dapat meyakinkanmu

Ku hapus hitamku....

Lagu itu selesai di menit ke satu lebih lima detik.

Aku berjalan masuk, menutup pintu balkon dan turun ke bawah. Gelap, lantai bawah sudah sepenuhnya tak ada penghuni di sana. Mungkin Mama dan Ayah telah tidur berpuluh-puluh menit yang lalu tanpa mengabariku. Aku tidak ingin ambil pusing, mungkin mereka mengira aku telah tidur.

Sebuah malam yang selalu sepi dan lelah.

Aku menarik diri untuk pergi ke atas lagi tanpa suara. Hanya derap ringan yang terdengar oleh angin. Aku pergi ke balkon lagi, kali ini dengan buku sketsa dan satu buah pensil lengkap dengan penghapus. Kebiasaan yang akan aku lakukan pada malam-malam sebelumnya ketika insomnia ku kambuh. Aku akan duduk Selama satu jam lebih menggambar sketsa wajah.

Apakah semua ini karena aku kesepian?

SaujanaWhere stories live. Discover now