Dystopia

884 108 56
                                    

“Tumben kau memasak. Mmm enak.” 

Hongjoong menikmati sarapannya di meja makan bersama siapa lagi kalau bukan Seonghwa, Mingi, dan Jongho? Ia tampak lebih tampan dengan baju seragam sekolahnya saat ini. Dibandingkan dengan penampilan—gambler—nya di luar jam sekolah.

“Seonghwa yang memasak,” tanggap Mingi. Ia tertawa dalam kepala.

Hongjoong berhenti mengunyah seketika.

Untuk sesaat ia menyesal telah memuji masakan itu. Tadinya ia pikir Mingi yang melakukannya.

“Bagaimana? Kau suka?” Seonghwa bertanya penuh harap. Ia sebenarnya tidak bisa memasak. Tapi ia melihat ada tumpukan buku resep masakan di dalam kabinet tadi. Jadi ia mengambil salah satu dan membuka bab menu makan pagi. Dan mulai memasak sesuai prosedur dalam buku secara sistematis, berusaha melakukan yang terbaik. Untuk mendapatkan yang terbaik. Jadi tidak ada salahnya mengharap sedikit apresiasi dari orang yang dituju. Hongjoong.

Hongjoong ingin bilang tidak. Tapi ia sudah telanjur mengatakan hal positif tentang makanan itu. Maka seperti ini ia menjawab, “Ya. Tapi aku lebih menyukai masakanku sendiri.” Tanpa ada gairah untuk melihat wajah Seonghwa sedikitpun.

Seonghwa mengiringi tarikan napas dalamnya dengan kesabaran.

“Ingat apa yang harus kau katakan setelah seseorang memberimu sesuatu?” Mingi berujar seperti orang tua yang sedang mengajari anak balitanya tentang manner. Tiga kata utama yang paling kau butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Tolong, maaf, dan terima kasih.

Hongjoong menoleh pada Seonghwa dan menyemat senyum paksa, “Terima kasih Seonghwa.” Yang benar-benar dipaksakan. Bermaksud untuk merendahkan Seonghwa. Jongho menggeleng melihat kelakuan Hongjoong.

Mingi juga melihatnya. Tapi ia tersenyum, tetap menghargai Hongjoong yang bersedia mengucapkan itu, “Anak pintar.” Dan dengan satu pujian itu ia semakin terlihat seperti memperlakukan Hongjoong sebagaimana orang tua memperlakukan anak kecil.

Hongjoong tiba-tiba menyeringai. Seonghwa yang melihat itu sempat bertanya-tanya apakah Hongjoong sedang merencanakan peledakan bom atau baru membeli virus mematikan untuk menguasai dunia?

“Bagaimana kalau sesuatu yang orang itu berikan adalah sebuah tanggung jawab? Apakah kita harus berterimakasih juga?” setengah mengejek. Atau mungkin memang sindiran telak. Sarkastis. Sama sekali tidak manis. Seingatnya selama ini ia hanya bisa bersikap manis di hadapan para gadis.

Pertanyaan barusan memang ia lemparkan pada Mingi. Namun semua orang di sana tahu betul kepada siapa sarkasmenya ditujukan. Seonghwa. Dan yang ia lihat adalah kali ini giliran Seonghwa yang berhenti mengunyah. Terlihat seperti tiba-tiba kehilangan nafsu makan.

Hongjoong masih saja suka menyindir Seonghwa sejak terakhir melakukannya di Fever Escape semalam.

Seonghwa tentu saja merasa kesal. Namun ia hanya diam saja.

Ngomong-ngomong apa yang ia pertanyakan dalam pikirannya tentang seringaian Hongjoong barusan tidak ada yang benar. Payah.

Setidaknya sindiran Hongjoong tidak mengakibatkan sebuah ledakan atau kematian. Meski tetap saja terdengar sangat menyebalkan.

Mingi tersenyum ringan. Seringan ia menjawab, “Tentu.” Satu kata berbau stoik yang bukan merupakan tipikal ia.

Dahi Hongjoong mengerut. Tidak menduga akan mendapat jawaban seperti itu, “Kenapa?”

“Karena dengan itu kau belajar bagaimana memikul tanggung jawab. Kau masih tidak suka bertanggung jawab kan terkadang? Soal sekolahmu misalnya?” Mingi dengan sikap kasualnya. Ia menenggak jus jeruknya dengan santai.

Tricky House 🎲 joonghwa [⏹]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang