06 - Keanehan Seorang Alan

5.8K 321 17
                                    

JEANNE menatap pantulan dirinya di kamar mandi dengan senyuman miris. Celana jin itu ternyata benar-benar muat di kakinya, bahkan terasa pas di pinggulnya. Kemejanya memang agak sedikit longgar, tapi bisa dibilang pas juga karena Jeanne memiliki dada yang cukup besar.

Walaupun tidak bisa dibilang nyaman, tapi pakaian ini cukup lumayan. Untungnya pakaian dalamnya tidak ikut basah dan masih bisa digunakan.

Saat keluar dari kamar mandi, Jeanne tidak bisa menemukan siapa pun di ruang kamar bernuansa abu-abu itu. Lampu besar berwarna putih yang ada di tengah ruangan masih menyala terang, padahal di atas nakas juga ada lampu tidur tapi lampu itu tidak digunakan oleh Alan semalam.

Jeanne melangkah menuju satu-satunya pintu yang belum dia buka sebelumnya. Saat membuka pintu, dia langsung disambut oleh ruang tamu ukuran sedang yang merangkap juga sebagai ruang santai dengan televisi besar yang menempel di dinding dan audio sound system yang lengkap.

Jeanne mengerjap sekilas. Di mana Alan? Apakah pria itu meninggalkannya sendirian? Bukannya ini apartemen milik Alan, kenapa bisa-bisanya dia pergi dan membiarkan Jeanne sendirian di sini?

Namun pikirannya langsung ditepis ketika ia melihat Alan keluar dari lorong kecil yang sepertinya mengarah ke dapur. Terlebih laki-laki itu kini membawa beberapa piring dan peralatan makan lain. Apakah dia mau mengizinkan Jeanne untuk makan bersamanya? Tapi di mana makanannya?

"Udah gantinya?" tanya Alan sembari menatap tubuh Jeanne dengan terang-terangan. "Muat beneran ternyata."

Jeanne langsung menyilangkan kedua tangan di depan tubuh bagian atasnya, menghalangi pandangan Alan saat laki-laki itu berjalan melewatinya. Laki-laki itu terlihat tidak peduli, dia hanya berjalan menuju sofa, lalu meletakkan piring dan peralatan makan di atas meja kecil yang ada di depan sofa.

"Lo punya alergi?" tanya pria itu sekali lagi, sama sekali tidak menunjukkan kalau dia terusik dengan tindakan Jeanne sebelum ini.

Jeanne menggeleng. "Nggak ada."

"Oke, tunggu bentar, ya? Makanannya masih belum sampai." Alan duduk dan menyenderkan punggung ke sandaran sofa. Dia terlihat santai sekali, seperti tidak berniat melakukan hal buruk pada Jeanne lagi atau malah sampai pergi meninggalkan Jeanne sendiri.

Laki-laki itu terlihat biasa saja, layaknya tidak pernah terjadi apa pun sebelumnya. Dia tidak terlihat sedang merasa canggung ataupun tidak enak hati pada Jeanne, padahal tadi saat di kamar mandi Alan tampak merasa sangat bersalah padanya.

Apa itu semua cuma sandiwara? Apa diam-diam Alan ingin lari dari penjelasan dan tanggung jawab atas perbuatannya?

Jeanne mendekat dan berdiri di samping Alan yang masih duduk di atas sofa. "Lo nggak lupa, alasan kenapa gue masih ada di sini sekarang, kan?" Jeanne menatapnya tajam.

Alan balas menatap matanya, tersenyum tipis saat menjawab, "Enggak, tapi gue mau kita makan dulu sekarang. Lo belum makan apa pun setelah muntah sebanyak itu semalam."

Jeanne menatapnya tajam. "A-apa?"

"Lo muntah, banyak banget malahan sampai selimut gue penuh isi muntahan lo doang." Alan tersenyum tipis saat mengatakannya.

"Lo bercanda, kan? Buktinya waktu gue bangun tadi, gue masih pakai selimut dan nggak ada jejak muntahannya sama sekali!" Jeanne berkacak pinggang dan menatap Alan penuh emosi.

"Itu selimut gue yang lain. Warnanya aja beda sama warna seprainya, kan?"

Jeanne mengerjap. Dia tidak ingat. Memang warnanya beda? Perasaan abu-abu semua. Apa dia perlu mengeceknya ke dalam untuk memastikan ingatannya yang mungkin saja sudah bermasalah?

"Selimut yang lo muntahin ada di pojok kamar, bawa pulang, gih! Cuci sampai bersih!" perintah Alan tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Jeanne langsung melotot mendengar perintahnya. Kenapa di sini Jeanne serasa dijadikan seperti tersangka utama penghancur selimut orang? Bukannya dialah korban yang sebenarnya karena sudah digarap habis-habisan sama laki-laki berengsek di depan matanya ini?

"ALAN!" teriak Jeanne murka.

"Gue cuma bercanda, Je. Selimutnya bisa gue anter laundry ntar sore. Lo tenang aja, gue nggak serius soal nyuruh lo nyuci sampai bersih, kok. Tapi soal muntahnya gue emang serius." Alan menatap Jeanne serius.

"Nyebelin lo!"

Umpatan itu membuat Alan tertawa pelan, lalu menepuk sofa di sampingnya. "Duduk sini, tunggu makanannya sampai."

"Lo pesan makan emangnya?" Jeanne menurut, dia sedikit menurunkan tingkat kewaspadaannya, karena dirasa Alan tidak begitu berbahaya.

"Ya, gue kan nggak bisa masak." Alan berdeham pelan. "Makanya gue pesan makanan, daripada bikin lo keracunan."

"Serem! Masakannya bisa jadi racun segala!" Jeanne menatap Alan horor.

Alan menyeringai. "Lo mau coba?"

"Emang ada manusia yang udah tahu mau diracun, tapi masih dimakan juga?" Jeanne menatap laki-laki itu dengan tatapan tidak percaya.

Alan hanya bisa tersenyum saja mendengar ucapan Jeanne. Jujur saja, Alan sedikit merasa bersyukur, karena Jeanne bisa berlaku biasa dan tidak lantas memusuhinya seperti saat pertama kali perempuan itu melihatnya tadi.

Dia merasa cukup lega, karena atmosfer di antara mereka kali ini tidak mencekam dan berbahaya. Bukan karena Alan takut berada dalam posisi seperti itu, melainkan karena penjelasannya nanti jelas tidak akan diterima dan direspon dengan baik oleh Jeanne.

Suara burung gagak yang memekakkan telinga sukses membuat Jeanne melompat ke arah Alan dan memeluk lehernya dengan erat. "Apaan, tuh?"

Alan hanya bisa tertawa melihat reaksi Jeanne yang cukup berlebihan itu. "Bel apartemen gue, keren, kan?"

Jeanne menatap Alan dengan tatapan horor. "Keren apanya, udah nggak waras iya!"

"Masih waras, kok." Alan melepaskan tangan Jeanne yang melingkari lehernya. Suatu tindakan yang berhasil membuat perempuan berumur dua puluh lima itu merasa malu dengan tindakannya. "Gue bukain pintu dulu." Pamitnya dan bergerak menuju pintu apartemennya.

Di balik pintu, kurir pengantar makanan terlihat terjengkang sambil memegangi dada. Dia menatap Alan dengan helaan napas lega, kemudian meminta maaf dan menyerahkan pesanan Alan sebelumnya.

Alan hanya mengucapkan terima kasih dan masuk ke dalam apartemennya. Dia tidak masalah makanan itu tadinya baru saja dijatuhkan. Toh itu memang terjadi karena salahnya sendiri yang iseng-iseng memakai suara burung gagak untuk bunyi bel pintu apartemennya.

"Gue nggak nyangka lo orangnya iseng banget," kata Jeanne saat Alan mendekat ke arahnya.

"Bukannya iseng, tapi buat alarm. Kalau ada yang bertamu pas gue lagi merem, gue pasti bisa langsung sadar waktu denger suara belnya." Alan memasang wajah berpikir. "Tapi suaranya udah nggak berpengaruh lagi ke gue akhir-akhir ini. Mungkin gue harus ganti suara lain, biar gue bisa langsung bangun kalau ada yang datang lagi."

"Mau diganti apa? Jangan bilang suara kuntilanak lagi nyanyi?" Jeanne menatapnya horor. Dia bersumpah tidak akan datang ke sini lagi, jika memang Alan mau memasang bunyi bel kuntilanak di apartemennya ini.

"Gue udah pernah coba dan tetangga gue pada protes semua," kata Alan dengan wajah polos tanpa dosa. "Mungkin pakai suara harimau aja kali, ya?"

Jeanne hanya bisa menatap laki-laki itu dengan tatapan tidak percaya. "Terserah lo aja, deh!" Paling tetangga lo pada langsung manggil damkar atau RSJ sekalian, karena mereka udah nganggap lo gila! lanjutnya di dalam hati.

One Night Disaster (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang