Part 59

360 60 1
                                    

Altair tidak menghitung seberapa lama ia duduk terdiam di lorong depan ruangan. Demi kesopanan, menunggu Mio terbangun.

Mio terbangun beberapa saat kemudian. Dengan reaksi sama seperti neneknya, Mio nyaris melompat kaget begitu menyadari ada orang lain di dekat pintu. 

Altair perlahan berjalan masuk kembali. Sementara Mio, dengan raut curiga yang sama seperti tatapan matanya saat pertama kali melihat Altair, secara insting buru-buru memposisikan dirinya, menggeser kursi menutupi neneknya. 

Sendirinya takut tapi ingin melindungi. Seperti anak ayam kecil gemetaran. Membuat perasaan Altair semakin campur aduk. 

"Bisa ikut saya ke sebentar, Mio?"

Mata Mio terbelalak makin takut.  Altair menggertakkan gigi. Salah langkah. Terlalu terburu-buru. Salahnya, Altair tidak biasa basa-basi. Ditambah apapun yang terjadi sebelumnya di ruangan ini dan kejadian apapun sejauh ini pasti menambah goresan sisa trauma Mio pada laki-laki

"Maaf." Altair berdeham, "Maksud saya, kamu dan nenek bisa ikut saya ke dokter sebentar?"

"Buat apa?"

"Badanmu penuh luka....."

Mio tersentak, dirinya seperti baru menyadari bahwa ia hanya memakai baju terusan pendek. Secara reflek, Mio seperti ingin lompat bersembunyi, menyembunyikan semua lukanya tapi baru berdiri sedetik, Mio langsung terduduk kembali sembari meringis kesakitan. 

"Mio!?" Altair buru-buru berlari mendekat, berlutut di depan Mio dan secara reflek, memeriksa seluruh luka Mio yang terlihat. 

"Mas Altair, berhenti! Saya nggak apa-apa!" Seru Mio panik. 

"Lalu yang saya lihat sekarang apa!?"

"Bukan apa-apa. Nggak ada apa-apa."

"Kamu luka Mio, seluruh badan mu penuh luka." Geram Altair, kini seluruh pandangannya sudah tertuju penuh pada mata Mio, mata hazelnya, dalam jarak dekat, "Tolong percaya saya. "

"Tapi saya memang tidak apa-apa."

"Mio." Suara nenek Mio mendadak mencuat. Suasana berubah hening. Membuat Altair dan Mio hanya bisa mematung menatap beliau. Malam ini, nenek Mio seakan tampak lebih tua dan ringkih. Bajunya terlihat lusuh menambah kesan kusam rambutnya yang putih rontok di sanggul berantakan. Beliau masih dalam posisi semula, duduk dengan raut letih didekat Mio, "Tadi Mio di pukul di bagian perut sebelah kiri oleh pamannya. Dengan kayu. Tolong periksakan Mio ke dokter ya, Altair?"

Mendengar Altair langsung menjawab ya, Mio seketika memejamkan matanya rapat-rapat seperti ingin mengenyahkan ingatan apapun yang mungkin terlintas di otaknya sekaligus putus asa karena rahasia terdalamnya terbongkar dan saat Mio berhasil mengumpulkan keberaniannya kembali, ia menggigit bibir, menatap neneknya, suaranya gemetar gelisah,  "Tapi nenek bagaimana?"

Nenek Mio menghela nafas, melirik Altair cemas karena cucunya masih merajuk tidak mau, "Bukan nenek yang selalu di pukul pamanmu, tapi kamu."

"Tapi nenek juga sakit."

"Kamu lebih butuh bantuan sekarang, Mio. Nenek harus tetap disini, jaga-jaga kalau paman dan bibimu pulang."

"Nggak usah nenek. Nggak perluh, Mio nggak mau." Ucap Mio pelan hampir serupa bisikan sebelum melayangkan pandangannya pada Altair, "Saya bisa obati luka-luka saya sendiri."

"Kenapa?" Entah dorongan dari mana, jemari Altair tanpa sadar bergerak, mengelus rambut Mio seperti cara nenek Mio mengelus rambut Mio sebelumnya, "Saya nggak akan minta ganti apapun untuk semua hal yang saya lakukan ke kamu. Saya juga nggak akan melakukan hal jahat apapun ke kamu. Jadi sekali lagi, saya hanya minta; ikut saya, tolong percaya dengan saya."

Lagi-lagi Mio menyipitkan mata makin curiga.  Lucunya di saat yang sama, Mio juga mengeluarkan suara gerutuan tidak jelas. Seperti rengekan anak kecil di balut suara Mio yang dasarnya semanis gulali. Memang saat ini tidak tepat. Tapi anehnya suara itu, membuat bibir Altair tersenyum kecil pedih. 

"Cinta tanpa pamrih ada, Mio."

Seketika Mio menggeleng ragu, "Nggak ada, kecuali nenek."

Altair tau, Mio berniat terlihat seram, keras kepala, menyebalkan atau setidaknya mengancam, tapi perempuan di hadapan Altair saat ini, justru malah makin terlihat luar biasa lucu. Efek yang di timbulkan berbeda. Mio gagal untuk membuat Altair berhenti tersenyum. 

"Sudah,  Mio." Nenek Mio perlahan ikut mengelus rambut cucunya penuh sayang seperti Altair, "Nenek suka dengan nak Altair.  Seperti nenek sayang dengan kamu.  Tolong percaya Altair, se percaya nenek ke kamu, demi nenek. Demi diri kamu sendiri."

Catatan Mio Where stories live. Discover now