Part 50

516 80 2
                                    

.............

Altair

Altair memandang sekeliling. Ia sudah tinggal beberapa bulan di pulau Serasan. Tapi pemandangan di sekelilingnya, masih tetap membuatnya menerawang. Gedung besar di sisi kanannya adalah mess kilang yang biasa ia gunakan sehari-hari walaupun cuma sekedar di pakai untuk tidur karena ia lebih banyak menghabiskan waktu di rig Offshore atau kantor kilang minyak onshore.

Bisa di bilang mess nya masih dalam satu bagian dari empat hektar kilang onshore. Bangunannya cukup megah. Senormalnya sebuah perusahan besar dengan fasilitas yang jelas berkali-kali lipat lebih bagus daripada fasilitas sehari-hari penduduk lokal.

Tapi yang paling mencolok adalah pagar pembatas tinggi menjulang di hiasi pagar kawat berkilo-kilo meter. Kokoh angkuh dengan deretan papan palang bertuliskan kata-kata dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pesan untuk siapapun, bagi yang tidak berkepentingan; dilarang masuk.

Pagar itu seakan menjadi pembatas kehidupan.

Dunia yang tidak sama.

Cerita yang jauh berbeda.

Didalam pagar, orang-orang berkejaran dengan waktu. Tuntutan tugas dan tanggung jawab yang tinggi. Mereka berjalan cepat, memakan apapun jatah makan dari fasilitas mess dengan gerakan mekanis. Lompat ke atas mobil dinas. Kerja. Kerja. Kerja. Bergerak seperti robot dan kering seumpama Cemara layu.

Sementara di balik pagar, zona waktu berjalan lebih lambat. Orang-orang itu mungkin tidak punya uang untuk makan besok. Tapi masih bisa tertawa. Santai. Hidup mereka seakan di atur untuk memikirkan masalah esok untuk hari esok dan nikmati hari ini untuk hari ini.

Ketimpangan itu tidak begitu berarti untuk Altair. Ia jarang berinteraksi langsung dengan penduduk lokal. Jarang keluar wilayah. Semua yang Altair butuh sudah di sediakan oleh perusahaan. Termasuk mobil, pesawat dan kapal penyebrangan. Jadi ia tidak pernah merasakan fasilitas pada umumnya di Serasan.

Biasanya pula, Altair tidak pernah punya banyak waktu. Ia sama seperti rekan sejawatnya yang lain. Hidup dalam lingkup terbatas. Deadline bertumpuk untuk target barel minyak perhari untuk memenuhi kuota nasional. Hidupnya sekering Cemara angin yang habis di sambar petir. Jauh lebih kering sejujurnya. Karena yang lain, punya ambisi untuk di kejar dan keluarga untuk di perjuangkan. Sementara Altair sadar; dirinya hampa.

Anehnya sore itu, di waktu luang yang langka; seakan semesta berkehendak. Mata Altair jatuh pada sepeda berjejer di dekat mess nya. Sepeda sport fasilitas perusahaan. Dengan moto mulia; supaya lebih membaur dengan budaya masyarakat lokal, walau jelas gagal total.

Sepeda perusahaan terlalu mewah. Terlalu mentereng jika di bandingkan sepeda kuno yang biasa di pakai penduduk lokal; sepeda turun menurun dari zaman nenek moyang; sejak masa penjajahan.

Tapi bisa jadi sepeda memang jauh lebih membumi daripada kendaraan dinas perusahaan, mobil Jeep Range Rover dengan ban jumbo yang sukses membuat metromini pulau Serasan tampak kayak kaleng reginang.

"Pak Altair, pakai saja itu sepeda." Ucap pak Harto satpam mess dengan logat melayu yang khas seraya tersenyum setelah beliau melihat Altair hanya terdiam cukup lama memandang sepeda, "Sekarang jalan nya pulau udah pada bagus loh pak. Tidak banyak jalan tanah lagi kayak dulu. Sejak kilang mulai produksi aspal."

Altair mengangguk, tersenyum, "Kalau saya pergi, saya bisa lihat apa di sekitar sini?"

Pak Harto mengerjapkan mata, nyengir, "Ya tidak ada sih pak. Palingan warung kopi. Tapi kalau bapak mau. Itu di dekat sini ada hutan bakau. Ada banyak bangaunya. Bapak tinggal ngikutin jalan, pertigaan belok kiri jalan terus sampai ke dekat pantai"

"Bangau?"

"Iya pak. Disana ada belibis juga. Kalau bapak mau nembak, saya bisa pinjamkan senapan."

Altair tersenyum kecut, berburu dan meramu makanan seperti manusia purba jelas bukan style nya," Ada apa lagi selain itu?"

"Pak Cik , memangnya belum pernah jalan-jalan keluar ya?" Pak Harto mengelus dagunya, membuat senyum Altair bertambah lebar, kenyataannya memang Altair satu-satunya pegawai kilang yang sejauh ini tidak tertarik melihat pulau Serasan, "Ada penangkaran buaya sih pak. Buaya liar juga ada. Besarnya se gentong. Bapak bisa lihat sambil jalan-jalan di pinggir muara."

Altair tersenyum geli. Pilihannya antara wisata buaya dan wisata melihat bangau. Untungnya Altair cukup rasional dan sadar diri kalau ia masih ingin kembali ke mess dalam keadaan utuh maka ia harus tegas menentukan pilihan.

"Ya. Saya pergi melihat bangau saja." Ucap Altair ramah seraya mengambil sepeda paling ujung sementara pak Harto dengan gembira membuka pintu gerbang mess.

Angin berbau garam, kebun gersang, tanah yang sama sekali tidak subur dan bangunan-bangunan sederhana khas kampung Melayu langsung menyambut Altair dalam beberapa meter pertama. Sepi. Agak terbelakang. Tidak modern sama sekali. Cenderung Membosankan. 

Keadaan pulau Serasan benar-benar jauh dari kota-kota di Jawa. Sekalipun cuma kota kecilnya. Untungnya semenjak kilang minyak di bangun, fasilitas daerah mulai meningkat.

Ada banyak perbaikan, pembangunan dan pemeliharaan total. Bukan cuma masalah jalan aspal, tapi juga soal listrik. Listrik yang tadinya hanya ada di malam hari mulai merembet ke siang. Ekonomi bertumbuh dan penginapan mulai muncul. Serasan jadi pulau yang lebih baik hanya dalam beberapa tahun.

Altair mulai menggenjot sepeda. Berusaha cuek dengan beberapa penduduk setempat yang mendadak mendongak saat dirinya lewat. Bukan cerita baru kalau orang setempat bisa langsung membedakan mana kaum pendatang dan yang bukan. Intinya, tidak ada tempat untuk warga Serasan menyembunyikan gundik, karena setiap warga dari ujung ke ujung pulau hafal dengan satu sama lain. Inti lainnya, Barang baru jelas berbeda dari barang lama. Karena itu Altair memaklumi kalau dirinya tampak lebih mencolok dari orang-orang lain yang sama-sama menaiki sepeda.

Termasuk memaklumi sistem kasta yang tiba-tiba mencuat begitu kaum pendatang membanjiri pulau. Pro dan kontra tanpa di sengaja. Kaum pendatang tanpa sadar bersikap elit dan warga lokal yang seperti terjajah. Masalah klasik yang selalu terjadi di manapun tempat hasil bumi di keruk.

Tak beberapa lama, Altair sudah sampai di tempat yang di maksud oleh pak Harto. Sesuai dengan bayangan Altair. Hutan bakau liar tanpa fasilitas. Indah karena alami. Ciptaan tuhan. Tanpa sentuhan.

Altair berhenti dan turun dari sepeda. melipat lengannya di depan dada bertanya-tanya kenapa dirinya mendadak memutuskan melihat deretan burung bangau, pohon bakau dan kadal entah apa sebesar singkong merambat di batu padahal ia tau, bidangnya adalah bertengger di rig tengah laut. Mengurusi tetek bengek site assessment dan post mortem projects bukannya bertualang di tempat berlumpur mengobral diri di tempat hangout binatang yang paling, Altair benci; ular, buaya dan biawak.

Lucunya, di saat minat Altair sudah hampir menguap saking ia tidak tau harus melakukan apa. Mendadak matanya tertuju pada satu pohon tidak jauh dari sana. Pohon itu menjulang tinggi. Pohon kapas. Biji-biji pohon kapas pecah di makan waktu. Ranum di saatnya. Mengeluarkan kapuk-kapuk yang langsung berhamburan di terpa angin. Hampir seperti salju. Salju dengan kearifan lokal.

Bukan pohon kapas itu yang paling menarik perhatian, bukan juga anak-anak kecil yang berhamburan menuju ke bawah pohon sambil berlompatan. Tapi seorang perempuan; ia berdiri di bawah atap bangunan yang tidak jauh dari tempat kapuk kapas berhamburan.

Bangunan dengan tulisan penginapan. Bangunan cukup besar tapi tampak sedikit tidak terawat. Di tengah suara tawa, Altair melihat gadis itu di pukul satu kali di bagian kepala oleh seorang laki-laki paruh baya. Cukup keras, terlalu kasar.

Secara insting, Altair bergerak, matanya memincing, terkejut, marah. Perempuan, siapapun dia, tidak pantas di perlakukan kasar apalagi di pukul sekeras itu.

Menjengkelkannya, beberapa orang di sekitar tempat itu juga melihat apa yang Altair lihat. Mata mereka terbuka, tapi hati nurani mereka mati. Dinilai dari seberapa cepat orang-orang itu mengalihkan pandangan menutup moralitas mereka dengan sikap acuh tak acuh.

Rasa peduli yang luntur. Hampir hancur tergerus. Menyedihkannya, itu ternyata tidak hanya terjadi di kota besar metropolitan seperti yang Altair kira tapi juga di tempat ini. Disini.

Catatan Mio Where stories live. Discover now