Part 9

838 112 3
                                    

"Vey? Harvey? Mio gimana?" Tanya Altair tanpa tendeng aling-aling begitu Harvey sialnya mengangkat teleponnya tanpa mengecek penelponnya sebelumnya.

Harvey langsung mematikan handphonenya dengan gemas sayangnya kakaknya langsung meneror Harvey dengan telepon lainnya.

Altair mengumpat, "Jangan di matiin dong."

"Sibuk. Masih di poli."

"Mana ada poli anak buka sampai jam 10 malem."

"Masih ngurus bayi baru lahir."

"Sambil main handphone?" Protes Altair.

Harvey menghela nafas. Melepaskan kancing kemejanya satu persatu kemudian duduk di kasur, "Iya gimana kenapa?"

"Mio."

"Daritadi pagi aku di RS. Mana tau Mio gimana."

"Seenggaknya pagi tadi gimana?"

"Mio nyuci piring."

"Terus?"

"Makan bubur."

"Terus?"

"Nggak tau lah. Aku kerja."

"Mio daritadi siang nggak ngangkat telepon. Handphonenya mati."

"Nggak usah segitunya panik. Sejengkel-jengkelnya mama, Mio nggak bakal di tusuk pisau juga."

"Tapi mama dulu dokter bedah loh."

"Lah terus? Sama mama hidung Mio mau di pindah ke kaki gitu?"

Altair menghela nafas di balik telepon, "Jadi kamu pulang kantor, juga masih nggak ketemu Mio?"

"Nggak lah. Peraturan rumah. Jam 10 udah ke kamar masing-masing."

"Peraturan GILA."

"Aku justru ketemu Melanie di UGD."

Sunyi senyap selama sepersekian detik, "Oh. Ya. Titip Mio jangan sampai Melanie ketemu Mio."

"Nggak janji ya bos."

"Anjing! Jangan bikin aku tambah stress lah..."

Harvey terbahak karena Altair kakaknya yang berpembawaan serius, tenang berubah jadi gampang panik gara-gara Mio, "Sebenernya bagus nya Mio itu apa?"

"Dia cantik."

"Melanie juga cantik." Potong Harvey, "Dokter lagi."

"Beda. Kamu nggak bener-bener kenal Mio."

Harvey tertawa, "Kata mama kamu di santet Mio, bro."

"Pelet maksudnya?"

"Ya gitulah. Nggak paham."

Altair mendengus, "Justru aku yang kayaknya harus ke dukun."

"Hah?" Alis Harvey bertaut, "Maksudnya?"

"Pokoknya jagain Mio ya vey. TOLONG. Aku pulang secepatnya begitu dapet jatah cuti."

"Iya cepetan Mio di bawa balik ke Serasan." Harvey masih juga tersenyum geli tapi senyumnya terpotong suara letusan dan teriakan dari lantai atas.

Harvey mendongak kaget. Ia reflek nelempar handphonenya ke kasur dan langsung lari ke lantai atas, ke kamar Mio.

Harvey sampai disana bersamaan dengan ibunya yang sudah memakai baju untuk tidur.

"Mio?!" Seru ibu Harvey sambil menggedor pintu kamar Mio.

Mio membuka pintu kamar dengan wajah panik, keningnya sedikit berdarah.

"KAMU KENAPA MALAM-MALAM BERISIK?" Mata ibu Harvey memincing. Ia melirik ke dalam kamar Mio dengan wajah kesal.

"Lampu kamar Mio tiba-tiba meletus jatuh Tante. Pas di atas kepala Mio."

"Ah masa'?" Ibu Harvey berjalan memasuki kamar diikuti Harvey yang langsung menemukan pecahan lampu di atas kasur dan noda darah, "Bukannya tadi sore lampu kamarmu baru aja di ganti?"

"Iya.."

"Tuh kan. Semenjak kamu dateng. Rumah Tante pasti ada ada aja kejadian." Gerutu ibu Harvey, " Udah sekarang kamu bersihin pecahan belingnya. Jangan lupa di pastikin sendiri. Nggak boleh pecahan beling di buang di tong sampah. Kasihan kalau tukang sampah nya nggak sengaja kena pecahan beling. Besok pecahan beling itu kubur di kebun. Biar pak Rohmat yang nunjukin tempat nguburin beling."

"Iya tante." Mio menganggukan kepala, darah di kepalanya kini sedikit mengalir ke pipi.

"Itu darah kamu juga di lap. Jangan sampai kena kasur. Susah hilangnya. Nggak usah panik juga. Darah yang keluar dari kepala memang biasanya lebih deres daripada tempat lain."

Mio mengangguk lagi dengan patuh sementara tangannya mengelap darah yang mengalir kecil di pipinya.

Pemandangan itu agak bikin kasihan. Harvey sebetulnya ingin memeriksa kepala Mio tapi tatapan mata ibu Harvey membuat Harvey segera ikut keluar dari dalam kamar Mio. Toh Harvey malas berdebat dengan ibunya.

Harvey menunggu sekitar setengah jam kemudian untuk kembali ke kamar Mio. Sedikit mengendap-endap karena nggak mau emosi ibunya kembali pecah malam-malam Pintu kamar Mio masih terbuka seperti sebelumnya. Mio menyalakan satu lampu kamar yang tersisa. Lampu itu tidak begitu terang seperti lampu kamar yang sebelumnya pecah.

"Mio?"

Mio menoleh kebelakang. Tersenyum," Mas Harvey ada apa? Apa ada yang ketinggalan."

"Sini kuperiksa lukamu."

"Uhh?" Mata Mio membelalak sepersekian detik, "Apa?"

"Saya dokter. Saya nggak mungkin biarin ada orang luka begitu saja."

"Tapi saya nggak apa apa" Mio menjawab buru-buru dan tangannya kembali memunguti pecahan kaca kecil di atas kasurnya.

"Jari kamu juga berdarah." Ucap Harvey setelah memperhatikan gerakan tangan Mio.

"Iya. Lampunya yang saya nyalakan sekarang ini agak kurang terang. Saya juga kurang hati-hati jadinya kena pecahan beling."

"Seenggaknya kamu berhenti membersihkan sebentar. Saya obatin lukamu dulu."

"Saya nggak apa-apa. Sungguhan."

"Terus darah di kepalamu itu apa? Sirup?"

"Tapi kata tante saya nggak boleh panik."

"Itu bagus. Tapi nggak panik juga bukan berarti biarin kepala kamu tanpa di obati."

Mio berhenti bergerak. Perlahan ia turun dari kasurnya kemudian berjalan mendekat ke arah Harvey.

Entah kenapa, semakin langkah kaki Mio mendekat, Harvey semakin teringat kata-kata terakhir kakaknya, Altair.

Mio cantik.

Kata-kata itu seperti sihir sekarang. Terulang-ulang. Mencuci otaknya. Mengelabui alam bawah sadarnya. Membuat Harvey memikirkan hal gila yang sudah seharusnya tidak ia pikirkan lebih jauh. Mungkin karena efek cahaya lampu kuning temaram di kamar Mio. Mungkin karena efek lelah luar biasanya hari ini.

Mio kini berdiri didepan Harvey. Mata hazel di bingkai rambut lurus panjang berponi rata. Mio benar-benar cantik. Boneka kokeshi. Boneka kiku. Boneka Jepang yang hidup.

"Kamu ada keturunan orang Jepang? Korea? Chinese?" Tanya Harvey disaat otaknya tidak berpikir secara normal.

Alis Mio bertaut, "Mungkin ada." Jawabnya ragu, "Aku nggak tau."

Catatan Mio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang