Part 39

629 108 9
                                    

Harvey menyeringai. Itu senyum paling tersopan yang bisa Harvey usahakan detik ini. Setelah ia melihat orang yang di bawa ibunya pulang malam-malam.

Lagi-lagi Harvey tidak butuh mata batin canggih untuk menerawang profesi laki-laki di depannya.

Berbeda dengan pak Yahya si praktisi spiritual yang masih memakai pakaian orang normal sedikit nyentrik pada umumnya, orang yang ada di hadapan Harvey ini totalitas dukun. Selera Fashion dan pritilan klenik di badannya memancarkan aura dukun sekalipun cuma dilihat sekelebat mata.

Beliau memakai baju serba hitam dari atas kebawah. Badannya tegap kurus, berkulit gelap dengan ikat kepala batik aneh melingkari rambut keriting dan batu akik di seluruh jarinya.

Beliau bahkan juga menambahkan embel-embel gelar profesional Ki di depan namanya; Ki Ageng saat mengenalkan diri pada Harvey.

Harvey menjabat erat tangan Ki Ageng dan senyum terpaksa Harvey memudar, "Harvey."

"Oooh... Jadi ini ya mbak Mio?" Ucap Ki Ageng setelah lama berbasa-basi dengan ibu Harvey dan Harvey sesaat setelah melihat Mio menuruni tangga setelah di panggil ibu Harvey lewat Bu Darsih.

Harvey menggertakan gigi. Cukup dengan ki Ageng secara ajaib mengenal Mio, Harvey langsung paham arah tujuan ini semua.

Berbeda dengan reaksi Harvey, Mata Mio terang-terangan terbelalak sesaat tapi Mio dengan cepat mengaburkan ekspresinya. Tidak setertekan kemarin dan hebatnya ia masih bisa tersenyum tulus, "Njih pak.."

"Ayo..ayo sini Mio duduk dengan Ki Ageng." Potong ibu Harvey tak sabar sambil menunjuk sofa ruang keluarga di tengah ruangan.

Harvey melirik ibunya. Disaat yang sama ibunya balas menatapnya dengan pandangan seakan keberadaan Harvey tidak di terima disini.

Tanpa sadar Harvey tertawa kecil, menertawakan kewarasan ibunya, "Dukun profesional mah?"

"Hush!" Ibu Harvey berjengit kaget.

"Dapet darimana?" Ledek Harvey.

"Kenapa kamu masih disini?! Kamu balik ke kamar. Sekarang! Harvey!"

"Kenapa?" Seringai di bibir Harvey kembali, "Harvey sudah sengaja nunggu mama pulang sampai jam segini loh."

"Nanti. Nanti ngobrolnya. Kalau memang penting. Mama sibuk." Bisik ibu Harvey jengkel.

"Sibuk? Harvey bisa bantu." Cibir Harvey. Kesabaran sudah hampir meletus kalau bukan karena Mio mendadak menatap Harvey dengan pandangan memohon-mohon dari sofa di samping Ki Ageng.

Ibu Harvey mendesis jengkel, mengibaskan tangannya marah, mengabaikan Harvey dan buru-buru ikut bergabung dengan Ki Ageng yang tanpa ba bi bu jemarinya sudah bergetar-getar menyusuri tubuh Mio seperti hendak mengeluarkan energi goib terkonyol  yang pernah Harvey lihat.

Akhirnya Harvey memilih duduk di sofa terdekat dengan Mio, menonton Ki Ageng sambil bertopang dagu. Di saat yang sama, Bu Darsih berdiri di pojok ruangan. Bengong. Lupa kalau seharusnya statusnya sekarang kini sama dengan Harvey, di minta minggat secepatnya dari ruang keluarga setelah urusannya memanggil Mio selesai.

Lucunya, kontras dengan Harvey, ibu Harvey menatap Ki Ageng dengan wajah cemas penuh harap. Sedikit takjub seperti anak kecil menonton sirkus. Pemandangan yang agak bikin malu tujuh turunan untuk Harvey. Sekelas direktur rumah sakit daerah pemerintah kelas A di kadali praktisi spiritual.

Konyol. Makin konyol. Mendekati tolol. Geram Harvey dalam hati. Emosinya semakin membeludak, sejalan dengan ekspresi Mio yang antara makin kebingungan dan tampak terluka.

Sakit hati. Wajar. Sudah seharusnya Mio sakit hati. Ini sudah terlalu keterlaluan sejak awal.

"Sebentar." Harvey mengangkat tangannya formal ketika Ki ageng mendadak mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam tas belelnya untuk di sodorkan kepada Mio, "Itu air apa?"

"Air doa." Jawab Ki Ageng serius.

"Oke." Harvey mengangguk, "Air mateng kan pak?"

"Harvey!" Bentak ibu Harvey jengkel.

Harvey mendengus. Mengabaikan ibunya, "Boleh saya yang minum?"

"Nggak bisa. Ini untuk mbak Mio, mas."

"Seharusnya air doa bisa untuk siapa saja kan?" Harvey tersenyum, "Asal doanya baik."

"Sebentar." Ucap Ki Ageng tepat ketika ibu Harvey mulai merempet marah di belakang beliau, "Saya juga sudah siapkan air mantra khusus untuk mas. Juga air untuk di siram ke seluruh rumah mas."

"Oh... jadi sebenernya yang betul yang mana nih; air doa atau air mantra?" Sergah Harvey,  mengambil air dalam botol yang di sodorkan oleh Ki Ageng dengan wajah masam.

"Ya dua-duanya."

"Berarti Altair juga dapat ya?"

"Kakaknya mas itu? Iya mas."

"Segalon?"

"Oh ya ndak mas. Sebotol aja."

"Sebotol kayaknya kurang pak."

"Kalau masih kurang ampuh. Bisa saya tambah."

Harvey mendecakkan bibir, "Ampuh dalam hal apa nih?"

"Ya obat semua obat mas."

"Dokter kalah dong." Seloroh Hervey kecut. Gemas sendiri dengan cara Ki Ageng berkelit lincah seakan Harvey bisa kadali juga, "Oke... Kalau gitu bapak bisa menerawang masa depan juga nggak? Dukun sebelum bapak bisa baca weton loh pak."

"Bisa mas."

Harvey tersenyum puas. Dengan cepat merengkuh wajah Mio dengan kedua telapak tangannya. Mengecup pipi Mio di hadapan semua orang yang ada.

"HARVVVEEEYYYY!!!!!" kini Ibu Harvey berteriak sangat keras hingga Harvey yakin seluruh orang di dalam rumahnya langsung bangun gelagapan dari tidurnya seketika disaat Ki Ageng sekarang hanya bisa mematung tolol.

Harvey tertawa terbahak, "Oalah, saya cuma coba. Siapa tau Ki Ageng benar-benar bisa nebak saya mau melakukan apa barusan."

Catatan Mio Donde viven las historias. Descúbrelo ahora