Part 49

660 96 3
                                    

Harvey menggertakkan gigi, Mengecek handphonenya. Ada daftar panjang panggilan tak terjawab dari ibunya. Sekarang ia semakin paham; rasa gemas tak sabar yang di rasakan oleh ibunya karena Harvey sendiri kini merasakan hal yang sama.

Karena Mio.

Mio yang tidak bisa dihubungi sedari kemarin.

Pikiran Harvey teralih sedikit ketika pintu ruang poli nya di ketuk perlahan oleh suster jaga yang seharusnya tidak bertugas membantu nya di ruang poli, mendadak memasuki poli. Menyerobot antrian pasien anak yang untungnya tidak seramai kemarin. 

"Maaf pak Harvey, saya dapat pesan dari ibu direktur." Ucap perawat itu dengan keringat dingin yang sangat Harvey pahami. Karena itu keringat dingin yang sama dengan tiga perawat sebelumnya yang di utus duluan mendatangi Harvey sedari kemarin.

Mereka tertekan. Jelas.

Dua perawat yang membantu Harvey di ruang poli saling lirik setelah mendengar kata direktur mencuat sebelum buru-buru menundukkan kepala lagi karena tatapan mereka bertubrukan dengan tatapan mata Harvey.

Harvey menghela nafas.

Ini salah.

Ia tidak boleh menumpahkan rasa frustasinya dengan membuat perawat bantu di polinya meringis takut setiap kali mata mereka bertatapan dengan mata tajam marah Harvey.

Juga membuat pasien-pasien kecil yang dasarnya beberapa dari mereka mengasosiasikan dokter dengan seramnya di suntik semakin ketakutan karena... Anak kecil itu bisa membaca aura. Terlebih aura marah, jauh lebih dari orang dewasa, walaupun mereka lebih banyak mengabaikannya.

Termasuk, membuat sepeleton perawat rumah sakit ibunya, terpaksa kena semprot dan masuk ke masalah keluarga Bu direktur. Apalagi mereka jelas juga tidak di bayar untuk menjadi kurir masalah keluarga.

"Saya akan segera ke ruang direktur. Setelah pasien poli saya habis." Ujar Harvey berusaha tersenyum. Walau senyum terpaksanya setipis silet dan mungkin malah membuat wajah nya makin bertambah seram.

"Iya. Siap pak." Jawab perawat itu dan buru-buru ngibrit kabur.

Harvey menghela nafas lagi. Mencetak surat yang ia sudah persiapkan dan memang, ia berniat mau tidak mau harus ke ruang direktur hari ini juga. Karena waktunya benar-benar terbatas.

Harvey sudah mengecek daftar penerbangan ke Serasan untuk Minggu ini. Penerbangan ke pulau Sumatra dari sini harus di tempuh dengan transit satu kali di Jakarta. Kemudian dari Sumatra ke pulau Cemara kecil baru naik kapal Ferry menuju Serasan dan semua itu hanya ada dua kali seminggu.

Harvey pasti tidak akan bisa mengejar semua itu dalam Minggu ini. Tapi ia masih bisa mengejar ketinggalan Minggu depan.

Tapi sebelum itu; jelas. Ada sesuatu yang Harvey harus pastikan sebelum ia memutuskan rencananya; Altair.

Altair baru mengangkat telepon Harvey di deringan terakhir. Suara nya sedikit serak tapi tampak baik-baik saja, untuk ukuran orang yang benar-benar tidak tau apa-apa tentang masalah yang ia tinggalkan di hadapan Harvey. Sekaligus tampak tenang untuk ukuran orang yang merencanakan pernikahan diam-diam tanpa memberi tahu keluarganya, "Harvey? Tumben kamu telepon duluan."

"Al..." Harvey terdiam sesaat, nafasnya tertahan, "Mio sudah kasih kamu kabar hari ini?"

Hening sejenak selama beberapa detik sebelum akhirnya Altair berkata, "Ya. Ada apa?"

Harvey menghela nafas. Ada rasa jengkel. Cemburu. Marah dan kehilangan bercampur aduk dalam hatinya, "Kamu jadi pulang  untuk jemput Mio?"

"Jemput? Kamu tau dari Mio?" Jawab Altair cukup singkat untuk membuat Harvey tau terlalu banyak yang di sembunyikan kakaknya.

"Ya." Harvey dengan tak sabar kembali bertanya, " Kamu jadi jemput besok?"

"Nggak."

"Karena?"

"Karena Mio kangen neneknya. Dia mau segera pulang, sendiri."

Keheningan yang tidak menyenangkan kembali datang, membuat Harvey dengan gemas meremas tangannya di atas meja kerjanya, " KENAPA KAMU NGGAK BALIK KESINI? PULANG. BICARA. JELASIN SEMUANNYA."

"Bukannya Mio sudah gagal untuk menuhi keinginan mama untuk tinggal disana tiga bulan kan? Jadi nggak banyak yang bisa di jelaskan dan sebetulnya percuma juga."

"Tapi kamu tetap mau nikahin Mio kan, mau berhasil atau nggak Mio menuhi syarat mama!?"

"Ya." Jawab Altair dingin, "Kenapa vey? Apa kamu bela mama? Kenapa kamu mau aku bicara dengan mama? Padahal kamu sendiri tau diskusi dengan mama itu buang-buang waktu."

Harvey menggeram, jengkel, "Bukan. Aku. Aku yang harus banyak bicara tentang ini. Tentang Mio."

Catatan Mio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang