Part 12

769 108 0
                                    

"Kenapa kamu sering matikan handphone? Padahal kamu tau kalau kakak saya bakal panik nyariin kamu?" Tanya Harvey di saat ia dan Mio hendak berjalan balik menyusuri kebun ke dalam rumah.

Mio mengerjapkan matanya sesaat sebelum tersenyum, "Baterai handphone saya sudah jelek, mas.  Sering mati sendiri."

"Kenapa nggak beli?"

Mio mengangguk santai, "Ya, nanti kapan-kapan saya beli."

"Kenapa kapan-kapan? Kenapa tidak sekarang?" Tuntut Harvey. Bagaimanapun dia bosan juga jadi penghubung kabar Mio dengan Altair.

"Apa ada toko yang jual baterai hanphone disini?" Tanya Mio.

"Ada. Memangnya di Serasan nggak ada?"

"Mungkin ada. Saya nggak tau. Saya jarang keluar rumah."

"Lalu kegiatan kamu selama ini di Serasan ngapain?"

"Saya ngajar mas. Ngajar anak kecil." Jawab Mio, entah kenapa matanya sedikit berbinar ketika ia menyebut anak kecil. Namun sayangnya sorot matanya langsung berkabut mendung kembali saat ia melanjutkan berkata, "Atau bantu keluarga saya ngurus penginapan."

"Keluargamu punya penginapan?"

Mio mengangguk, "Iya. Tapi nggak besar."

"Lalu murid kamu gimana sekarang kalau Bu gurunya nggak ada?"

"Saya bukan benar-benar guru." Potong Mio lembut, "Saya tidak ngajar di sekolahan."

"Ngajar di rumah?"

"Di balai kelurahan mas."

"Gratis? Nggak di bayar?"

"Gratis?" Ulang Mio. Matanya mengerjap tak nyaman, "Maksud mas sukarela?"

"Sama aja kan?"

"Ya." Mio membuang wajahnya. 

Mata Harvey ikut mengerjap. Bukan oleh rasa tak nyaman tapi lebih ke perbedaan pola pikir. Bagi Harvey, kerja apapun yang tidak di bayar itu... percuma. Hanya buang-buang waktu dan tenaga. Sekalipun ia seorang dokter, tetap saja pola pikir kapitalisnya tetap ada. Bagimanapun, seorang dokter juga butuh uang untuk beli makan.

Disaat Harvey masih termenung dalam pikirannya, Mio sudah berjalan  lebih dulu. Lebih tepatnya dia seperti sengaja lebih cepat. Pergi menghindar. Tidak nyaman.

"Nanti saya pulang poli lebih cepat." Seru Harvey cukup keras membelah kesunyian kebunnya.

Mio yang sudah berjalan sejauh beberapa meter dari Harvey menoleh kaget. Tercengang menatap Harvey, "Terus kenapa mas?"

"Saya antar kamu beli baterai handphone."

Mio menggelengkan kepala keras kepala, "Nggak usah mas."

"Kamu harus siap, jam delapan malam. Nggak boleh telat."

"Tapi saya memang nggak mau mas."

Harvey mendengus, "Saya juga sebetulnya nggak mau. Saya terpaksa, Mio. Tapi lebih baik daripada saya harus nyambungin kabarmu bolak-balik ke Altair."

Mio terdiam sebelum perlahan menganggukkan kepala, "Kalau begitu, saya ijin dulu dengan ibunya mas Harvey ya mas?"

Catatan Mio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang