Part 2

2.1K 127 1
                                    

"Mama itu sebetulnya dari awal memang nggak pernah setuju Altair pindah tugas ke pulau Serasan!" Ucap ibu Harvey untuk seratus kalinya dalam satu bulan terakhir ini.

Harvey hanya mengangguk sementara matanya terus menatap jalan raya di hadapannya sambil mengetuk stir mobil untuk mengantar ibunya untuk mengambil mobil beliau dari bengkel. Respon yang biasa ia lakukan karena ia malas berdebat dengan ibunya.  Sebetulnya ia juga nggak begitu suka kakak sulungnya, Altair pindah ke pulau Serasan. Lebih karena sekarang ia hanya tinggal berdua dengan ibunya di rumah yang luasnya hampir satu hektar. Memang ada beberapa tukang kebun dan asisten rumah tangga. Tapi mereka tidak bisa menggantikan keberadaan Altair. Nggak ada lagi yang bisa Harvey ajak main game untuk menghilangkan penat pekerjaan.

"Kenapa sih, Altair itu nggak pindah kerja ke Kalimantan saja? Kalau cuma disana. Mama bisa naik pesawat setiap Minggu jenguk Al. Kalau di pulau Serasan, mama harus naik pesawat ke Sumatra dulu, transit disana. Nunggu jadwal pesawat lagi. Masih harus nyebrang naik kapal lagi! Kenapa sih Pertamina harus buat kilang minyak jauh-jauh amat sampai ke ujung Utara Indonesia!" Protes ibu Harvey jengkel.

"Bukannya mama dulu bangga, Altair bisa kerja di kilang minyak?" Harvey menghela nafas. Lagi-lagi mengulang kalimat yang sama. Faktanya, ibu Harvey memang membanggakan soal itu kemana-mana dan baru berhenti berkoar-koar ke semua orang kira-kira sebulan yang lalu. Setelah mendadak Altair mengabari kalau ia memutuskan pacarnya dan ingin menikah dengan Mio, penduduk pulau Serasan.

Harvey paham betul dengan ibunya, sebagai seorang single parent, sejak dulu ibunya hanya memiliki Harvey dan Altair. Sumber kebahagiaan beliau yang selalu di banggakan beliau kemana-mana. Altair yang cerdas, lulus universitas dengan gelar cum laude, berhasil meraih gelar MBA dan langsung di terima Pertamina begitu lulus. Ibunya juga bangga sekali Altair berpacaran dengan dokter, Melanie. Yang juga bekerja di rumah sakit tempat ibu Harvey bekerja.

Ibunya bahkan sudah berkali-kali berandai-andai memiliki calon menantu seorang dokter. Karena itu cita-cita beliau sejak dulu, beliau mau semua anaknya menjadi dokter seperti dirinya dulu sebelum beliau naik jabatan menjadi direktur manajemen rumah sakit. Walaupun pada akhirnya hanya Harvey yang memilih mengikuti keinginan ibunya untuk menjadi dokter. Seenggaknya ibunya berharap Altair menikah dengan seorang dokter.

"Altair kenapa sih tau-tau mutusin pacarnya? Kamu nggak coba ngajak ngobrol Melanie? Coba sekali-kali kamu disempatkan ngobrol dengan Melanie di poliklinik, sebenarnya mereka ada masalah apa."

Altair mengatupkan bibir masam, "Itu urusan pribadi mereka ma.."

"Kalau gitu coba tanya kakakmu. Telepon dia. Tanya kenapa tau-tau keburu-buru amat mau nikahin Mio. Memang sih Mio cantik. Tapi kata Al, Mio itu nggak kuliah! Cuma lulusan SMU. Ya ampun... Kok bisa! Mama sampai nggak habis pikir. Mana Altair juga nggak mau ngomong cerita panjang lebar. Katanya, dia sayang Mio. Hah nggak mungkin lah. Kenal enam bulan langsung sayang mau langsung di nikahi pula."

"Nggak. Harvey nggak akan ikut campur."  Potong Harvey tegas.

"Kenapa kamu nggak mau? Telepon sebentar aja. Di pancing sedikit siapa tau kalau sama kamu, Al mau cerita."

Harvey menggelengkan kepala makin tegas,  "Nggak akan."

"Dia kan kakakmu." Paksa ibu Harvey.

"Altair juga punya privasinya sendiri mah."

Ibu Harvey menghela nafas, kali ini beliau melipat tangannya di depan dada, "Mama belum pernah ngeliat Altair sengeyel itu. Nggak mau dengerin mama. Nggak mau balikan sama Melanie. Nggak mau mutusin hubungan dengan Mio. Apa sih yang bikin Al suka sama Mio?"

"Mio kan bakal tinggal di rumah kita selama tiga bulan. Mama bisa nilai dia sendiri kan?"

"Iih.. itu aja mama sampai maksa-maksa Al supaya Al setuju Mio tinggal di sini. Mama sampai ngancem kalau Mio seenggaknya nggak tinggal tiga bulan disini, mama bakal datang ke Serasan terus ngamuk."

"Terus jawaban Al apa?"

"Al katanya mau kawin lari kalau mama sampai nggak setuju dengan pernikahan dia. Sudah gila itu kakakmu. Buat apa kuliah tinggi-tinggi kalau di bodohin anak perempuan dari desa!? Untungnya mama masih mau ngalah. Seenggaknya mama cuma minta Mio tinggal tiga bulan di rumah mama sebelum mereka beneran menikah di Serasan. Soalnya, gimana mama mau kenal Mio? Siapa tau juga selama Mio tinggal disini, kakakmu bisa berubah pikiran."

Catatan Mio Where stories live. Discover now