Part 56

411 66 9
                                    

Malam ini Altair harus dengan besar hati menelan harga dirinya. Harga dirinya benar-benar hancur lembur. Bisa di bilang sepanjang jalan, ia tidak menjaga Mio sama sekali. Justru dirinya lah yang di jaga Mio.

Perkara buaya ternyata bukan hanya di awal. Benar-benar dari ujung perlintasan hingga akhir jalan masuk ke pintu dusun yang di tuju. Buaya. Buaya dimana-mana.

Sementara Mio berjalan santai menaiki sepeda. Terkadang berhenti sebentar, menghalau, disaat ada buaya yang menutupi jalan, -situasi yang hampir sama disaat dulu Altair di Jawa, bedanya dulu yang menghalangi mobil Altair adalah kucing tidur ditengah jalan, tapi kini; buaya.

Altair gemetaran, keringatan dingin sepanjang jalan. Dosa-dosa yang pernah ia lakukan berkelebatan dengan cepat seakan ia sedang bermain dengan malaikat maut. Mempertaruhkan nasib. Hidup dan mati.

Altair belum pernah merasa tidak seberdaya ini. Ada rasa malu dan jengkel bercampur. Untungnya, ketika sepeda Altair memasuki dusun selanjutnya, nasib berbalik. Membuat Altair merasa sedikit lebih berguna. Ban sepeda Mio kempes. Hingga memaksanya mau tidak mau turun dari sepeda kemudian meminggirkannya ke pohon terdekat.

"Saya yang bawakan barang yang kamu bawa di sepeda." Ucap Altair sambil mengambil tas berisi obat yang di lepas Mio dari gantungan sepedanya.

"Iya. Terimakasih." Jawab Mio. Perlahan ia meletakan sepedanya di samping pohon terdekat dan berjalan meninggalkannya begitu saja.

"Sepedamu tidak apa-apa di tinggal? Kamu nggak takut sepedamu hilang? Kamu bisa pakai sepeda saya saja. Saya bisa tuntun sepedamu."

Mio berhenti berjalan, menoleh kebelakang menatap Altair dengan raut bingung, "Di pulau Serasan nggak pernah ada barang hilang."

"Oh ya? Sama sekali?"

"Cuma ada lima kapal penyebrangan pulau." Ujar Mio serius, "Nggak ada satupun barang curian yang bisa keluar dari pulau dan nggak mungkin jual barang curian disini."

"Saya baru tau soal itu." Jawab Altair tanpa sadar tersenyum.

"Dulu memang mas Altair kesini naik apa?"

"Kapal milik kantor."

"Lain kali mas harus coba kapal penyebrangan pulau Serasan."

"Kenapa saya harus coba?"

"Kapalnya lebih seram dari ketemu buaya. Sudah tua jelek. Saya takut kapal itu bisa belah dua waktu berlayar."

"Kamu mau saya naik kapal seseram itu?" Seloroh Altair tertawa geli.

"Tapi kalau mas Altair lihat dan merasakan sendiri kondisinya, siapa tau Mas Altair bisa membawa perubahan."

"Kamu yakin saya bisa? Walaupun pekerjaan saya di kilang tidak berhubungan sama sekali dengan kebijakan soal kapal?" Pancing Altair.

Mio mengangguk polos. Berbalik badan dan kembali berjalan. Namun kini berbeda. Altair turun lalu menuntun sepedanya disamping Mio, berjalan beriringan.

"Pasien nenekmu pasti banyak ya? Dari setiap dusun disini." Altair membuka pembicaraan.

"Nggak banyak kok." Mio menggelengkan kepala, "Tapi nenek suka berbagi obatnya gratis ke rumah-rumah orang yang membutuhkan."

"Jadi ini semua gratis?!" Mata Altair sontak terbelalak. Setelah perjalanan berkilo-kilo meter, mengahadapi buaya, rawa, di tonton monyet semua hanya untuk mengantar obat yang gratis.

"Iya."

"Kenapa gratis?"

"Karena nenek nggak punya apapun lagi untuk di bagi."

"Tapi kenapa?" Tuntut Altair. Sekarang ia sedikit paham perasaan ibunya sendiri soal kedermawanannya yang bagi orang lain terlalu berlebihan. Padahal nyatanya, masih banyak yang jauh lebih dermawan dari dirinya.

Mio mendongakkan kepala. Lagi-lagi semesta kembali membeku dan untuk pertama kalinya, Mio tersenyum cukup dekat dengan wajah Altair. Senyum yang membuat Altair tertegun. Diikuti suara kecil serupa dentingan lonceng, "Semakin kita nggak punya apa-apa, bukannya kita harus lebih sering berbagi?"

Catatan Mio Where stories live. Discover now