20. Tertawan Restu

193 47 13
                                    

Voment ya^^

Saat Byantara menghentikan mobilnya tepat di depan rumah orang tuanya, Janetha praktis menoleh ke arah pria itu. Dia merasa terhipnotis. Kenapa tidak ada perlawanan selama dalam perjalanan dan dia justru pasrah-pasrah saja. Lantas saat sampai, dia malah ingin kabur dari pria itu saat ini juga.

"Ngapain dah kesini?"

"Kan tadi denger sendiri, diminta mampir, Tha."

"Ya, lo aja yang mampir. Gue enggak usah." Janetha turun dari mobil dan melenggang melewati pagar sebelum dihalangi oleh Byantara, "Gue teriak nih!"

"Drama." Celetuk Byantara malas, "Udah ayo masuk. Kayak mau diapain aja!"

"Ya ini emang gue mau di apa-apain kan?"

"Apa sih, Tha?! Kamu gak lagi nulis novelmu. Ayo!" Byantara menarik Janetha masuk dengan genggaman tangannya. Tanpa perduli penolakan Janetha yang meraih pagar untuk berpegangan seperti anak kecil, Byantara lebih kuat untuk melrpaskannya, "Ditungguin ini lho."

"Bang Byan ihh!" Janetha menghentakan kakinya sembari terus melangkah, "Gue ngapain ini, astaga!"

"Dengerin restu keluarga saya!"

"Heh!" Janetha memukul lengan Byantara sampai sang pria mengaduh kesakitan, "Congornya!"

"Assalamualaikum."

Jawaban salam dari dalam membuat Janetha semakin panik. Cengkraman tangannya pada lengan Byantara semakin erat membentuk sebuah cakaran sampai pria itu meringis. Sampai di dalam, tatapan geli dari Salwa dan Jati semakin membuat Janetha mati gaya.

"Cieee! Dibawa pulang." Ejek Salwa menyikut lengan Jati yang menampakan raut yak kalah menyebalkan.

"Pacarku Lima Langkah beneran nih." Sahut Jati yang sontak mendapat pelototan dari sang Ibu.

"Santai aja kali, Tha. Kayak baru kesini aja kamu." Heru yang duduk di sofa bersama Puri memberikan gestur agar Byantara mengajak Janetha duduk. "Kok lama? Jalan-jalan dulu tho?"

"Iya, tadi lihat busking bentar." Byantara menoleh pada Salwa, "Sal, tolong ambilin minum."

"Eh gak usah."

"Orang buat saya kok."

Janetha memukul lengan Byantara dan mencibir ekspresi tengil pria itu sampai semua mata nampak melotot melihat interaksi barusan. Seorang Byantara yang entah kapan terakhir bisa bersikap jail itu telah kembali. Dan semua karena Janetha.

"Ada orang tua saya, lho. Berani banget pukul-pukul."

"Bodo amat."

"Gak apa-apa kok. Kalau rese, pukul aja."

Janetha tidak tahu harus merespon apa. Jika biasanya dia bisa dengan cerewet berbicara dengan wanita di depannya itu, kali ini kemampuannya menghilang entah kemana. Seakan-akan, di depannya kini ada puluhan ribu audience yang menunggunya presentasi.

"Jadi, gimana, Byan?" Tanya Heru membuka percakapan, "Berhasil?"

"Gak tau. Tuh, saya berhasil apa enggak?" Tanya Byantara setelah menyeruput air mineral dari Salwa, "Ditanyain Papa."

"Berhasil apanya?"

"Berhasil ngeyakinin kamu dong, Tha." Sahut Puri gemas, "Byantara udah bilang kok ke Mama sama Om Heru. Nih Adek-adeknya juga udah pada tau. Kamu mah, khawatirnya malah ke kita-kita, kitanya khawatir ke kamu. Muter mulu."

"Ini dilamar?"

Jati dan Salwa tertawa terpingkal sampai Byantara melotot galak memperingatkan. Sayangnya pertanyaan Janetha terlalu lucu untuk tidak ditertawakan. Bahkan Puri dan Heru ikut meringis geli mendengar pertanyaan lugu itu.

Cover - CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang