15. leave

208 24 0
                                    

radit mengela napas sambil menatap ici yang sedang menyiram tanaman tepat di depan rumahnya. beberapa bulan terakhir radit terus mengikuti ici, dia ingin kembali seperti dulu lagi sama ici. namun, sayangnya dia terlalu takut untuk mendekati ici. dia hanya bisa menatap ici dari jauh.

handphonenya berdering.

"halo, tumben lo telfon gue?" celetuk radit.

"jangan bacot dengerin gue baik-baik," ucap ica di seberang sana.

"oke oke, apa?" tanya radit.

"gue liat mobil lo di depan rumah ici," ujar ica.

radit langsung mengedarkan pandangannya mencari ica.

"nggak usah cari gue, gue udah balik. tadinya gue mau ketemu sama ici, tapi gue liat ada mobil lo, gue nggak jadi nyamperin ici," lanjutnya.

"tau dari mana lo gue nyariin lo?"

"asal nebak aja sih."

"lo kenapa nggak jadi ketemu sama ici?"

"ya gue nggak mau gagalin kesempatan lo kali ini."

"maksud lo gimana, ca?"

"astaghfirullah, kalo di kasih otak sama pencipta digunain, dit."

"gue serius, bege!"

"pokoknya lo sekarang juga samperin ici sebelum dia masuk ke dalam rumah, karena gue yakin dia nggak bakalan mau buka pintu kalo liat lo di depan rumahnya."

"gue nggak mau, takut gue."

"dih, cupu! cemen amat nyali lo kaya anak SMP."

bip!

radit terus memikirkan apa yang ica katakan padanya beberapa detik yang lalu.

mungkin sekarang adalah waktu yang tepat?, batinnya.

radit mengelah napas kemudian keluar dari dalam mobilnya. ia menghampiri ici dan untung saja pintu gerbang ici sedikit terbuka, dia pun langsung masuk.

ici terkejut ketika melihat radit. "lo ngapain ke sini?" tanyanya.

"gue mau ngomong, ci," jawab radit.

ici menggeleng kemudian berjalan ke arah keran air. "gue nggak mau denger apa pun dari lo," tolaknya sambil menutup keran air.

"tapi, ciㅡ"

"nggak ada tapi tapi, pergi lo dari sini!" usir ici sambil menatap dingin radit.

"gue pergi? kalo gue pergi, gue nggak bakalan balik lagi,ci," ancam radit yang berharap agar ici menahannya.

"terserah lo," ucap ici. "gue nggak peduli, gue nggak bakalan nahan lo," lanjutnya.

"ci," panggil radit.

ici mengelah napas. "gue aja yang pergi," ucapnya kemudian masuk ke dalam rumahnya.

.
.
.

ici mengerutkan keningnya sambil menatap dari jauh radit yang sedang duduk di salah satu meja di cafe tempat dia bekerja.

"kak, ada yang nyariin. katanya dia temannya kak ici," ujar pelayan cafe itu.

ici mengangguk kemudian melangkah menghampiri radit. radit tersenyum menatap ici dan ici menatapnya dengan tatapan datar. "ngapain lo ke sini?" tanyanya bernada ketus.

"gue mau ngomong sesuatu, ci," ujar radit.

ici mengelah napas kemudian menarik kursi yang berada tepat di depan radit. "lo mau ngomong apa lagi?"

"alfin," ucap radit, ici yang tadinya menatapnya dengan datar berubah menjadi berkaca-kaca. "alfin, meninggal karena gue ... dia meninggal karena nyelematin gue, harusnya yang meninggal gue, bukan dia. sejak saat itu gue merasa bersalah sama lo dan keluarga lo, gue beㅡ"

ici berdiri dan air mata membasahi pipinya dia menatap radit sangat tajam. "keluar lo dari sini! gue nggak mau liat lo!" ucapnya sambil menunjuk pintu keluar.

radit bediri kemudian menarik ici ke dalam pelukannya. "ci, ini yang gue takutin selama ini, gue takut lo bakalan marah sama gue, gue minta maaf ... gue sayang sama lo, ci," ujarnya.

ici yang sejak tadi terus memberontak di dalam pelukan radit, akhirnya bisa melepaskan pelukan sepihak dari radit.

plak!

satu tamparan dari ici mendarat di pipi radit. "i hate you!" ucapnya kemudian meninggalkan radit.

radit dengan cepat menahan tangan ici. "pardon me ... please, don't leave me," ucapnya.

ici menghempaskan tangan radit kemudian menatap tajam radit. "let me go!" ucapnya.

kali ini nggak ada alasan lagi bagi gue buat mertahanin perasaan gue sama radit, batin ici.

______________________________

DON'T LET ME GO, wangice ✓Where stories live. Discover now