Sang Jentera Limbah (pt. 2)

66 3 4
                                    

Nobert Châtillon‎ menatapnya sesaat lalu beralih fokus pada toples itu. Dari sorot matanya, Jesse bisa menilai kalau Châtillon‎ mulai tertarik, yang artinya, setengah misi telah tercapai. Atasan Jesse  sudah menghabiskan banyak uang demi meminta bantuan seorang ahli kimia Jerman untuk merekayasa satu set toples dengan tujuan untuk mengesankan pria seperti Châtillon‎ yang meremehkan dunia sains. Jesse merasakan ekspresi cemas dan jengkel di wajah Châtillon‎.

Akhirnya, Châtillon pun berkata, "Aku seorang insinyur, Mademoiselle, bukan ahli kimia."

"Kami sudah menemukan bahan kimia yang cocok," potong Jesse, segera. Otot perutnya mengencang karena tegang. "Kami akan dengan senang hati membagi pengetahuan ini kepada Anda ...."

"Apa selanjutnya?" Wajah Châtillon merungut. "Siapa yang akan mematenkan proses ini, hmm? Dan siapa saja yang akan diuntungkan?" Dia berbalik, mulai mondar-mandir. Châtillon terlihat impulsif dan inilah yang membuat pria itu semakin mengerikan. "Kau memiliki wajah yang cantik, Mademoiselle Dumond. Tak luput dari ingatanku kalau wanita berkulit gelap sepertimu pernah merayu nenek moyangku untuk melakukan tindakan yang paling hina, walaupun pria-pria itu harus menebus dosanya dengan membesarkan anak-anak berdarah campuran secara terhormat. Jika aku menjadi seorang pria kulit putih, dan ingin mengambil keuntungan dari hasil kerja keras seorang Creole jujur ​​sepertiku—yang mana terbukti mudah tertipu—aku akan tak segan untuk mengirimkan seorang wanita penggoda demi merayu. Karena bagi mereka, kita semua sama saja, meskipun aku memiliki darah Prancis yang paling murni dalam nadiku, sedangkan kau mungkin berasal langsung dari rimba Afrika!"

Monsieur Châtillon mulai mengitari tubuhnya. Hampir-hampir Jesse berteriak. Jika saja dia seorang wanita manja yang mudah ketakutan, dia mungkin akan berusaha mundur karena rasa tidak nyaman. Saat itu juga, Jesse memang melangkah, tetapi ke samping, perlahan-lahan mendekati  tas brokat, di dalamnya terselip sebuah belati kecil yang pegangannya bisa dia lihat dari tempat di mana dia berdiri. Misinya memang memanfaatkan Nobert Châtillon, tetapi bukan berarti Jesse ragu untuk memberikan pria terhormat itu sayatan luka untuk diingat.

Sebelum perkara memuncak, tiba-tiba pintu ruang tamu terbuka, mengejutkan Jesse dan Nobert Châtillon seketika. Pemuda yang baru saja masuk jelas-jelas kerabatnya Châtillon. Dia berkulit kecoklatan yang sama dan berambut ikal. Matanya lebih lembut, meski mungkin hanya efek dari kacamata berbingkai perak di atas hidungnya yang mancung. Dia mengenakan kemeja kain abu-abu sederhana yang memiliki aura sial karena membuat penampilan pemuda itu terlihat agak polos.

"Maaf, Kakak," katanya, membenarkan tebakan Jesse. "Saya pikir barangkali kau dan tamu wanitamu butuh penyegar suasana?" Di tangannya ada nampan perak berisi beignet, roti goreng persegi renyah yang ditaburi gula, irisan merliton dengan semacam saus remoulade, dan irisan kecil coklat penuche.

Nobert memucat dan benar-benar malu. "Ah—eh, ya, kau benar, terima kasih. Ah—" Sambil melirik Jesse, perasaan kesal sebelumnya seakan berjibaku dengan kewajiban untuk menjadi tuan rumah yang baik, dan sopan santun selalu menang. Dia segera  menenangkan diri. "Maafkan saya, Mademoiselle. Apakah Anda bersedia mencicipi  hidangan pencuci mulut, sebelum Anda pergi?" Bagian terakhir dari kalimat itu keluar lebih keras daripada yang lain.

Jesse menerima tawaran Nobert. "Ya, terima kasih." Dia segera bergerak untuk membantu pemuda itu. Saat Jesse memindahkan tas brokatnya, mata pemuda itu terkunci dengan sedikit tanda bahaya. Jesse merasa tidak enakan. Apakah dia sedang memperhatikan gagang belatiku? Mustahil! Pemuda ini terlihat sangat tenang. Saling bertukar pandangan telah  memicu insting penilaian instan di pikiran Jesse, si Châtillon yang satu ini, tampaknnya, sama sekali tidak buta atau terlalu berlebihan seperti sang Kakak.

Benar saja, ketika pemuda itu mengalihkan perhatian, Jesse merasakan sedikit tantangan yang bersembunyi di balik kacamata bundar dan senyumnya yang sangat menyenangkan.

Jurnal RambangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang