Asavella 🍁69 pt.1

Começar do início
                                    

“Nila,” panggil Bara dikala ia mulai didekati oleh Nila.

Bara bisa melihat mata penuh kecewa dengan kantong mata yang sembab menahan air mata.

“Kamu apain anak-anakku, mas? KAMU APAIIIN!!!!” teriak pilu Nila menggema di depan pintu ruang UGD dengan tangan yang menarik keras rambut-rambutnya.

Jikalau kata ‘anak’ hanya mengarah pada Mutiara itu salah. Nila tengah mempertanyakan ketiga putrinya kepada laki-laki bejat seperti Bara.

“KAMU APAIN ANAK-ANAKKU! KAMU APAIIN!! KAMU BAWA KEMANA ANAK BUNGSU KU, ASAVELLA! BALIKIN MAS! BALIKIN KEPELUKAN IBUNYA INII!!! BALIKIN, ANAKKU!!” raung Nila dengan posisi bersujud kepada Bara.

Isakan seorang ibu yang terdengar pilu membuat kesembilan posisi menatap bergantian. Menurunkan pistolnya.

Tangisannya mulai semakin kuat di kala sosok wanita tersebut bangun dari sujudnya.

“Balikin Asavella setidaknya pada pelukan ibu sambungnya ini, balikin mas, balikin anakku, Balikin!!” lututnya lemas dan mulai tersungkur ke samping kanan dengan berulang kali tangan yang mengepal memukul-mukul ubin dingin seraya menggeleng kasar seperti orang gila yang kehilangan separuh jiwanya.

“A-aku gatau, Nil. A-aku …”

“Kamu apa mas? Kamu tau apa, mas? Kamu tau apa! Gimana kamu mau tau! Anak hilang udah tiga hari mas! Ditambah Jysa sama Ara ikut hilang karena harus cari Asa! Mas sekali aja liat anak-anakmu, mas! Sekali aja ...,” potong Nila yang merasakan nyeri di hatinya. Rasa sakit yang semakin menggerogoti hatinya karena ketiga putrinya menjadi korban.

Kepala Bara pecah. Tangis Nila istri keduanya menggema kepada telinganya. Bahkan hampir ada sejam ruang UGD tidak membuka pintu dan memberi berita soal kedua pasien remaja di dalam sana. Bara mulai mencoba mengambil telepon.

Mencoba menelepon nomor sosok yang tengah ia cemasi. Tapi nomor itu tidak aktif. “Angkat telepon, papah, Asa.”

Berulang kali Bara mencoba menelpon, mengirim pesan, dan beberapa kali juga mengirim pesan suara walaupun dalam ruang obrolan tersebut terlihat hanya centang satu.

“Pulang, Sa. Pulang, Asa. Kamu di mana, nak .… Ayo pulang, Ayo pulang ke papah, Kakak kamu kangen kamu, Ara dan Mamah Nila kangen kamu, Asa ayo pulang, Papah kangen,” ucapnya berulang kali dengan jalan mondar-mandir—serta benda pipih yang menempel pada daun telinga.

Penuh harap tengah diletakkan oleh Bara.

Seolah tengah berbicara dan menyuruh sang anak pulang melalui telepon. Nila bisa melihat sosok Bara menangis menggerutu untuk mengajak anak bungsunya pulang bersamanya.

“Angkat, dek. Angkat dek!!” teriak sakit Bara seraya melempar ponsel ke ubin—berjalan kasar mendekati tembok dan mulai memukul-mukul tanpa henti.

“PULANG NAK! PULANG! PAPAH SIAP DIPENJARA! TAPI ADEK PULANG! PULANG! Papah kangen adek,” Gerutunya dengan amarahnya begitu marah yang terus memukul-mukul tembok.

“Adek ayo pulang, papah rindu adek, papah rindu adek manggil saya dengan papah. Saya janji enggak ada pukulan, cambukan, dan tendangan tiap nyambut adek pulang, papah janji dek, ayo dek, adek di mana, ayo pulang,” tangisan Bara pecah.

Rasa amarah marah tersulut untuk dirinya sendiri. Memutar otak betapa bejatnya dia melakukan hal keji dan tak senonoh kepada putri bungsunya. Ia pun mulai malu. Mulai menutup wajan dan memukul tembok berulang kali dikala relung kepalanya memutar hebat tiap mengingat bagaimana ia menyetubuhi putrinya tanpa diketahui siapapun.

Pintu ruangan yang tengah ditunggu kini terbuka lebar.

Bagaimana para perawat berbaris di antara kedua pintu. Hingga kedua dokter keluar.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Onde histórias criam vida. Descubra agora