Bagian 7 (Finding Power)

Začít od začátku
                                    

Pilihanku jatuh pada dress panjang dengan dengan lengan panjang berwarna biru tua, kainnya tidak terlalu tebal, itu mungkin akan membuatku nyaman. Setelah selesai memakainya dan merapikan rambut panjangku yang terurai, aku memutuskan untuk menuju ruang makan meski dengan langkah berat.

Ketika aku sampai di sana, aku langsung bertemu dengan Ratu Lavina, dan seorang wanita paruh baya seusianya, Jarvis, Julian dan seorang pria paruh baya, tidak, dia terlihat sudah tua dengan penampilanya yang mengerikan, jaket yang lebih mirip jubahnya itu mengingatkanku pada karakter Spane pada film Harry Potter, hal itu membuatku sedikit takut untuk meneruskan langkah.

Ratu Lavina menyadari itu dan langsung mengandengkku. "Ayolah, dear. Mereka adalah keluargamu sekarang. Kau bagian dari kami," ucapnya sambil menuntunku hingga aku duduk di samping Julian yang tengah menikmati sarapannya.

"Sychelles, dia ternyata sangat cantik tapi sedikit pemalu," komentar seorang wanita paruh baya yang tidak ku kenali. "Kenalkan, aku Maria. Ratu Lavina adalah adikku dan aku adalah orang tua dari Jarvis. Kau bisa memanggilku Bibi Maria, tak perlu embel-embel Yang Mulia, aku tidak suka hal yang berbau formal, "ujarnya dengan ramah. Aku mengangguk paham dan tersenyum. "Dan pria tua itu adalah suamiku, kau bisa memanggilnya Paman Dezt," ucapannya membuatku terkejut.

Bagaimana bisa? Pria itu artinya adalah ayah dari Jarvis? Dan jika dilihat, Maria dan Dezt merupakan pasangan dengan usia yang berbeda jauh. Mengingat wajah Paman Dezt terlihat lebih tua, bahkan sudah ada uban yang tumbuh menghiasi bagian depan rambutnya.

"Aku tahu kau terkejut, Sychelles. Tapi Dezt tidak sudah tidak mau meminum cairan keabadian dengan teratur. Itulah akibatnya." Ratu Lavina berhasil membaca pikiranku, aku baru ingat bahwa ia bisa memiliki kemampuan membaca pikiran. Oh, aku benar-benar harus menjaga pikiranku di sini.

Paman Dezt tersenyum seolah tidak merasa tersindir. "Aku suka menjadi tua, terkadang itu menyenangkan," candanya membuat seisi ruangan tertawa, kecuali Julian. Julian benar-benar kaku, dia bahkan sangat konsterasi pada potongan daging domba yang ada di piringnya.

"Sychelles, bagaimana malammu?" pertanyaan Jarvis membuatku berhenti menguyah, bersamaan dengan itu aku mendengar Julian terbatuk-batuk, pria itu lalu meraih segelas air dan meminumnya hingga abis.

"Tidak seharusnya kau bertanya seperti itu saat makan, Sepupu Jarvis!" Julian mendelik penuh peringatan, seolah tak suka.

Namun Jarvis seolah tak menanggapi tatapan dingin Julian dan malah menoleh padaku. "Aku tak bertanya padamu, tapi pada Sychelles." Jarvis adalah tipe pria yang tanpa beban. Jarvis melirikku, "bagaimana Sychelles, apa perlu aku mengulangi pertanyaan?" Sialan. Jarvis menggodaku.

Pipi sialanku harusnya berhenti untuk tidak berubah warna menjadi merah padam. Aku heran mengapa yang lain justru malah tertawa seolah tak ada yang menegur Jarvis maupun Julian. Kondisi ini seolah menyudutkanku.

Aku menarik nafas pelan, menggakkan tubuh dan sedikit mengangkat dagu mencoba terlihat tenang. "Malamku baik, aku tidur nyenyak." Di pelukan Julian. Sedetik setelahnya ku dengar Ratu Lavina tertawa. Oh astaga, dia mendengar isi hatiku, lagi.

Jarvis mengangguk lalu menelan makanannya. "Itu bagus. Aku bahkan mengira Julian takkan membiarkanmu tidur sama sekali," godanya lagi berhasil membuat suasana pagi ini semakin memburuk. Ingin rasanya aku tenggelam ke dalam bumi detik ini juga.

Aku bisa melihat Julian meremas sendoknya dan melayangkan tatapan tajamnya pada Jarvis sampai pada akhirnya Jarvis mendesah pelan. "Baiklah. Aku berhenti." Sepertinya kekuatan dari tatapan tajam Julian memang begitu besar karena tatapan itu bahkan mampu menyumpal mulut Jarvis agar tidak mengoceh lagi. Untuk pertama kalinya aku memuji tatapan dingin Julian.

The Last SaverKde žijí příběhy. Začni objevovat