Chapter 29

872 255 27
                                    

🍬Menua itu kepastian bijaksana adalah pilihan.🍬

-- Happy Reading --
Marentin Niagara

Rabani masih memainkan smartphone di tangannya. Meski dia sudah sering menerima kabar bahwa Asmara dalam keadaan yang baik tapi tetap saja, kepergian putrinya menyisakan kesedihan yang luar biasa. Terlebih ketika rumah dan toko Subuh sudah mulai rampung dikerjakan. Sejak opname setelah kepergian Asmara kesehatan Rabani tidak seperti dulu. Kini bapak satu anak itu sering sekali keluar masuk rumah sakit.

"Alul antar ke rumah sakit ya, Ayah?" ajak Subuh sebelum dia berangkat bekerja.

"Ayah baik-baik saja, Mas Alul."

"Tapi Ayah kelihatan pucat dan lemas seperti ini." Subuh menjadi serba salah.

Rabani lebih banyak bungkam setelah kepergian Asmara. Sampai lebih dari 5 bulan dia meninggalkan rumah pun Subuh belum bisa menemukan keberadaannya. Meski sang mama telah menjelaskan bahwa dia pernah bertemu dengan Asmara di rumah kanker yang mereka kelola di Depok.

Subuh bahkan datang ke Depok dan menginap beberapa lama di sana untuk bisa bertemu Asmara. Sayangnya, selama hampir sepuluh hari dia berada di rumah kanker, Asmara tidak pernah datang lagi ke rumah itu. Sampai di Banyumenik pun dia juga tetap mendapatkan kabar yang sama dari pengurus. Asmara memang tidak pernah berkunjung lagi ke sana setelah bertemu dengan Estini.

"Alul sudah mencoba mencari Mara, Ayah. Tapi tetap saja belum bertemu dengannya."

Rabani hanya mengangguk, mengucapkan terima kasih lalu berjalan pelan menjauhi Subuh setelah menatap dan mencengkeram bahunya sesaat.

"Ayah, Alul tidak akan tenang meninggalkan Ayah dengan kondisi seperti ini."

"Mara baik-baik saja, Mas," kata Rabani lirih menerawang jauh.

Sedikit tersentak mendengar pernyataan calon mertuanya. Subuh lalu mencoba untuk mendapatkan kepastian di mana sesungguhnya Asmara berada.

"Mara sudah menghubungi Ayah?" tanya Subuh pelan.

Anggukan kepala Rabani membuat bibir Subuh terangkat ke atas beberapa saat sampai getaran suara Rabani terdengar.

"Tapi dia tidak mengatakan di mana. Hanya bilang kalau sehat."

Seketika Subuh meraih telepon genggamnya yang tersimpan di saku celana. Mencari nama Asmara lalu meneleponnya segera. Namun, senyum Subuh kembali menghilang ketika dering telepon untuk Asmara masih sama seperti sebelumnya, di luar jangkauan.

"Mara tidak menggunakan nomornya yang lama, Mas. Setiap menghubungi Ayah nomornya selalu ganti." Rabani menatap Subuh dengan tatapan nanar.

"Dia juga titip pesan kepada Ayah untuk disampaikan padamu." Rabani tampak ragu untuk menyampaikannya. Dia menatap Subuh dalam-dalam lalu menimbang kembali apakah pesan itu harus disampaikannya sekarang atau tidak.

"Ayah--" Subuh duduk di sebelah Rabani.

"Tolong, jangan ada yang ditutupi. Kalau ada alamatnya, sekarang juga Alul berangkat ke Jakarta. Demi Allah Alul tidak ingin melihat Ayah setiap hari sedih seperti sekarang." Subuh menggenggam kedua telapak tangan calon mertuanya.

Asmara SubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang