Chapter 5

856 245 48
                                    

Kan, sahur yang terlambat 🤣😂

.
.
.

🍬Pohon tidak perlu menyampaikan kepada orang bahwa dia memiliki akar yang kuat.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Sejurus dengan perubahan penampilan Asmara yang tampak syar'i, kini Asmara juga tampak sangat pendiam dibandingkan dengan sebelumnya. Hal itu bukan hanya dirasakan oleh Subuh, tapi hampir remaja masjid merasakan hal yang sama. Meski melakukan semua tugasnya dengan baik, Asmara tidak banyak bicara. Dia juga langsung meninggalkan tempat acara apabila pekerjaannya telah selesai.

"Ustaz, maaf kalau saya salah dan terlalu kepo. Mengapa saya berpikir kalau Mbak Mara sedang ada masalah ya. Dari kemarin saya perhatikan hanya diam saja, sering melamun lalu menangis sendiri." Rubina yang menyerahkan daftar hadir pengajian ibu-ibu kepada Subuh memberitahukan apa yang dia lihat beberapa hari terakhir ini.

"Ya sudah, kamu selesaikan tugasmu saja, Bin. Jangan menganggu Mara, nanti malah kita salah tempat." Subuh tersenyum dan berterima kasih menerima lembaran yang diberikan oleh Rubina.

Sesungguhnya Subuh ingin membantu Asmara tapi dia tidak ingin melewati batasannya. Dia tidak ingin karena keberadaannya justru membuat berita yang tidak benar. Tapi bukankah selama dia menjauh dari Asmara tidak secuil pun cerita yang tidak dia ketahui tentang gadis itu? Apalagi sekarang ketika mereka mulai kembali dekat.

Dia masih ingat benar bagaimana susahnya meminta izin kepada mamanya untuk menetap di desa ini. Mendekatkan diri pada keluarga Asmara.

"Jangan-jangan kamu sudah mulai jatuh cinta pada Asmara. Dulu kamu minta pindah sekolah gara-gara dia, sekarang juga ingin tinggal di desa yang sama dengannya tinggal. Untuk apa kamu cosplay jadi guardian angelnya, Lul?" tanya mama Subuh kala itu.

"Karena Azlul tahu, Mara dan ayahnya sama menderitanya seperti kita, Ma." Subuh tersenyum menatap ibunya lalu merengkuhnya dalam pelukan.

Mungkin air mata yang dikeluarkan Asmara sama artinya dengan air mata wanita yang sangat dicintai Subuh. Subuh mendesah perlahan. Beberapa kilatan film masa lalunya membuatnya sejenak menundukkan kepala. Jika bukan karena Estini, wanita yang melahirkan Subuh ke dunia. Dia tidak tahu lagi sekarang masih hidup atau sudah mati karena berkelahi dengan papanya sendiri.

"Ustaz, maaf, untuk acara ikhtikaf sepuluh malam terakhir nanti bagaimana. Karena terus terang di masjid ini belum pernah diadakan kegiatan seperti itu." Usman yang berada di samping Subuh mengoyak lamunannya.

"Bagaimana, Us?" tanya Subuh menggeragap.

"Tentang ikhtikaf—?"

"Oh itu, ya nanti saya sampaikan. Intinya kita tidak memaksa kepada jamaah untuk melakukan saja, bagi yang berniat untuk ikhtikaf di masjid nanti difasilitasi, sekaligus acara sahur bersama dari beberapa donatur di masjid ini," jawab Subuh sambil tersenyum ke arahnya.

"Hari ini sepertinya saya tidak bisa fokus pada kegiatan di masjid, Us. Ada pekerjaan yang harus saya selesaikan di luar. Nanti sore kalau menjelang berbuka saya belum tiba, tolong kamu hubungi Pak Bani. Beliau siap menggantikan saya kapan saja," pesan Subuh sebelum dia pergi.

Hari ini Subuh harus mulai mengurus pengajuan pupuk yang harus didistribusikan kepada para petani. Siang ini Subuh harus bertemu dengan para agen yang mewakili kecamatannya untuk menerima pagu pupuk sesuai dengan pengajuan dan persetujuan kelompok tani daerah masing-masing.

Darah wirausaha sepertinya mengalir dari Estini. Dari kecil Subuh tidak asing dengan banyaknya transaksi besar yang dikelola mamanya. Itu sebabnya ketika lulus kuliah dari Yaman dia ingin juga mengambil sektor pertanian karena kegiatan sang mama juga tidak jauh-jauh dari kebutuhan para petani.

Asmara SubuhOù les histoires vivent. Découvrez maintenant